Jenazah (Persoalan dan Pemecahannya)


Pertanyaan: Bagaimana cara memandikan jenazah itu? Dan bagaimana cara mengkafaninya?
Jawab: Memandikan jenazah adalah fardhu kifayah. Dan yang paling utama melakukannya, adalah seseorang yang sudah diwasiati oleh si mayit untuk itu. Setelah itu kerabatnya yang terdekat, kemudian siapa saja yang masih ada hubungan rahim dengannya.
Seorang lelaki boleh memandikan istrinya, dan seorang istri boleh memandikan suaminya. Wanita juga boleh memandikan anak kecil lelaki yang belum berumur tujuh tahun. Dan seorang lelaki boleh memandikan perempuan kecil yang belum berumur tujuh tahun.
Tetapi seorang wanita tidak boleh memandikan lelaki, meski ia mahramnya sendiri. Dan seorang lelaki tidak boleh memandikan wanita, meski wanita itu adalah ibu atau putrinya, ia hanya boleh mentayamumi mereka dengan debu.
Seorang muslim tidak boleh memandikan orang kafir, dan tidak pula mempersiapkan apapun dalam kematiannya. Ia hanya boleh menimbunnya ke dalam tanah jika tidak ada seorang kafirpun yang menguburnya.
Jika kita hendak memandikan jenazah, maka jenazah itu harus ditutup auratnya jika berumur lebih dari tujuh tahun. Yang ditutupi adalah daerah antara pusar hingga lutut. Kemudian ia melepaskan seluruh bajunya, dan menutupinya dari pandangan orang lain. Yakni jenazah itu diletakkan di dalam rumah yang beratap, atau jika memungkinkan, jenazah tersebut dimandikan di dalam tenda.
Kemudian wajah sang mayit kita tutup. Tidak boleh ada orang lain hadir dalam pemandian ini, selain seseorang yang membantu kita dalam proses pemandian. Disini niat adalah syarat. Sedang mengucapkan basmalah adalah suatu kewajiban. Setelah itu kita mengangkat kepalanya hingga mendekati posisi duduk. Kita memijit perutnya pelan-pelan, pada saat ini kita banyak-banyak menyiramkan air, juga perlu mengasapi ruangan dengan kayu gaharu1 jika dikawatirkan ada sesuatu yang keluar dari perutnya.
Lalu kita membelitkan kain ke tangan kita untuk membersihkan jenazah tadi dan menggosok-gosok kedua kemaluannya. kita tidak boleh menyentuh aurat jenazah yang sudah berumur tujuh tahun keatas kecuali dengan penghalang. Dan lebih utama jika tidak menyentuh seluruh anggota tubuh lainnya kecuali dengan sarung tangan atau kain yang dibelitkan ke tangan kita.
Setelah itu, kita membelitkan sepotong kain pada kedua jari untuk membersihkan gigi-gigi, dan kedua lobang hidungnya, tanpa memasukkan air ke dalam mulut atau hidung. Kemudian kita membasuhi seluruh anggota wudhunya.
Kemudian kita menyiapkan air yang bercampur daun bidara atau bercampur sabun pembersih. Lalu kita membersihkan kepala, serta jenggotnya dengan busa air tersebut. Dan membasuh sekujur tubuhnya dengan sisa air tadi. Kemudian kita membasuh bagian samping kanan, lalu samping yang kiri, dimulai dari kulit lehernya. Kemudian bahu hingga akhir telapak kakinya.
Lalu kita membalikkannya sembari membasuh tubuhnya. Kita mengangkat sisi bagian kanannya sambil membasuh punggung dan pantatnya. Lalu membasuh sisi bagian kiri juga seperti itu. Kita tidak boleh menelungkupkan jenazah di atas wajahnya. Setelah itu kita menyiramkan air ke sekujur tubuhnya.
Sedangkan yang sunnah adalah mengulang tiga kali cara mandi seperti ini, memulai yang kanan dari setiap sisi tubuhnya, dan terus mengurutkan tangan pada perutnya pada setiap pemandian. Jika tiga kali pengurutan belum juga membersihkan perut, maka kita tambah hingga perut itu benar-benar bersih, meski hal itu kita lakukan hingga tujuh kali. Dan disunnahkan menghentikan pengurutan ini pada bilangan yang ganjil.
Saat memandikan, menggunakan air panas adalah sangat dimakruhkan. Demikian pula dengan membersihkan sela-sela gigi dan menggunakan air dingin, kecuali saat diperlukan.
Jika wanita, maka kita mengelabang rambutnya menjadi tiga kali dan kita letakkan pada bagian belakang kepalanya. Pada pemandian yang terakhir, kita mencampur airnya dengan kapur barus dan daun bidara. Kecuali jika sang mayit dalam keadaan ihram dengan ibadah haji atau umrah, maka hal itu tak perlu dilakukan.
Lalu kita cukur kumisnya, dan kita potong kukunya jika panjang-panjang. Kemudian kita handuki. Jika masih keluar sesuatu dari perut, padahal kita sudah mengurut perutnya sebanyak tujuh kali, maka tempat keluar kotoran itu kita tutup dengan kapas. Jika kapas tidak mempan, maka kita menggunakan tanah yang panas. Setelah itu tempat keluarnya kotoran itu kita bersihkan dan kita wudhui lagi jenazahnya.
Jika jenazah yang kita mandikan adalah seseorang yang sedang ihram, maka kita memandikannya tanpa minyak wangi dan tanpa harum-haruman. Tubuhnya dibersihkan dengan sabun dan daun bidara jika perlu saja. Dan kepalanya tetap dibiarkan terbuka.
Anak yang gugur (lahir dalam keadaan mati) jika sudah berumur empat bulan, juga orang-orang yang sulit dimandikan seperti yang mati terbakar dan yang hancur lebur, maka ia hanya ditayammumi. Sedang orang yang memandikan, ia wajib menutupi bagian tubuhnya yang buruk.
Mengkafani jenazah hukumnya adalah fardhu kifayah. Untuk kain kafan, kita mengutamakan membelinya terlebih dahulu dari harta pribadinya, sebelum kita gunakan untuk melunasi hutang dan tanggungannya yang lain. Jika si mayit tidak memiliki harta, maka kita mengambil uang untuk membeli kain kafan itu dari orang yang wajib menafkahinya, yaitu pada saat tak ada seorangpun yang berderma untuk membelikan kain kafan buat si mayit.
Jenazah seorang lelaki, dikafani dengan tiga lembar kain putih dari katun atau semisalnya. Lalu sebagian kain itu dibentangkan atas sebagian yang lain. Dan sebelumnya kain-kain itu sudah disemprot dengan air, kemudian diasapi dengan semisal kayu gaharu.
Bagian paling atas sendiri, kita taruh kain yang terbaik. Lalu kita menebar harum-haruman diantara kain yang atas ini, dan memberi parfum pada setiap lembar kain-kain tersebut2. Setelah itu si mayit diletakkan di atasnya, kita mengambil sedikit harum-haruman lalu ditaruh pada kapas dan diletakkan diantara kedua pantatnya. Kemudian kita mengikatnya dari atas dengan kain yang terbelah ujungnya, seperti bentuk celana dalam, yang bisa mengikat erat antara dua pantat dan kandung kemihnya.
Kemudian harum-haruman yang masih tersisa kita letakkan pada setiap lobang yang ada pada wajah dan anggota-anggota wudhunya. Jika kita mengharumi seluruh tubuhnya, maka itu lebih baik.
Setelah itu kain paling atas, yang ada di sebelah kanan mayit, ditutupkan pada bagian kirinya. Dan kain yang disebelah kiri ditutupkan pada bagian kanannya. Kemudian seperti itu pula kita lakukan pada kain kedua dan ketiga. Dan kita menjadikan kain yang banyak lebihnya ada di bagian kepala. Lalu bagian tengah setiap kain itu kita ikat. Ikatan itu baru dibuka kembali saat jenazah dimasukkan dalam kuburan. Kita juga dibolehkan, jika mengkafani jenazah lelaki dengan baju, sarung dan selembar kain.
Adapun yang disunnahkan pada jenazah seorang wanita, ia harus dikafani dalam lima kain. Sarung untuk menutupi aurat, kerudung untuk menutup kepala, baju gamis yang dilobangi tengahnya untuk memasukkan kepala dari lobang tersebut, kemudian dua lembar kain yang ukurannya seperti kain kafan jenazah lelaki.
Sedangkan yang wajib untuk kafan jenazah laki-laki dan perempuan, adalah satu lembar kain yang bisa menutupi seluruh tubuhnya.

******

Pertanyaan: Siapa sajakah yang diwajibkan untuk mengurusi jenazah?

Jawab: Kepengurusan jenazah diwajibkan atas sanak kerabatnya. Adapun biaya kepengurusannya, seperti kain kafan, wangi-wangian, upah penggalian kubur, upah penggotongan jenazah –jika yang menggotongnya perlu dibayari-, demikian pula dengan upah orang yang memandikan, maka ini semua diambil dari harta pribadi sang mayit. Ini lebih didahulukan ketimbang membayar hutang dan membayar tanggungan lainnya.
Jika si mayit tidak memiliki harta, maka wajib bagi orang yang diharuskan menafkahinya untuk membayar semua biaya di atas. Tetapi jika ada seseorang yang menyumbang untuk biaya kepengurusan jenazah tersebut, maka hal ini dibolehkan, meski seandainya si mayit meninggalkan banyak harta yang melimpah.
Jika sanak kerabat saling berselisih, setiap orang ingin menanggung kepengurusan, pemandian, dan pengkafanan, maka didahulukan seseorang yang paling dekat hubungan rahim terhadap sang mayit. Hal ini jika si mayit tidak meninggalkan wasiyat kepada siapapun.
Tapi, seandainya si mayit berwasiyat kepada seseorang tertentu, dia berkata misalnya, “Tidak boleh memandikanku kecuali si fulan.” Maka si fulan yang diberi wasiyat itulah yang berkewajiban memandikannya.
Namun, jika si mayit tidak memberi wasiyat seperti yang diterangkan di atas, maka lebih diutamakan yang paling dekat, dari ayahnya, kemudian putranya, kemudian yang paling dekat, dan yang paling dekat. Allahu a`lam.

