Misteri Bilangan Nol

RATUSAN tahun yang lalu, manusia hanya mengenal 9 lambang bilangan yakni 1, 2, 2, 3, 5, 6, 7, 8, dan 9. Kemudian, datang angka 0, sehingga jumlah lambang bilangan menjadi 10 buah. Tidak diketahui siapa pencipta bilangan 0, bukti sejarah hanya memperlihatkan bahwa bilangan 0 ditemukan pertama kali dalam zaman Mesir kuno. Waktu itu bilangan nol hanya sebagai lambang.Dalam zaman modern, angka nol digunakan tidak saja sebagai lambang, tetapi juga sebagai bilangan yang turut serta dalam operasi matematika. Kini, penggunaan bilangan nol telah menyusup jauh ke dalam sendi kehidupan manusia. Sistem berhitung tidak mungkin lagi mengabaikan kehadiran bilangan nol, sekalipun bilangan nol itu membuat kekacauan logika. Mari kita lihat.
Nol, penyebab komputer macet
Pelajaran tentang bilangan nol, dari sejak zaman dahulu sampai sekarang selalu menimbulkan kebingungan bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan masyarakat pengguna. Mengapa? Bukankah bilangan nol itu mewakili sesuatu yang tidak ada dan yang tidak ada itu ada, yakni nol. Siapa yang tidak bingung? Tiap kali bilangan nol muncul dalam pelajaran Matematika selalu ada ide yang aneh. Seperti ide jika sesuatu yang ada dikalikan dengan 0 maka menjadi tidak ada. Mungkinkah 5*0 menjadi tidak ada? (* adalah perkalian). Ide ini membuat orang frustrasi. Apakah nol ahli sulap ?
Lebih parah lagi-tentu menambah bingung-mengapa 5+0=5 dan 5*0=5 juga? Memang demikian aturannya, karena nol dalam perkalian merupakan bilangan identitas yang sama dengan 1. Jadi 5*0=5*1. Tetapi, benar juga bahwa 5*0=0. Waw.
Bagaimana dengan 5o=1, tetapi 50o=1 juga? Ya, sudahlah. Aturan lain tentang nol yang juga misterius adalah bahwa suatu bilangan jika dibagi nol tidak didefinisikan. Maksudnya, bilangan berapa pun yang tidak bisa dibagi dengan nol. Komputer yang canggih bagaimana pun akan mati mendadak jika tiba-tiba bertemu dengan pembagi angka nol. Komputer memang diperintahkan berhenti berpikir jika bertemu sang divisor nol.
Bilangan nol: tunawisma
Bilangan disusun berdasarkan hierarki menurut satu garis lurus (Gambar 1a). Pada titik awal adalah bilangan nol, kemudian bilangan 1, 2, dan seterusnya. Bilangan yang lebih besar di sebelah kanan dan bilangan yang lebih kecil di sebelah kiri. Semakin jauh ke kanan akan semakin besar bilangan itu. Berdasarkan derajat hierarki (dan birokrasi bilangan), seseorang jika berjalan dari titik 0 terus-menerus menuju angka yang lebih besar ke kanan akan sampai pada bilangan yang tidak terhingga. Tetapi, mungkin juga orang itu sampai pada titik 0 kembali. Bukankah dunia ini bulat?
Mungkinkah? Bukankah Columbus mengatakan bahwa kalau ia berlayar terus-menerus ia akan sampai kembali ke Eropa?
Lain lagi. Jika seseorang berangkat dari nol, ia tidak mungkin sampai ke bilangan 4 tanpa melewati terlebih dahulu bilangan 1, 2, dan 3. Tetapi, yang lebih aneh adalah pertanyaan mungkinkan seseorang bisa berangkat dari titik nol? Jelas tidak bisa, karena bukankah titik nol sesuatu titik yang tidak ada? Aneh dan sulit dipercaya? Mari kita lihat lebih jauh. Perhatikan garis bilangan (Gambar 1a), di antara dua bilangan atau antara dua buah titik terdapat sebuah ruas. Setiap bilangan mempunyai sebuah ruas. Jika ruas ini dipotong-potong kemudian titik lingkaran hitam dipindahkan ke tengah-tengah ruas (Gambar 1b), ternyata bilangan 0 tidak mempunyai ruas. Jadi, bilangan nol berada di awang-awang. Bilangan nol tidak mempunyai tempat tinggal alias tunawisma. Itulah sebabnya, mengapa bilangan nol harus menempel pada bilangan lain, misalnya, pada angka 1 membentuk bilangan 10, 100, 109, 10.403 dan sebagainya. Jadi, seseorang tidak pernah bisa berangkat dari angka nol menuju angka 4. Kita harus berangkat dari angka 1.