******

Pertanyaan: Lelaki dan wanita manakah dari kerabat jenazah yang berhak memandikan jenazah, baik jenazah itu laki-laki ataupun perempuan? Karena kami melihat beberapa lelaki masuk ke tempat pemandian jenazah, tak peduli apakah itu jenazah lelaki, perempuan, sanak kerabat, ataupun jenazah orang asing. Apakah tindakan seperti ini dibenarkan?3

Jawab: Jenazah lelaki hanya dimandikan oleh kaum lelaki. Tetapi boleh bagi wanita untuk memandikan suaminya. Sedangkan jenazah wanita, hanya dimandikan oleh kaum wanita. Tetapi boleh bagi seorang lelaki untuk memandikan istrinya. Sebab dua orang suami istri, masing-masing dari mereka boleh memandikan yang lainnya. Karena Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu ‘anhu telah memandikan istrinya, yaitu Fatimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam4. Demikian pula dengan Asma` binti Umais Radhiyallohu ‘anha, ia telah memandikan suaminya, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallohu ‘anhu.5
Adapun selain suami istri, maka tidak boleh bagi para wanita untuk memandikan kaum lelaki, dan tidak boleh pula bagi kaum lelaki untuk memandikan kaum perempuan. Setiap jenis kelamin hanya memandikan yang sama dengan jenisnya. Dan masing-masing dari dua jenis ini tidak boleh melihat aurat yang lain. Kecuali anak kecil yang belum tamyiz6, maka tidak mengapa untuk memandikannya, baik yang memandikan itu kaum lelaki dan perempuan. Karena anak kecil itu tidak ada aurat baginya.

******

Pertanyaan: Apakah benar jika seorang wanita mengurus pemandian anak kecil lelaki di bawah umur tujuh tahun?

Jawab: Hal ini dibolehkan, karena anak kecil lelaki tidak mempunyai aurat. Sebagaimana seorang ibu boleh mengurus kebersihannya di waktu kecil. Sang ibu mencebokinya dan langsung menyentuh kemaluannya padahal anak kecil itu hidup. Karena hal itu memang diperlukan. Juga karena Ibrahim putra Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia dimandikan oleh para wanita, seperti disebutkan para ulama fiqih dalam kitab Al-Ahkam (pembahasan mengenai hukum-hukum)7.
Para ulama fiqih juga menyebutkan bahwa perempuan kecil di bawah umur tujuh tahun, kaum lelaki boleh mengurus pemandiannya. Boleh menyentuh auratnya dan langsung melihat kemaluannya. Meski lebih diutamakan jika yang memandikannya adalah kaum wanita. Tetapi kebutuhan mendesak, kadang-kadang mengharuskan kaum lelaki untuk melakukannya. Allahu a`lam.

******

Pertanyaan: Apakah perhiasan seorang wanita yang meninggal, wajib dilepaskan sebelum ia dikuburkan?

Jawab: Benar! Hal itu adalah wajib. Karena melepas perhiasan tidaklah merusak badan sang wanita dan tidak pula berpengaruh padanya. Maka untuk perhiasan yang ada di tangan, tidak ada pengaruh ketika melepasnya. Demikian pula dengan perhiasan yang ada di lengan, telinga, dan hidung. Semua perhiasan ini jika dilepas, tidaklah berpengaruh terhadap wanita yang meninggal ini.
Karena itu maka wajib melepas semua perhiasan itu darinya dan tidak dibiarkan terkubur bersamanya. Sebab membiarkan perhiasan itu terkubur bersamanya, berarti kita sama dengan menghancurkan harta. Padahal orang yang hidup lebih membutuhkan perhiasan-perhiasan itu, seharusnya orang hidup itulah yang menjadi pemiliknya.

******

Pertanyaan: Jika seorang jenazah dalam mulutnya terdapat gigi emas, apakah gigi itu diambil sebelum ia dikubur, atau dibiarkan saja?

Jawab: Jika mencabutnya memang mudah, karena si mayit sewaktu hidup biasa mencabut gigi tersebut, juga dengan mencabutnya ini tidak bakal merusak mulut atau berpengaruh padanya, maka harus dilakukan adalah mencabut gigi emas itu darinya. Sebab gigi emas itu mempunyai nilai, dan orang yang hidup lebih berhak untuk memilikinya.
Tetapi jika dikawatirkan, seandainya gigi itu dicabut maka mulutnya terus terbuka, atau membuat pemandangannya semakin menakutkan, maka yang paling baik adalah menghindari pencabutan. Karena yang kita perhatikan, banyak dari para jenazah, yang seandainya orang-orang yang memandikan itu membuka langit-langit mulutnya, mereka tidak bisa menutupnya kembali, dan mulut itu tetap menganga.
Dan yang serupa dengan mulut adalah mata. Karena sering kita perhatikan, jika mata si mayit terbuka dan terus dibiarkan terbuka hingga meninggal dunia, maka mata itu akan terus terbuka dan tidak bisa ditutup.
Berdasarkan hal ini, maka sangat diharuskan bagi siapapun yang menghadiri saat-saat sekarat seseorang, untuk segera memejamkan kedua matanya sebelum ia meninggal dunia, atau saat meninggal dunia. Demikian pula ia harus menutup mulutnya, sehingga mulut itu terus tertutup dan mata terus terpejam. Allahu a`lam.

******

Pertanyaan: Saat memandikan jenazah, apakah kita disyariatkan untuk membersihkan kumis, bulu ketiak, bulu kemaluan dan kuku-kukunya, ataukah kita membiarkannya begitu saja?

Jawab: Saat memandikan jenazah, kita disyariatkan membersihkan kumis, demikian pula dengan bulu ketiak, dan kuku-kuku. Adapun rambut kemaluan, maka pendapat yang sahih, bahwa rambut itu dibiarkan saja tidak diutak-atik karena ia adalah aurat. Dan aurat itu tidak boleh disentuh setelah pemiliknya meninggal dunia. Bahkan tidak halal bagi kita untuk menyentuh auratnya baik ia hidup atau mati.

******

Pertanyaan: Apa yang kita lakukan terhadap bulu kumis, bulu ketiak, dan kuku yang diambil dari orang mati?

Jawab: Rambut dan kuku-kuku, dibungkus bersama si mayit dalam sebuah tas kecil, atau bungkusan lainnya, kemudian dikubur bersama si mayit. Dan boleh pula membuangnya di tanah bersama sampah-sampah yang lain, sama seperti rambut orang hidup tanpa ada rasa jijik dan lain sebagainya.

******

Pertanyaan: Ada seorang lelaki meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Badannya terluka sangat parah, seandainya dimandikan, air akan merusak seluruh tubuhnya. Maka apa yang harus kami lakukan?

Jawab: Jenazah ini dimandikan semampunya saja. Jika air bisa disiramkan ke sekujur tubuh dan tidak berpengaruh padanya, maka kita harus menyiramkan air ke tubuhnya tanpa menggosok-gosok. Tetapi jika sang jenazah keluar otaknya, ususnya terburai, atau potongan dagingnya kocar-kocir, maka disini kita hanya memandikan bagian tubuh yang bisa dimandikan, sedang yang lain cukup diusap saja.

******

Pertanyaan: Saat memandikan anak kecil, apakah kita wajib menutup auratnya atau tidak?

Jawab: Anak kecil yang berumur di bawah tujuh tahun, ia tidak memiliki aurat baik laki-laki atau perempuan. Karena itu kita tidak wajib menutupi sesuatupun dari anggota tubuhnya saat memandikan. Tetapi jika jenazah itu lebih dari tujuh tahun, maka kita wajib menutupi anggotanya yang diantara pusar hingga lutut.

******

Pertanyaan: Bolehkah kita mengkafani mayit dengan selain kain putih?

Jawab: Boleh, tetapi yang lebih baik adalah mengkafaninya dengan kain putih. Karena disebutkan dalam sunan Abi Dawud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,
((اِلْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ))8
“Pakailah untuk baju kalian kain-kain yang putih, karena kain putih adalah sebaik-baik baju kalian, dan kafanilah dengannya orang-orang yang mati dari kalian.”

******

Pertanyaan: Berapakah jumlah tali yang kita ikatkan pada kafan sang mayit?

Jawab: Yang disebutkan dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebanyak tujuh ikatan. Sudah masuk padanya ikatan pada kepala dan ikatan pada kedua kaki. Tetapi ikatan ini boleh lebih dari itu sesuai dengan kebutuhan.

******

Pertanyaan: Ada seorang muslim yang membunuh muslim lainnya, kemudian sang muslim pembunuh ini diberi hukuman bunuh juga. Pertanyaan kami, apakah muslim yang pembunuh ini jika sudah dibunuh, ia harus dimandikan dan dishalati?

Jawab: Benar, ia harus dimandikan dan dishalati. Sebab ia tidak keluar dari lingkaran agama Islam.

******

Pertanyaan: Apakah seseorang yang bunuh diri harus dimandikan dan dishalati?9

Jawab: Seseorang yang bunuh diri, ia tetap dimandikan, dishalati, dan dikubur di pekuburan kaum muslimin. Karena ia hanya berbuat maksiat dan tidak kafir. Sebab bunuh diri hanyalah sebuah kemaksiatan bukan suatu kekafiran. Maka, jika ada seseorang yang melakukan bunuh diri –mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari perbuatan ini-, ia tetap dimandikan, dishalati, dan dikafani.
Tetapi wajib bagi pemimpin tertinggi, dan orang-orang yang mempunyai jabatan penting, untuk tidak menyalatinya. Karena ini sebagai bentuk pengingkaran dari mereka, sehingga tidak ada seorangpun yang menduga bahwa para petinggi itu meridhai perbuatan bunuh diri tersebut.
Jadi! Seorang pemimpin Negara, sultan, hakim, gubernur, atau bupati, jika mereka tidak menyalati pelaku bunuh diri, sebagai bentuk pengingkaran dan pemberitahuan kepada para manusia bahwa ini adalah perbuatan yang salah, maka ini baik sekali. Tetapi kaum muslimin lainnya tetap harus menyalati pelaku bunuh diri itu.

******

Pertanyaan: Saya telah memandikan jenazah, tetapi saya tidak mandi setalah itu. Kemudian saya mengerjakan banyak shalat. Apakah saya berdosa dalam hal ini?

Jawab: Mengenai memandikan jenazah, ada sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan sanad yang sahih, yaitu sabda beliau yang berbunyi,
((مَنْ غَسَّلَ مَيِّتاً فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ))10
“Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu.”
Hadits ini didhaifkan oleh kebanyakan para ulama`. Sedangkan ulama lainnya mensahihkannya, dan sebagian ulama yang lain memilih berhenti (tawaqquf) pada matannya.
Para ulama yang memilih tawaqquf ini berkata, “Apa yang membuat kita harus mandi, karena orang yang memandikan jenazah tidak melakukan perbuatan apapun yang mengharuskannya mandi.” Sebab itulah mereka memilih untuk tawaqquf pada matannya.
Adapun para ulama yang mensahihkan hadits ini mereka meyakini bahwa mandi disini adalah hal yang mustahab. Jadi mereka mengatakan, “Sesungguhnya mandi adalah mustahab bagi orang yang memandikan mayit.”
Sedangkan sebagian ulama yang lain, mewajibkan berwudhu bagi orang yang memandikan, jika ternyata ia tidak mandi. Maka mereka berkata, “Mandi hanyalah sunnah muakkadah, tetapi jika tidak mandi maka ia wajib berwudhu, wudhu inilah kewajiban yang paling sedikit atasnya.”

******

Pertanyaan: Jika saya membawa jenazah, apakah saya wajib berwudhu atau tidak?

Jawab: Mengenai berwudhu bagi seseorang yang membawa mayit, ada sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang berbunyi,
((مَنْ غَسَّلَ مَيِّتاً فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ))11
“Barangsiapa memandikan orang mati, maka hendaklah ia mandi. Sedangkan siapapun yang menggotongnya maka hendaknya ia berwudhu.”
Barangkali maksud hadits di atas, khusus buat orang yang mendekapnya bukan orang yang membawa jenazah dalam keranda. Sehingga, ketika Abdullah bin Abbas Radhiyallohu ‘anha dan Abdullah bin Umar Radhiyallohu ‘anha membawa jenazah dalam keranda, kemudian dikatakan kepada mereka, “Berwudhulah!”, keduanya menjawab,
((مَا أَتَوَضَّأُ مِنْ حَمْلِ خَشَبَةٍ))
“Saya tidak perlu berwudhu hanya karena membawa kayu.”
Maksudnya, mereka tidak membawa apapun selain hanya kayu, dan tidak menyentuh apapun selain kayu belaka. Adapun seseorang yang mendekap jenazah yang sudah meninggal, yang bisa jadi dalam keadaan tanpa busana, atau mirip tanpa busana, maka hendaklah ia berwudhu berdasarkan pada hadits di atas.


Dinukil dari al-Muqorrib li Ahkaamil Jana`iz : 148 Fatawa fil Jana`iz, penyusun : ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad al-‘Arifi, dimuroja’ah oleh : ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, Penerbit : Dar ath-Thayibah, Riyadh, 1418 H/1997 M.

1 Yaitu kayu yang harum baunya, yang dibakar di atas arang. Setelah terbakar asapnya akan mengeluarkan keharuman yang semerbak kemana-mana.
2 Maksudnya kain-kain yang dibawahnya juga diberi parfum. Allahu a`lam.
3 Shalih Al-Fauzan, Al-Muntaqa, 1/78
4 Lihat, Al-Mushannaf fi Al-Ahaadits wa Al-Aatsaar karya Ibnu Abi Syaibah, 2/455, 456; juga Al-Mushannaf karya Abdurrazzaq Ash-Shan`ani, 3/408-411. hadits ini dihukumi hasan oleh Al-Albani. Lihat pula, Irwa` Al-Ghalil, 3/162
5 Lihat, Al-Mushannaf fi Al-Ahaadits wa Al-Aatsaar karya Ibnu Abi Syaibah, 2/455, 456; juga Al-Mushannaf karya Abdurrazzaq Ash-Shan`ani, 3/408-411.
6 Di bawah umur tujuh tahun, belum baligh dan belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang buruk.
7 Lihat, Manar As-Sabiil, 1/166
8 HR. Abu Dawud, 2/176 dan At-Tirmidzi, 2/132
9 Syaikh Abdullah bin Baaz, Fatawa Islamiyyah, 2/62
10 HR. Abu Dawud, 2/62-63; At-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ath-Thayalisi, dan Imam Ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits ini dihukumi sahih oleh Al-Albani.
11 HR. Abu Dawud, 2/62-63; At-Tirmidzi, 2/132, beliau menghukuminya hasan. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ath-Thayalisi, dan Imam Ahmad, 2/80, 433, 454, 472. Hadits ini dihukumi sahih oleh Al-Albani.

Makalah Pengurusan Jenazah dan Hikmahnya


PENGURUSAN JENAZAH DAN HIKMAHNYA

  1. Penyelenggaraan Jenazah
    1. Kewajiban-Kewajiban Dalam Pengurusan Jenazah
Apabila seorang muslim meninggal dunia ada 2 (dua) kewajiban yang harus segera diselesaikan oleh pihak yang masih hidup, yaitu :
Pertama, kewajiban terhadap jenazah dan,
Kedua, kewajiban terhadap harta waris,
Kewajiban kaum muslimin terhadap jenazah terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu :
  1. Memandikan
  2. Mengkafani (membungkus)
  3. Menyalatkan (menyembahyangkan)
  4. Menguburkan (mengebumikan)