Mudah, tetapi salah

Guru meminta Ani menggambarkan sebuah garis geometrik dari persamaan 3x+7y = 25. Ani berpikir bahwa untuk mendapatkan garis itu diperlukan dua buah titik dari ujung ke ujung. Tetapi, setelah berhitung-hitung, ternyata cuma ada satu titik yang dilewati garis itu, yakni titik A( 6, 1), untuk x = 6 dan y = 1 (Gambar 2). Sehingga Ani tidak bisa membuat garis itu. Sang guru mengingatkan supaya menggunakan bilangan nol. Ya, itulah jalan keluarnya. Pertama, berikan y = 0 diperoleh x = (25 – 0) / 3 = 8 (dibulatkan) , merupakan titik pertama, B(8,0). Selanjutnya berikan x = 0 diperoleh y = (25 – 3.0) / 7 = 4 (dibulatkan) ,
merupakan titik kedua C(0,4). Garis BC, adalah garis yang dicari. Namun, betapa kecewanya sang guru, karena garis itu tidak melalui titik A. Jadi, garis BC itu salah.
Ani membela diri bahwa kesalahan itu sangat kecil dan bisa diabaikan. Guru menyatakan bahwa bukan kecil besarnya kesalahan, tetapi manakah yang benar? Bukankah garis BC itu dapat dibuat melalui titik A? Kata guru, gunakan bilangan nol dengan cara yang benar. Bagaimana kita harus membantu Ani membuat garis yang benar itu? Mudah, kata konsultan Matematika. Mula-mula nilai 25 dalam 3x + 7y harus diganti dengan hasil perkalian 3 dan 7 sehingga diperoleh 3x + 7y = 21.
Selanjutnya, dalam persamaan yang baru, berikan y = 0 diperoleh x = 21 / 3 = 7 (tanpa pembulatan) itulah titik pertama P(6,1). Kemudian berikan nilai x=0 diperoleh y = 21 / 7 = 3 (tanpa pembulatan), itulah titik kedua Q(0, 3). Garis PQ adalah garis yang sejajar dengan garis yang dicari, yakni 3x+7y=25. Melalui titik A tarik garis sejajar dengan PQ diperoleh garis P1Q1. Nah, begitulah. Sang murid telah menemukan garis yang benar berkat bantuan bilangan nol.
Akan tetapi, sang guru masih sangat kecewa karena sebenarnya tidak ada satu garis pun yang benar. Bukankah dalam persamaan 3×1 + 7×2 = 25 hanya ada satu titik penyelesaian yakni titik A, yang berarti persamaan 3×1 + 7×2 itu hanya berbentuk sebuah titik? Bahkan pada persamaan 3×1 + 7×2 = 21 tidak ada sebuah titik pun yang berada dalam garis PQ. Oleh karena itu, garis PQ dalam sistem bilangan bulat, sebenarnya tidak ada. Aneh, bilangan nol telah menipu kita. Begitulah kenyataannya, sebuah persamaan tidak selalu berbentuk sebuah garis.
Bergerak, tetapi diam
Bilangan tidak hanya terdiri atas bilangan bulat, tetapi juga ada bilangan desimal antara lain dari 0,1; 0,01; 0,001; dan seterusnya sekuat-kuat kita bisa menyebutnya sampai sedemikian kecilnya. Karena sangat kecil tidak bisa lagi disebut atau tidak terhingga dan pada akhirnya dianggap nol saja. Tetapi, ide ini ternyata sempat membingungkan karena jika bilangan tidak terhingga kecilnya dianggap nol maka berarti nol adalah bilangan terkecil? Padahal, nol mewakili sesuatu yang tidak ada? Waw. Begitulah.