  1. Cara Memandikan Jenazah
  1. Jenazah di tempatkan pada tempat yang terlindung dari sengatan matahari, hujan atau pandangan orang banyak. Diletakan pada tempat yang lebih tinggi, seperti dipan atau balai-balai.
  2. Jenazah di berikan pakaian (pakaian basahan), seperti sarung atau kain supaya memudahkan memandikannya, dan auratnya tetap tertutup. Yang memandikan hendaknya memakai sarung tangan.
  3. Air untuk memandikan jenazah hendaknya air dingin, kecuali dalam keadaan darurat, misalnya di daerah yang sangat dingin atau karena sebab-sebab lain.
  4. Setelah segala keperluan mandi telah disiapkan, maka langkah-langkah memandikan jenazah adalah sebagai berikut :
    1. Kotoran dan najis yang melekat pada anggota badan jenazah dibersihkan sampai hilang najisnya dan kotorannya.
    2. Jenazah diangkat (agak didudukan), perutnya diurut supaya kotoran yang mungkin ada di perutnya keluar.
    3. Kotoran yang ada pada kuku-kuku jari tangan dan kaki dibersihkan, termasuk kotoran yang ada di mulut atau di gigi.
    4. Menyiramkan air ke seluruh badan sampai merata, di mulai dari ujung rambut terus ke bawah sampai kaki.
    5. Mendahulukan anggota-anggota wudhu pada waktu menyiramkan air.
    6. Menyiramkan dan memandikannya disunahkan tiga kali dengan urutan; seluruh tubuh disiram basah, segera memakai sabun sampai bersih benar, sesudah itu diwudukan yang sempurna dan terakhir disiram dengan air dicampur dengan kapur barus atau lainnya yang benar-benar wangi.
Rasulullah saw, bersabda :
Artinya :
Dari Ummi Athiyah Ra. Berkata: nabi saw. Masuk ketika kami memandikan putri beliau, kemudian beliau bertkata: “Mandikanlah dia tiga kali atau lima kali atau lebih jika kamu pandang lebih baik lebih dari itu dengan air daun bidara, dan basuhlah yang terakhir dicampur dengan kapur barus”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada riwayat lain dinyatakan: “mulailah bagian muka dengan bagian badannya yang kanan dan anggota wudhu dari jenazah tersebut”.
Dalam hadits lain disebut:
Artinya:
Dari Ibnu Abbas ra. Berkata: seorang laki-laki berwukuf (dalam haji) diarafah, kemudian ia terjatuh dari kendaraannya, dan kemudian meninggal dunia. Kata beliau: “mandikanlah ia dengan air dan daun bidara”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedangkan orang-orang yang berhak menandikan jenazah adalah sebagai berikut:
  1. Jenazah laki-laki
Yang berhak memandikan adalah anak laki-lakinya atau orang laki-laki lain. Perempuan tidak dibolehkan, kecuali istri, anak perempuan atau muhrimnya.
  1. Jenazah perempuan
Yang berhak memandikan adalah anak perempaunnya atau orang perempuan lain. Laki-laki tidak boleh kecuali suami, anak laki-laki atau muhrimnya.
  1. Jenazah anak-anak yang belum dewasa
Yang menandikan boleh laki-laki atau orang perempuan. Apabila pada anggota badan jenazah terdapat cacat, maka orang yang memandikan harus merahsiakan hal tersebut, demi menjaga nama baik keluarga jenazah tersebut.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa jenazah yang akan dimandikan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Jenazah itu orang muslim atau muslimah
  2. Badannya, anggota badannya masih ada sekalipun hanya sedikit atau sebagian.
  3. Jenazah itu bukan mati syahid (mati dalam peperangan membela islam), karena orang yang mati syahid tidak wajib dimandikan.
  1. Cara mengafani jenazah
Fardu kifayah kedua, setelah mayat dimandikan adalah mengafani atau membungkus. Kain kafan ini harus di beli dari harta yang halal.
Kain kafan di ambil dari harta benda yang ditinggalkan si mayat. Tetapi jika si mayat tidak meninggalkan sesuatu harta, maka ditanggung oleh orang yang menanggung belanja si mayat ketika masih hidup. Namun ini juga tidak ada, maka wajib bagi kaum muslimin dan orang-orang yang mampu mencukupi kain kafan tersebut.
Kain kafan untuk mengafani jenazah sedikitnya satu lembar, satu lapis kain yang dapat dipergunakan untuk menutupi seluruh tubuh mayat, baik mayat laki-laki maupun perempuan. Tetapi jika mampu, maka disunahkan bagi mayat laki-laki dikafani dengan 3 (tiga) lafis/lembar kain tanpa baju atau surban. Sedangkan untuk mayat perempuan disunahkan 5 (lima) lapis kain, masing-masing untuk kain panjang (kain bawah), baju, tutup kepala, kerudung dan sehelai yang menutupi seluruh tubuhnya.
Warna kain kafan yang diutamakan berwarna putih, bila tidak ada warna apapun diperbolehkan dan di beri kapur barus dan serta harum-haruman. Dalam sebuah hadits di sebutkan:
Artinya:
Dari Aisyah ra. Bahwasanya Rasulullah Saw. Telah dikapani dengan tiga lapis kain yaman yang putih bersih yang terbuat dari kapas, tidak ada di dalamnya baju maupun surban.” (HR. Bukhari dan Muslim)
  1. Tata Cara Pelaksanaan Shalat Jenazah
Dalil mengenai kewajiban shalat jenazah cukup banyak antara lain adalah:
Artinya:
Rasulullah saw. Telah bersabda: “shalatkanlah orang-orang yang telah meninggal dunia.” (Hribn Majah).
  1. Syarat-syarat shalat jenazah
    1. Shalat jenazah seperti halnya dengan shalat yang lain, yaitu harus menutupi aurat, suci dari hadats besar dan kecil, bersih badan, pakaian dan tempatnya dari najis serta menghadap kiblat.
    2. Jenazah sudah dimandikan dan dikafani
    3. Letak jenazah sebelah kiblat orang yang menyalatkannya, kecuali kalau shalat yang dilakukan di atas kubur atau shalat gaib.
  1. Rukun Shalat Jenazah
  1. Niat
  2. Berdiri bagi yang kuasa
  3. Takbir empat kali
  4. Membaca patihah
  5. Membaca shalawat atas Nabi Saw
  6. Mendoakan mayat
  7. Memberi salam
  1. Cara Mengerjakan Shalat Jenazah
Shalat jenazah dapat dilakukan atas seorang mayat atau beberapa mayat sekaligus. Seorang mayat boleh bila dilakukan berulang kali salat. Misalnya mayat sudah disalatkan oleh sebagian orang, kemudian datanglah beberapa orang lagi untuk menyalatkannya dan seterrusnya.
Jika shalat dilakukan berjamaah, maka imam berdiri menghadap kiblat, sedang makmum berbaris di belakangnya. Mayit diletakan melintang dihadapan imam dan kepalanya di sebelah kanan imam. Jika mayit laki-laki hendaknya imam berdiri menghadap kiblat dekat kepalanya, dan jika mayit wanita, imam menghadap dekat perutnya.
Shalat jenazah tidak dengan ruku dan sujud serta tidak dengan azan dan iqamat.
  1. Niat menyengaja melakukan shalat atas mayit, dengan empat takbir menghadap kiblat karena allah.
  2. Takbiratul ihram, mengucapkan “allahu akbar” bersamaan dengan niat
  3. Membaca surat al-fatihah sebagai mana shalat-shalat yang lain (tidak di sertai dengan surat-surat yang lain). Setelah membaca al-fatihah terus takbir.
  4. Sesudah takbir yang kedua, terus membaca shalawat atas nabi saw.
  5. Setelah takbir yang ketiga, kemudian membaca doa sekurang-kurangnya sebagai berikut:
Artinya :
Ya allah ampuni dia, berilah rahmat dan sejahtera serta maafkanlah dia.”
  1. Selesai takbir keempat, membaca doa sebagai berikut:
Artinya:
Ya allah, janganlah engkau jadikan kami sebagai penghalang pahalanya, dan janganlah engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan dia.”
  1. Kemudian memberi salam sambil memalingkan muka kekanan dan kekiri dengan ucapan:
Artinya :
Keselamatan dan rahmat allah semoga tetap pada kamu sekalian.”

  1. Cara Menguburkan Jenazah
Pardu kifayah keempat adalah menguburkannya. Selesai di shalatkan, mayat segera di bawa ke kubur untuk di makamkan. Menguburkan jenazah apabila ia orang shaleh harus disegerakan, supaya ia segera menerima kebaikannya.
Jenazah hendaknya dipikul oleh empat orang dan diantarkan sebagai penghormatan terakhir sampai pemakaman.
Tata cara menguburkan jenazah
  1. Dibutuhkan liang lahat yang cukup dalam, sepanjang badan mayat, dalamnya setinggi orang berdiri ditambah setengah lengan, lebarnya kurang lebih satu meter. Di dasar lubang dibuat lebih miring lebih dalam kearah kiblat. Maksudnya agar tidak mudah dibongkar binatang buas dan tidak bau setelah mayat itu membusuk.
  2. Setelah jenajah diusung dan sampai kubur, maka masukkanlah ke dalam liang lahat itu dengan miring ke kanan dan menghadap kiblat. Pada saat meletakannya jenazah, hendaknya membaca:

Artinya:
Dengan nama Allah SWT dan atas nama agama Rasulullah.
  1. Tali-tali pengikat kain kafan di lepas semua, tepi kanan dan ujung kaki di tempelkan ketanah.
  2. Setelah itu, mayat di tutup dengan papan, kayu, atau bambu yang disebut “dinding ari” kemudian diatasnya ditimbun tanah sehingga lubang itu rata dan ditinggikan seperlunya kira-kira sejengkal (cukup sebagai tanda) serta biasanya di atas lurus dengan kepala mayat di beri tanda (batu).
  3. Kemudian meletakannya pelapahan yang masih basah atau menyiramnya dengan kembang di atas kubur tersebut. Hal ini sesuai dengan perbuatan rasul pada saat selesai menguburkan putranya, Ibrahim.
Artinya:
Dari Ja’far bin Muhamad dari ayahnya bahwasanya Nabi Muhamad Saw. Menyiram kubur putranya Ibrahim.
  1. Mendoakan dan memohonkan ampun bagi jenazah serta diberikan keteguhan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat munkar-nakir di alam kubur.
    1. Mati Syahid
Orang yang mati sahid, yaitu orang yang mati dimedan perang untuk meninggikan agama Allah. Mereka tidak dimandikan dan juga tidak disembahyangkan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Saw. Sebagai berikut:
Artinya :
Dari Jabir bin Abdullah ra. Berkata: “Nabi saw. Mengumpulkan dua orang laki-laki yang meninggal dalam perang uhud dalam satu kain.. Dan beliau telah memerintahkan supaya mereka dikuburkan dengan darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.” (HR Bukhari)
Tidak boleh dimandikan dan disalati, sebab darah orang yang mati syahid itu dihari kiamat akan berubah menjadi aksturi (bau wangi) di hadirat tuhan.
Adapun orang yang mati syahid itu dibagi atas beberapa macam :
  1. Syahid dunia, yaitu orang yang mati di medan perang hanya sekedar untuk mempertahankan tanah air, diri dan hartanya.
  2. Syahid akhirat, yaitu orang yang mati karam, terbenam, sakit perut, mati melahirkan anak.
  3. Syahid dunia akhirat, yaitu orang-orang yang telah disebutkan di atas tadi, ialah orang yang mati di medan perang untuk meninggikan kalimah tuhan.
Pada syahid yang ketiga tersebut di atas, haram memandikan dan menyembahyangkan mereka. Adapun syahid yang pertama dan kedua itu boleh diperlakukan sebagai mayat biasa asal saja badannya tidak hancur ketika mati itu. Demikian penjelasan i’anat Al-Thalibin.
    1. Kewajiban-Kewajiban Yang Berkenan Dengan Peninggalan
Syarat islam telah menetapkan harta peninggalan seseorang yang telah wafat, yaitu:
  1. Mengurus dan membiayai penguburan jenazah
Jika pada saat meninggal dunia, seorang muslim memiliki harta benda yang ditinggalkan, maka yang pertama harus dibiayai dengan uang peninggalan pengurusan jenazah.
Biaya pengurusan jenazah ini berupa:
    1. Membeli kain kafan, sabun, kapur barus, minyak wangi, dan lain-lain.
    2. membeli kayu/papan atau bambu sebagai penutup liang lahat, biaya penguburan dan lain sebgainya.
  1. Melunasi hutang-hutangnya
Jika masih ada harta peninggalan setelah diambil untuk biaya pengurusan jenazah, maka dipergunakan untuk melunasi hutang-hutangnya, yaitu: yaitu hutang kepada allah (seperti jakat, nadzar) maupun hutang kepada sesama manusia.
Ibn hazm al-syafi’i menyatakan hutang kepada allah harus di dahulukan dari pada hutang kepada manusia. Sedang golongan hanafi menyatakan bahwa hutang nayit telah gugur dengan adanya kematian. Karena itu, ahli waris tidak berkewajiban membayar hutang mayit kepada allah, kecuali bilaahli waris melakukan dengan sukarela, atau diwasiatkan oleh mayit untuk dibayar. Dengan diwasiatkannya hutang, maka hutang itu menjadi seperti wasiat kepada orang lain yang dilaksanakan oleh ahli waris sepertiga dari sisa untuk perawatan mayat dan ahli waris, maka wasiat diambil sepertiga dari seluruh harta peninggalan. Sedangkan iamam ahmad bin hanbal mempersamakan antara hutang kepada allah dan manusia, artinya keduanya harus sama-sama dibayar, tetapi mereka mendahulukan pembayaran hutang yang bersifat ‘aini (hutang yang berkaitan dengan harta) kemudian baru yang bersifat mutlak.
Hutang mayat harus dibayar, sebab hal ini sangat mempengaruhi kehidupannya diakhirat nanti. Bila hutang tersebut tidak dibayar atau tidak direlakan oleh pihak yang menghutangi, maka akan menambah berat beban simayat.
Artinya:
Dari abu salamah dari abu hurairah ra. Rasulullah sa. Telah bersabda: “diri seorang mukmin itu tergantung (tidak sampai kehadirat allah ) karena hutangnya, sehingga dibayar terlebih dahulu hutangnya itu ( oleh familinya yang masih hidup)”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
  1. Memenuhi dan melaksanakan wasiat
Apabila hartanya masih ada, maka wasiatnya harus dipenuhi. Wasiat yang perlu dipenuhi adalah wasiat yang tidak melebihi 1/3 harta yang ditinggalkan. Wasiat bisa berupa waqaf wasiat, hutang wasiat, dan sebagainya.
Allah SWT berfirman :
Artinya :
Sesudah dipenuhi wasiat yang ai buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (QS. Al-Nisa’ : 11)
  1. Warisan kepada Ahli waris yang berhak
Jika kewajiban pertama, kedua dan ketiga telah ditunaikan maka jika masih ada siswa peninggalan si mayit kemudian dibagi kepaa ahli waris yang berhak menerimanya.

  1. Hikmah Syariah penyelenggaraan jenazah
    1. Merupakan menifestasi dari perasaan ukhuwah islamiyah
    2. Mewujudkan ketinggian agama islam sebab bukan hanya kepada yang hidup saja seorang harus menghormati, tetapi juga kepada yang sudah meninggal.
    3. Lebih mempertegas ajaran islam tentang persamaan kedudukan manusia di hadapan Allah. Semua itu tergaambar dalam pengurusan jenazah tidak terdapat perbedaan antara si kaya dan si miskin.

Pengurusan Jenazah

Apabila telah nampak tanda-tanda ajal telah tiba, maka tindakan yang sunah dilakukan oleh orang yang menunggu adalah sebagai berikut:

1. Membaringkan muhtadlir pada lambung sebelah kanan dan menghadapkannya ke arah qiblat. Jika tidak memungkinkan semisal karena tempatnya terlalu sempit atau ada semacam gangguan pada lambung kanannya, maka ia dibaringkan pada lambung sebelah kiri, dan bila masih tidak memungkinkan, maka diterlentangkan menghadap kiblat dengan memberi ganjalan di bawah kepala agar wajahnya bisa menghadap qiblat.

2. Membaca surat Yasin dengan suara agak keras, dan surat Ar Ra’du dengan suara pelan. Faedahnya adalah untuk mempermudah keluarnya ruh. Nabi saw. bersabda:

اِقْرَؤُاْ يٰس عَلَى مَوْتٰاكُمْ. (رواه أبو داود)

“Bacakanlah surat yasin atas orang-orang (yang akan) mati kalian”. (HR. Abu Dawud)

Bila tidak bisa membaca keduanya, maka cukup membaca surat Yasin saja.
3. Mentalqin kalimat tahlil dengan santun, tanpa ada kesan memaksa. Nabi Muhammad saw. bersabda:

لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ. (رواه مسلم)

“Tuntunlah orang (yang akan) mati diantara kamu dengan ucapan laailaha illallah”. (HR. Muslim)

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلٰهَ إلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه الحاكم)

“Barangsiapa ucapan terakhirnya kalimat laailaha illallah, maka ia akan masuk surga”. (HR. Hakim)

Dalam mentalqin, pentalqin (mulaqqin ) tidak perlu menambah kata, kecuali muhtadlir (orang yang akan mati) bukan seorang mukmin, dan ada harapan akan masuk Islam. Talqin tidak perlu diulang kembali jika muhtadlir telah mampu mengucapkannya, selama ia tidak berbicara lagi. Sebab, tujuan talqin adalah agar kalimat tahlil menjadi penutup kata yang terucap dari mulutnya.

4. Memberi minum apabila melihat bahwa ia menginginkannya. Sebab dalam kondisi seperti ini, bisa saja syaitan menawarkan minuman yang akan ditukar dengan keimanannya.

5. Orang yang menunggu tidak diperbolehkan membicarakan kejelekannya, sebab malaikat akan mengamini perkataan mereka.

Sesaat Setelah Ajal Tiba

Setelah muhtadlir dipastikan meninggal, tindakan selanjutnya yang sunah untuk dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Memejamkan kedua matanya seraya membaca:

بِسْمِ اللهِ وَعَلٰى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ، اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ.

2. Mengikat rahangnya ke atas kepala dengan kain yang agak lebar supaya mulutnya tidak terbuka.

3. Melemaskan sendi-sendi tulangnya dengan melipat tangan ke siku, lutut ke paha dan paha ke perut. Setelah itu dibujurkan kembali dan jari-jari tangannya dilemaskan. Bila agak terlambat sehingga tubuhnya kaku, maka boleh menggunakan minyak atau yang lainnya untuk melemaskan sendi-sendi tulang mayit. Faedah dari pelemasan ini adalah mempermudahkan proses memandikan dan mengkafani.

4. Melepas pakaian secara perlahan, kemudian menggantinya dengan kain tipis yang dapat menutup seluruh tubuhnya, yang ujungnya diselipkan di bawah kepala dan kedua kakinya. Kecuali apabila ia sedang melaksanakan ihram, maka kepalanya harus dibiarkan terbuka.

5. Meletakkan benda seberat dua puluh dirham (20x2,75 gr = 54,300 gr) atau secukupnya di atas perutnya dengan dibujurkan dan diikat agar perutnya tidak membesar.

6. Meletakkan mayit di tempat yang agak tinggi agar tidak tersentuh kelembaban tanah yang bisa mempercepat rusaknya badan.

7. Dihadapkan ke arah qiblat sebagaimana muhtadlir.

8. Segera melakukan perawatan pada mayit, dan melaksanakan wasiatnya.

9. Membebaskan segala tanggungan hutang dan lainnya.

Tajhizul Jenazah (Merawat Mayit)

Tajhizul jenazah adalah merawat atau mengurus seseorang yang telah meninggal. Perawatan di sini berhukum fardlu kifayah, kecuali bila hanya terdapat satu orang saja, maka hukumnya fardlu ‘ain.

Hal-hal yang harus dilakukan saat merawat jenazah sebenarnya meliputi lima hal, yaitu:

1. Memandikan

2. Mengkafani

3. Menshalati

4. Membawa ke tempat pemakaman

5. Memakamkan

Namun, karena kewajiban membawa jenazah ke tempat pemakaman merupakan kelaziman dari kewajiban memakamkannya, kebanyakan ahli fiqih tidak mencantumkannya. Sehingga perawatan mayit hanya meliputi empat hal, yakni memandikan, mengkafani, menshalati dan memakamkannya.

Dari keempat hal yang diwajibkan di atas, pada taraf praktek terdapat beberapa pemilahan sebagai berikut:

1. Orang Muslim

a. Muslim yang bukan syahid

Kewajiban yang harus dilakukan adalah:

1. Memandikan.

2. Mengkafani.

3. Menshalati.

4. Memakamkan.

b. Muslim yang syahid dunia atau syahid dunia-akhirat, mayatnya haram dimandikan dan dishalati, sehingga kewajiban merawatnya hanya meliputi:

a. Menyempurnakan kafannya jika pakaian yang dipakainya tidak cukup untuk menutup seluruh tubuhnya.

b. Memakamkan.