Berdasarkan konsep bilangan desimal dan kontinu, maka garis bilangan pada Gambar 1a tidak sesederhana itu karena antara dua bilangan selalu ada bilangan ke tiga. Jika seseorang melompat dari bilangan 1 ke bilangan 2, tetapi dengan syarat harus melompati terlebih dahulu ke bilangan desimal yang terdekat, bisakah? Berapakah bilangan desimal terdekat sebelum sampai ke bilangan 2? Bisa saja angka 1/2. Tetapi, anda tidak boleh melompati ke angka 1/2 karena masih ada bilangan yang lebih kecil, yakni 1/4. Seterusnya selalu ada bilangan yang lebih dekat… yakni 0,1 lalu ada 0,01, 0,001, …, 0,000001. demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya bilangan yang paling dekat dengan angka 1 adalah bilangan yang demikian kecilnya sehingga dianggap saja nol. Karena bilangan terdekat adalah nol alias tidak ada, maka Anda tidak pernah bisa melompat ke bilangan 2 ?

Makalah Ibnu Sina

I. PENDAHULUAN
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal
unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh
penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci,
suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad[1].
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang
ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam
menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan
kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan
lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam[2].
II. BIOGRAFI
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun
980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi
pada pemerintahan Dinasti Saman[3].Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah
kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak
mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya[4]. Dari mutafalsir
Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer
untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan
sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran
Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang
yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya,
kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya,
namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya
Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu
kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan
mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci
bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia
menjadi murid yang setia dari Al-Farabi [5]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum
lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah
dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia
tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati
orang - orang sakit[6].Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku
filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk
diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering
- sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya
pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya[7].
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana
pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak
itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan
yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala
keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang
ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi
mengambil manfaat dari perpustakaan itu[8] .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang
filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia
mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat
pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.
Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan bahan nabati baru
Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan banayak membantu terhadap
bebebrapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia,
dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah
yang pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil
makanannya lewat tali pusarnya.
Dia jugalah yang mula - mula mempraktekkan pembedahan penyakit - penyakit bengkak
yang ganas, dan menjahitnya. Dan last but not list dia juga terkenal sebagai dokter ahli
jiwa dengan cara - cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan
sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia
Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan
cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari
Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred
Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh
di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar
sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan
- peperangan yang meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu
Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai
dengan penerangan dan keterangan yang luas.”[9]
Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu - ilmu pengetahuan
seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu
pula didapati buku - buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.
Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang - orang
Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku - buku itu sebagai textbook, dipelbagai
universitas. Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat
berpengaruh[10].
Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan
ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang.
Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku -
bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.
Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat
dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya
kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan -
karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia
memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya[11].
Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara,
ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur
adalah “Qanun” yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini
di Timur. Buku ini dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di
Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-
Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. [12]
Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1.As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan,
atau Buku tentang Penyembuhan).
Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh
buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford
University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun
wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
1.1 Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles
tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani
kemudiannya.
1.2 Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi
kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
1.3 Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen
- elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang
aritmetika dan ilmu musik.
1.4 Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat
Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan
untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan.
Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di pelbagai
sekolah tinggi.
2.Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas
Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
5. Al-Musiqa. Buku tentang musik.
6. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.
8. Danesh Nameh. Buku filsafat.
9. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu
logika secara lengkap.
11. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915
menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).
12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam
ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan
peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
15. An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)
16. dan sebagainya[13]
Dari autobiografi dan karangan - kaangannya dapat diketahui data tentang sifat - sifat
kepribadianhya, misalnya :
1.Mengagumi dirinya sendiri
Kekagumannya akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid al-
Jurjani. Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku
telah hafal Al-Qur’an dan sebagian besar kesusateraan hinga aku dikagumi.
2.Mandiri dalam pemikiran
Sifat ini punya hubungan erat sudah nampak pada Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti
dengan ucapannya “Bapakku dipandang penganut madzhab Syi’ah Ismailiah. Demikian
juga saudaraku. Aku dengar mereka menyebtnya tentang jiwa dan akal, mereka
mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan,
memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka”.
3.Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.
Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya setepat -
tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara syarat - syarat
muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah itu. Bilamana aku bingung tidak
berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu, akupun pergi sembahyang menghadap
maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran.
4.Rajin mencari ilmu, keterangan beliau “saya tenggelam dalam studi ilmu dan
membaca selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya
tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk dengan
hal - hal lainnya”
5.Pendendam. Dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang menyinggung
perasaannya. Dia hormat bila dihormati.
6.Cepat melahirkan karangan
Ibnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis - garis besar dari
isi pikirannya serta dia dengan mudah melahirkannya kepada orang lain. Menuangkan
isi pikiran dengan memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat mudah bagi dia. Semua
itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang dilakukannya.
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya
di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia
mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama
Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof)[15].
Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi
baginya minum – minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu.