2. Bayi yang terlahir sebelum usia 6 bulan (Siqtu)

Dalam kitab-kitab salafy dikenal tiga macam kondisi bayi, yakni:

a. Lahir dalam keadaan hidup. Perawatannya sama dengan perawatan jenazah muslim dewasa.

b. Berbentuk manusia sempurna, tapi tidak tampak tanda-tanda kehidupan. Hal-hal yang harus dilakukan sama dengan kewajiban terhadap jenazah muslim dewasa, selain menshalati.

c. Belum berbentuk manusia sempurna. Bayi yang demikian, tidak ada kewajiban apapun dalam perawatannya, akan tetapi disunahkan membungkus dan memakamkannya.

Adapun bayi yang lahir pada usia 6 bulan lebih, baik terlahir dalam keadaan hidup ataupun mati, kewajiban perawatannya sama dengan orang dewasa.

3. Orang Kafir

Dalam hal ini orang kafir dibedakan menjadi dua:

a. Kafir dzimmi (termasuk kafir muaman dan mu’ahad)

Hukum menshalati mayit kafir adalah haram, adapun hal yang harus dilakukan pada mayat kafir dzimmi adalah mengkafani dan memakamkan.

b. Kafir harbi dan Orang murtad

Pada dasarnya tidak ada kewajiban apapun atas perawatan keduanya, hanya saja diperbolehkan untuk mengkafani dan memakamkannya.

Memandikan

Seperangkat peralatan yang harus disiapkan sebelum memandikan mayit adalah daun kelor (Jawa: widara), sabun, sampo, kaos tangan, handuk, kapur barus, air bersih dan sebagainya.

Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses memandikan mayit adalah:


a. Orang yang memandikan harus sejenis

Maksudnya bila mayitnya laki-laki yang memandikan harus laki-laki begitu pula apabila mayitnya perempuan, kecuali apabila masih ada ikatan mahrom, suami-istri, atau mayit adalah anak kecil yang belum menimbulkan syahwat. Bila tidak ditemukan orang yang boleh memandikan, maka mayit cukup ditayamumi dengan ditutup semua anggota tubuhnya selain anggota tayamum, dan yang mentayamumi harus memakai alas tangan.

Urutan orang yang lebih utama memandikan mayit laki-laki adalah ahli waris ashabah laki-laki, kerabat lai-laki yang lain, istri, orang laki-laki lain. Waris ashabah yang dimaksud adalah:

1. Ayah

2. Kakek dan seatasnya

3. Anak laki-laki

4. Cucu laki-laki dan sebawahnya

5. Saudara laki-laki kandung

6. Saudara laki-laki seayah

7. Anak dari saudara laki-laki kandung

8. Anak dari saudara laki-laki seayah

9. Saudara ayah kandung

10. Saudara ayah seayah

Bagi mayit perempuan, yang paling utama memandikannya adalah perempuan yang masih memiliki hubungan kerabat dan ikatan mahram dengannya; seperti anak perempuan, ibu dan saudara perempuan.

b. Orang yang memandikan dan yang membantunya memiliki sifat amanah, dalam artian:

1. Kemampuan dalam memandikan mayit tidak diragukan lagi.

2. Apabila ia memberikan suatu kegembiraan yang tampak dari mayit, maka beritanya dapat dipercaya. Sebaliknya, jika ia melihat hal-hal buruk dari diri mayit, maka ia mampu merahasiakannya. Nabi Muhammad saw bersabda:

أُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوْا عَنْ مَسَاوِيهِمْ. (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِىّ)

“Sebutkanlah kebaikan-kebaikan orang yang mati diantaramu dan jagalah kejelekan-kejelekannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Tempat Memandikan

Prosesi memandikan dilaksanakan pada tempat yang memenuhi kriteria berikut:

1. Sepi, tertutup dan tidak ada orang yang masuk, kecuali orang yang memandikan dan orang yang membantunya.

2. Ditaburi wewangian untuk mencegah bau yang keluar dari tubuh mayit.

Etika Memandikan

1. Haram melihat aurat mayit, kecuali untuk kesempurnaan memandikan. Seperti untuk memastikan bahwa air yang disiramkan sudah merata, atau untuk menghilangkan kotoran yang bisa mencegah sampainya air pada kulit.

2. Wajib memakai alas tangan saat menyentuh aurat mayit, dan sunah memakainya ketika menyentuh selainnya.

3. Mayit dibaringkan dan diletakkan di tempat yang agak tinggi, seperti di atas dipan atau di pangku oleh tiga atau empat orang dengan posisi kepala lebih tinggi dari tubuh. Hal ini untuk mencegah mayit dari percikan air.

4. Mayit dimandikan dalam keadaan tertutup semua anggota tubuhnya. Bila tidak memungkinkan atau mengalami kesulitan, maka cukup menutup auratnya saja.

5. Disunahkan menutup wajah mayit mulai awal sampai selesai memandikan.

6. Disunahkan pula memakai air dingin yang tawar, karena lebih bisa menguatkan daya tahan tubuh mayit, kecuali jika cuaca dingin, maka boleh memakai air hangat.

7. Menggunakan tempat air yang besar, dan diletakkan agak jauh dari mayit.

Tata-cara Memandikan

1. Batas Minimal

Memandikan mayit sudah dianggap cukup apabila sudah melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

a) Menghilangkan najis yang ada pada tubuh mayit.

b) Menyiramkan air secara merata pada anggota tubuh mayit, termasuk juga bagian farji tsayyib (kemaluan wanita yang sudah tidak perawan) yang tampak saat duduk, atau bagian dalam alat kelamin laki-laki yang belum dikhitan.

Catatan:

Bila terdapat najis yang sulit dihilangkan, semisal najis di bawah kuncup, maka menurut Imam Romli, setelah mayit tersebut dimandikan, maka langsung dikafani dan dimakamkan tanpa dishalati. Namun, menurut Ibnu Hajar, bagian yang tidak terbasuh tersebut bisa diganti dengan tayamum sedangkan najisnya berhukum ma’fu.

Adapun cara mentayamumkan mayit adalah sebagai berikut:

1) Menepukkan kedua tangan pada debu disertai dengan niat sebagai berikut:

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ عَنْ تَحْتِ قَلْفَةِ هٰذَا الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ.

Atau bisa juga dengan membaca:

نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ عَنْ هٰذَا الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ ِللهِ تَعَالٰى

Niat ini harus terus berlangsung (istidamah) sampai kedua telapak tangan orang tersebut mengusap wajah mayit.

2) Menepukkan kedua telapak tangan pada debu yang digunakan untuk mengusap kedua tangan mayit, tangan kiri untuk mengusap tangan kanan mayit, dan tangan kanan untuk mengusap tangan kirinya.

2. Batas Kesempurnaan

Memandikan mayit dianggap sempurna apabila melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

a) Mendudukkan mayit dengan posisi agak condong ke belakang.

b) Pundak mayit disanggah tangan kanan, dengan meletakkan ibu jari pada tengkuk mayit, dan punggung mayit disanggah dengan lutut.

c) Perut mayit dipijat dengan tangan kiri secara perlahan, supaya kotoran yang ada pada perutnya bisa keluar.

d) Mayit diletakkan kembali ke posisi terlentang, kemudian dimiringkan ke kiri.

e) Membersihkan gigi dan kedua lubang hidung mayit, dengan jari telunjuk tangan kiri yang beralaskan kain basah yang tidak digunakan untuk membersihkan qubul dan dubur.

f) Mewudlukan mayit. Adapun rukun dan kesunahannya sama persis dengan wudlunya orang hidup. Hanya saja, saat berkumur disunahkan tidak membuka mulut mayit agar airnya tidak masuk ke dalam perut. Hal ini apabila tidak terdapat hajat untuk membukanya.

Adapun niatnya adalah:

نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ الْمَسْنُوْنَ لِهٰذَا الْمَيِّتِ/ لِهٰذِهِ الْمَيِّتَةِ ِللهِ تَعَالٰى

g) Mengguyurkan air ke kepala dan jenggot mayit dengan memakai air yang telah dicampur daun kelor atau sampo.

h) Menyisir rambut dan jenggot mayit yang tebal secara pelan-pelan, dengan menggunakan sisir yang longgar gigirnya, agar tidak ada rambut yang rontok. Bila ada rambut atau jenggot yang rontok, maka wajib diambil dan dikubur bersamanya.

i) Mengguyur bagian depan tubuh mayit sebelah kanan, mulai leher sampai telepak kaki, dengan memakai air yang telah dicampur daun kelor atau sabun. Begitu pula bagian sebelah kirinya.

j) Mengguyur bagian belakang tubuh mayit sebelah kanan, dengan posisi agak dimiringkan, mulai tengkuk, punggung sampai telapak kaki. Begitu pula bagian sebelah kirinya.

k) Mengguyur seluruh tubuh mayit dengan menggunakan air yang jernih, untuk membersihkan sisa-sisa daun kelor, sabun, dan sampo pada tubuh mayit.

l) Mengguyur seluruh tubuh mayit dengan air yang dicampur sedikit kapur barus. Dengan catatan, saat meninggal mayit tidak dalam keadaan ihram. Saat basuhan terakhir ini, sunah membaca niat:

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِهٰذَا الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ ِللهِ تَعَالٰى

Atau

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ عَلَيْهِ/ عَلَيْهَا

Mengkafani

Pada dasarnya tujuan mengkafani adalah menutup seluruh bagian tubuh mayit. Walaupun demikian para fuqaha’ memberi batasan tertentu sesuai dengan jenis kelamin mayit. Batasan-batasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Batas Minimal

Batas minimal mengkafani mayit, baik laki-laki ataupun perempuan, adalah selembar kain yang dapat menutupi seluruh tubuh mayit.

2. Batas Kesempurnaan

a) Bagi mayit laki-laki

Bagi mayit laki-laki yang lebih utama adalah 3 lapis kain kafan dengan ukuran panjang dan lebar sama, dan boleh mengkafani dengan 5 lapis yang terdiri dari 3 lapis kain kafan ditambah surban dan baju kurung, atau 2 lapis kain kafan ditambah surban, baju kurung dan sarung.

b) Bagi mayit perempuan

Bagi mayit perempuan atau banci, kafannya adalah 5 lapis yang terdiri dari 2 lapis kain kafan ditambah kerudung, baju kurung dan sewek.

Kain kafan yang dipergunakan hendaknya berwarna putih dan diberi wewangian, bila mengkafani lebih dari ketentuan batas maka hukumnya makruh, sebab dianggap berlebihan.

Cara-cara Praktis Mengkafani Mayit

Menyiapkan 5 lembar kain berwarna putih yang terdiri dari surban atau kerudung, baju kurung, sarung atau sewek, dan 2 lembar kain untuk menutup seluruh tubuh mayit. Untuk memudahkan proses mengkafani, urutan peletakannya adalah sebagai berikut:

1. Tali.

2. Kain kafan pembungkus seluruh tubuh.

3. Baju kurung.

4. Sarung atau sewek.

5. Sorban atau kerudung.

6. Setelah kain kafan diletakkan di tempatnya, letakkan mayit yang telah selesai dimandikan dengan posisi terlentang di atasnya dalam keadaan tangan disedekapkan.

7. Letakkan kapas yang telah diberi wewangian pada anggota tubuh yang berlubang, anggota tubuh ini meliputi:

a) Mata

b) Lubang hidung

c) Telinga

d) Mulut

e) Dubur

Demikian juga pada anggota sujud, meliputi:

a) Jidat

b) Hidung

c) Kedua siku

d) Telapak tangan

e) Jari-jari telapak kaki

8. Mengikat pantat dengan kain sehelai.

9. Memakaikan baju kurung, sewek atau sarung, dan surban atau kerudung.

10. Mayit dibungkus dengan kain kafan yang menutupi seluruh tubuhnya, dengan cara melipat lapisan pertama, dimulai dari sisi kiri dilipat ke sisi kanan, kemudian sisi kanan dilipat ke kiri. Begitu pula untuk lapis kedua dan ketiga.

11. Mengikat kelebihan kain di ujung kepala dan kaki (dipocong), dan diusahakan pocongan kepala lebih panjang.

12. Setelah ujug kepala dan ujung kaki diikat, sebaiknya ditambahkan ikatan pada bagian tubuh mayit; seperti perut dan dada, agar kafan tidak mudah terbuka saat dibawa ke pemakaman.

Menshalati

Hal-hal yang berkaitan dengan menshalati mayit secara garis besar ada tiga, yakni syarat, rukun, dan hal-hal yang disunahkan di dalamnya, adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Syarat Shalat Mayit

a) Mayit telah disucikan dari najis baik tubuh, kafan maupun tempatnya.

b) Orang yang menshalati telah memenuhi syarat sah shalat.

c) Bila mayitnya hadir, posisi mushalli harus berada di belakang mayit. Adapun aturannya adalah sebagai berikut:

1) Mayit laki-laki:

Mayit dibaringkan dengan meletakkan kepada di sebelah utara. Imam atau munfarid berdiri lurus dengan kepala mayit.

2) Mayit perempuan

Cara peletakkan mayit sama dengan mayit laki-laki, sedangkan imam atau munfarid berdiri lurus dengan pantat mayit.

d) Jarak antara mayit dan mushalli tidak melebihi 300 dziro’ atau sekitar 150 m. Hal ini jika shalat dilakukan di luar masjid.

e) Tidak ada penghalang antara keduanya; misalnya seandainya mayit berada dalam keranda, maka keranda tersebut tidak boleh dipaku.

f) Bila mayit hadir, maka orang yang menshalati juga harus hadir di tempat tersebut.

2. Rukun Shalat Mayit

a) Niat.

Apabila mayit hanya satu, niatanya adalah:

أُصَلِّيْ عَلٰى هٰذَا الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِتَةِ ِللهِ تَعَالٰى

Dan jika banyak, niatnya adalah:

أُصَلِّي عَلٰى مَنْ حَضَرَ مِنْ أَمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ

b) Berdiri bagi yang mampu.

c) Melakukan takbir sebanyak empat kali termasuk takbiratul ihram.

d) Membaca surat Al Fatihah setelah takbir pertama.

e) Membaca shalawat Nabi setelah takbir kedua.

Contoh bacaan sholawat:

اللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ

f) Mendo’akan mayit setelah takbir ketiga.

Contoh do’a:

اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ، وَاعْفُ عَنْهُ

g) Mengucapkan salam pertama setelah takbir keempat.

Contoh bacaan salam:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

3. Kesunahan Dalam Shalat Jenazah

a) Mengangkat kedua telapak tangan sampai sebatas bahu, lalu meletakkannya diantara dada pusar pada setiap takbir.

b) Menyempurnakan lafadh niat;

أُصَلِّيْ عَلٰى هٰذاَ الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ فَرْضَ الْكِفَايَةِ مَأْمُوْمًا/ إِمَامًا ِللهِ تَعَالىٰ.

c) Melirihkan bacaan fatihan, shalawat dan do’a.

d) Membaca ta’awwudz sebelum membaca surat Al Fatihah.

e) Tidak membaca do’a iftitah.

f) Membaca hamdalah sebelum membaca shalawat.

g) Menyempurnakan bacaan shalawat. Adapun lafadhnya adalah:

، اللّـٰهُمَّ صَلَِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

h) Menyempurnakan bacaan do’a untuk si mayit

اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وبَرَدٍ، وَنَقِّهِ مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَاراً خَيْراً مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْراً مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجاً خَيْراً مِنْ زَوْجِهِ، وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابِ الناَّرِ. اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّناَ، وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا، وَغَائِبِنَا، وَصَغِيْرِنَا، وَكَبِيْرِنَا، وَذَكَرِنَا، وَأُنْثَاناَ، اللّـٰهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلٰى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلٰى اْلإِيْمَانِ. اللّـٰهُمَّ هٰذَا عَبْدُكُ وَابْنُ عَبْدِكَ، خَرَجَ مِنْ رُوْحِ الدُّنْيَا وَسَعَتِهَا وَمَحْبُوْبِهَا وَأَحِبَّائِهِ فِيْهَا إِلٰى ظُلْمَةِ الْقَبْرِ وَمَا هُوَ لاَقِيَهُ، كاَنَ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ، اللّـٰهُمَّ نَزِّل بِكَ وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُوْلٍ بِهِ، وَأَصْبَحَ فَقِيْراً إِلىٰ رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ، وَقَدْ جِئْنَاكَ رَاغِبِيْنَ إِلَيْكَ شُفَعَاءَ لَهُ، اللّـٰهُمَّ إِنْ كَانَ مُحْسِناً فَزِدْ فِيْ إِحْسَانِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيْئاً فَتَجَاوَزْ عَنْهُ، وَلَقِّهِ بِرَحْمَتِكَ اْلأَمَنَ مِنْ عَذَابِكَ، حَتّٰى تَبْعَثَهُ إِلٰى جَنَّتِكَ يٰا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

i) Bila mayatnya anak kecil sunah untuk menambah do’a:

اللّـٰهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطاً ِلأَبَوْيهِ وَسَلَفاً وَذُخْراً، وَعِظَةً وَاعْتِبَاراً وَشَفِيْعاً، وَثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا وَأَفْرِغِ الصَّبْرَ عَلٰى قُلُوْبِهِمَا وَلاَ تَفْتِنَّهُمَا بَعْدَهُ وَلاَ تَحْرِمْهُمَا أَجْرَهُ.

j) Setelah takbir ke-empat sunah untuk membaca do’a:

اللّـٰهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ.

k) Membaca do’a untuk masing-masing mukmin setelah membaca shalawat:

اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ.

l) Salam yang kedua sunah untuk menyempur-nakan. Redaksinya adalah:

اَلسَّلاَمُ عَليْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.

m) Sunah dilakukan di masjid dengan memper-banyak shaf .

Shalat Ghoib

Bagi orang yang tidak dapat datang ke tempat mayit boleh melakukan shalat ghoib di tempatnya, namun dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Ada masyaqat (kesulitan) untuk datang ke tempat jenazah.

2. Berkewajiban menshalati mayit.

Adapun lafadh niatnya untuk mayit tunggal adalah:

أُصَلَّيْ عَلٰى مَيِّت (إِسْمِ الْمَيِّتِ) الْغَائِبِ/ مَيِّتَةِ (إِسْمِ الْمَيِّتِةِ) الْغَائِبَةِ فَرْضَ الْكِفَايَةِ مَأْمُوْمًا/ إِمَامًا ِللهِ تَعَالٰى.

Bila mayit jumlahya banyak, maka setelah menyebutkan nama-nama mayit, diperbolehkan menggunakan niat:

أُصَلِّيْ عَلٰى مَنْ ذَكَرْتُهُمْ فَرْضَ الْكِفَايَةِ مَأْمُوْمًا/ إِمَامًا ِللهِ تَعَالٰى.

Kriteria Imam Shalat Jenazah

Adapun urutan orang yang lebih utama dan berhak menjadi imam shalat jenazah adalah sebagai berikut:

1. Ayah.

2. Kakek dan seatasnya.

3. Anak laki-laki.

4. Cucu laki-laki dan sebawahnya.

5. Saudara laki-laki kandung.

6. Saudara laki-laki seayah.

7. Anak dari saudara laki-laki kandung.

8. Anak dari saudara laki-laki seayah.

9. Saudara ayah kandung.

10. Saudara ayah seayah.

11. Orang laki-laki yang memiliki hubungan kerabat.

Teknis Pelaksanaan

1. Takbiratul ihram bersamaan dengan niat shalat.

2. Membaca ta’awwudz dan surat Al Fatihah dengan suara pelan.

3. Takbir kedua.

4. Membaca hamdalah dan shalawat secara sempurna.

5. Takbir ketiga.

6. Membaca do’a secara sempurna.

7. Takbir keempat.

8. Membaca do’a.

9. Membaca salam dengan sempurna.

Proses Pemberangkatan Jenazah
Pelepasan Mayit

Setelah selesai shalat, keranda mayit diangkat, setelah itu salah satu wakil dari keluarga memberikan kata sambutan pelepasan mayit, yang isinya meliputi:

a) Permintaan maaf kepada para hadirin dan teman keseharian atas kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukan mayit.

b) Pemberitahuan tentang pengalihan urusan hutang piutang kepada ahli waris.

c) Penyaksian atas baik dan buruknya mayit.

Sambutan-sambutan di atas hendaknya tidak terlalu panjang, sebab sunah sesegara mungkin membawa mayit ke pemakaman.

Cara Mengantar Jenazah

Pada dasarnya dalam mengusung mayit diperbolehkan dengan berbagai cara, asalkan tidak ada kesan meremehkan mayit. Namun, sunah untuk meletakkan mayit di keranda, dengan diusung oleh tiga atau empat orang laki-laki. Dalam pengusungan ini, posisi kepala mayit berada di depan.

Etika Pengiring Jazanah

1. Para penggiring jenazah hendaknya berada di depan dan di dekat mayit.

2. Makruh mengeraskan suara, kecuali bacaan Al Qur’an, dzikir atau shalawat Nabi.

3. Berjalan kaki lebih utama daripada berkendaraan, bahkan hukumnya bila tidak ada udzur.

4. Makruh mengiring mayit bagi orang perempuan.

5. Bertafakkur tentang kematian dan memperbanyak dzikir.

6. Bagi orang yang melihat mayit sunah untuk membaca:

سُبْحَانَ الَّذِيْ لاَ يَمُوْتُ أَبَدًا

Atau berdo’a:

اللهُ أَكْبَرُ، صَدَقَ اللهُ وَرَسُولُهُ، هٰذَا مَا وَعَدَ اللهُ وَرَسُولُهُ، اللّـٰهُمَّ زِدْنَا إِيْمَاناً وَتَسْلِيماً؛ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّيْنَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ إِلٰى يَوْمِ الدِّيْنِ ، اللّـٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد، أَنْ لاَ تُعَذِّبَ هٰذَا الْمَيِّتَ (3×). اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وبَرَدٍ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَاراً خَيْراً مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْراً مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجاً خَيْراً مِنْ زَوْجِهِ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ

7. Bagi orang yang melihat iring-iringan mayit hendaknya berdiri dan ikut mengiring.

Pemakaman Mayit

1. Persiapan

Sebelum mayit diberangkatkan ke pemakaman, liang kubur, semua peralatan pemakaman harus sudah siap.

2. Liang Kubur

a) Bentuk

Dalam kitab kuning dikenal dua jenis liang kubur:

1) Liang cempuri

Yakni liang kubur yang bagian tengahnya digali sekiranya cukup untuk menaruh mayit. Model ini untuk tanah yang gembur.

2) Liang lahat

Yakni liang kubur yang sisi sebelah baratnya digali sekiranya cukup untuk menaruh mayit. Model ini untuk tanah yang keras. Pada dasarnya liang ini lebih utama daripada liang cempuri.

b) Ukuran

1) Batas minimal

Batas minimal liang kubur adalah membuat lubang yang dapat mencegah keluarnya bau mayit serta dapat mencegah dari binatang buas.

2) Batas kesempurnaan

Batas kesempurnaan liang kubur adalah membuat liang dengan ukuran sebagai berikut:

a) Panjang

Sepanjang mayit ditambah tempat yang cukup untuk orang yang menaruh mayit.

b) Lebar

Seukuran tubuh mayit ditambah tempat yang sekiranya cukup untuk orang yang menaruh mayit.

c) Dalam

Setinggi postur tubuh manusia ditambah satu hasta.

Prosesi Pemakaman

Dalam praktek pemakaman mayit dalam dapat dilakukan prosesi sebagai berikut:

1. Sesampainya mayit di tempat pemakaman, keranda diletakkan pada arah posisi peletakkan kaki mayit.

2. Jenazah dikeluarkan dari keranda, dimulai dari kepalanya, lalu diangkat dengan posisi agak miring dan wajah jenazah menghadap qiblat secara pelan-pelan.

3. Jenazah diserahkan pada orang yang yang sudah bersiap-siap dalam liang untuk menguburnya. Hal ini dilakukan oleh tiga orang, orang pertama menerima bagian kepala, orang kedua bagian lambung, dan orang ketiga bagian kaki.

4. Bagi orang yang menerima mayit disunahkan membaca do’a:

اللّـٰهُمَّ افْتَحْ أَبْوَابَ السَّمَاءِ لِرُوْحِهِ، وَأَكْرِمْ مَنْزِلَهُ، وَوَسِّعْ لَهُ فِيْ قَبْرِهِ.

5. Dan bagi orang yang meletakkan disunahkan membaca:

بِاسْمِ اللهِ وَعَلٰى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.

6. Kemudian mayit diletakkan di liang kubur dan dihadapkan ke arah qiblat dengan posisi miring pada lambung sebelah kanan.

7. Menyandarkan wajah dan kaki pada dinding bagian dalam liang.

8. Memberi bantalan tanah liat pada bagian kepala.

9. Mengganjal bagian punggungnya dengan gumpalan tanah atau batu bata agar mayit tetap dalam posisi miring menghadap kiblat.

10. Membuka simpul, terutama bagian atas, kemudian meletakkan pipinya pada bantalan tanah liat yang telah ada.

11. Salah satu pengiring mengumandangkan adzan dan iqamah di dalam liang kubur. Adapun lafadznya sama dengan lafadz adzan dan iqamah dalam shalat.

12. Bagian atas mayit ditutup dengan papan atau bambu sampai rapat, kemudian liang kubur ditimbun dengan tanah.

13. Membuat gundukan setinggi satu jengkal dan memasang dua batu nisan, satu lurus dengan kepala dan satunya lagi lurus dengan kaki mayit.

14. Menaburkan bunga, memberi minyak wangi dan memercikan air di atas makam.

15. Selanjutnya, salah satu pihak keluarga atau orang ahli ibadah melakukan prosesi talqin mayit. Kesunahan mentalqin ini hanya berlaku bagi mayit dewasa dan tidak gila.

16. Mulaqin duduk dengan posisi menghadap muka kepala mayit, sedangkan para hadirin dalam posisi berdiri.

17. Mulaqin mulai membaca bacaan talqin sebanyak tiga kali. Adapun contoh bacaan talqin adalah:

يَافُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ، يَافُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ، يَافُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ، اُذْكُرْ مَاخَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْياَ: شَهَادَةُ أَنْ لاَإِلٰـهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْأَنِ إِمَامًا.

18. Setelah liang kubur ditutup, sebelum ditimbun dengan tanah, para pengiring disunahkan mengambil tiga genggam tanah bekas galian kemudian menaburkannya ke dalam liang kubur.

a) Pada taburan pertama membaca:

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ، اللّـٰهُمَّ لَقِّنْهُ عِنْدَ الْمَسْأَلَةِ حَجَّتَهُ.

b) Do'a pada taburan kedua:

وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ، اللّـٰهُمَّ افْتَحْ أَبْوَابَ السَّماَءِ لِرُوْحِهِ

c) Do'a pada taburan ketiga:

وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرٰى، اللّـٰهُمَّ جاَفِ اْلأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ.

19. Setelah selesai talqin pihak keluarga dan para hadirin tinggal sebentar untuk mendo’akan mayit. Adapun do’anya adalah:

اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، اللّـٰهُمَّ ثَبِّتْهُ عِنْدَ السُؤَلِ

20. Setelah selesai berdo’a secukupnya, para hadirin pulang.

Mati Syahid

Disebut syahid, sebab Allah dan RasulNya telah bersaksi bahwa orang tersebut nantinya akan masuk surga, atau sebab pada waktu akan meninggal dia telah melihat surga. Adapun pembagiannya sebagai berikut:

1. Syahid dunia-akhirat, yakni orang yang meninggal dalam peperangan dengan niat untuk menegakkan agama Allah swt.

2. Syahid dunia, yakni orang yang mati dalam peperangan dengan niat mencari kehidupan dunia.

3. Syahid akhirat, yakni orang yang meninggal sebab semisal mencari ilmu, kebakaran, kebanjiran dan sebagainya.

Bagi syahid yang masuk kriteria pertama, dan kedua, tidak diperbolehkan untuk dimandikan dan dishalati. Sebagaimana keterangan yang telah lalu.

والله أعلم بالصواب