Minum – minuman keras dilarang karena bias menimbulkan permusuhan dan pertikaian,
sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.
Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada
Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak
melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum – minuman keras
untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obta.
Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan
untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat
terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di
Hamazan.
III. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU Sina
A.Filsafat Jiwa
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan,
sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku - buku yang khusus untuk soal - soal
kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Memang tidak sukar untuk mencari unsur - unsur pikiran yang membentuk teorinya
tentang kejiwaan, seperti pikiran - piiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama
pikiran- pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun
hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran -
pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan
metafisika.
Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh
oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman
dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat - pendapat filosof
modern[16].
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia
pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada
Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot[17].
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana
Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama,
dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya
sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala
apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat
tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum
sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud.
Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung
arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu
mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada
hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan
dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya,
sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan – akan tidak ada. Pendapat inilah
kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam
arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada
hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang
punya bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat – sifat
Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum
filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari
mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri
Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak
unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran
yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi[18].
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud
Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir)
Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam
alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya
alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada[19].
Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan
tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar
sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya[20]
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat
dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan
demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya
dan dirinya sebagai mungkin wujudnya[21]
Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai
wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin
wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa
yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi
yaitu :
1.Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan,
jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera
dan lain - lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa
yang sebenarnya.
2.Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa
dengan badan dan keabadian jiwa[22].
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
1. Jiwa tumbuh - tumbuhan dengan daya - daya :
- Makan (nutrition)
- Tumbuh (growth)
- Berkembang biak (reproduction)
2. Jiwa binatang dengan daya - daya :
- Gerak (locomotion)
- Menangkap (perception) dengan dua bagian :
* Menagkap dari luar dengan panca indera
* Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam.
- Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera
- Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
- Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
-Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
- Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3. Jiwa manusiadengan daya - daya :
-Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan
hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a.Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum
dilatih walaupun sedikitpun.
b.Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal
abstrak.
c.Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d.Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan
tak perlu pada daya upaya[23].
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan,
binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai
binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang
itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai
wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang
sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak
mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan
karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat
berfikir[24].
Sedangkan menurut al-Ghazali di dalam buku – buku filsafatnya dia menyatakan bahwa
manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs­
atau jiwanya[25]. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri
sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan –
pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr. Hal
ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab
fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu
yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara
dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua
substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi,
namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang
pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).[26]
Jiwa (al-Nafs) memiliki daya – daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya –
daya tersebut, pada diri manusia terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah) :
Pertama jiwa tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang paling
rendah dan memiliki tiga daya 1) daya nutrisi (al-ghadiya), 2) daya tumbuh (al-munmiyah)
dan 3) daya reproduksi (al-muwallidah), dengan daya ini manusia dapat berpotensi makan,
tumbuh dan berkembang biak sebagaimana tumbuh – tumbuhan.
Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs al-hayawaniyah) yang memiliki dua daya 1) daya
penggerak (al-mukharikah) dan 2) daya persepsi (al-mudrikah). Pada penggerakn (al-
mukharikah) terdapat dua daya lagi yaitu 10 daya pendorong (al-baitsah) dan 2) daya
berbuat (al-fa’ilah). Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua sebagaimana
hubungan daya potensi dan aktus, tetapi keduanya bersifat potensial sebelum mencapai
aktualisasinya. Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua merupakan
kemampuan. Karena itu al-Ghazali menyebut yang pertama iradah dan yang kedua
qudrah.
Ketiga, jiwa rasional (al-nafs al-natiqah). Mempunyai dua daya !) daya praktis (al-‘amilah)
dan 20 daya teoritis (al-alimah). Yang pertama berfungsi menggerakkan tubuh melalui
daya – daya jiwa sensitive / hewani. Sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapai
oleh akal teorities. Yang dimaksud akal teoritis adalah al-‘alimah, sebab jiwa rasional
disebut juga al ‘aql. Al-‘alimah disebut juga akal praktis. Akal praktis merupakan saluran
yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak[27].
Al-Ghazali didalam Tahafut al-Falasifah menyangkal 20 buah kesalahan para filosof
muslim beserta pendahulu – pendahulu mereka yang berpaham teistik di Yunani. Para
filosof yang disangkal oleh al-Ghazali ini terbagi kedalam tiga kelompok[28] :
1.Filosof – filosof materialistik (dahriyyun)
Mereka adalah ateis – ateis yang menyangkal adanya Allah dan merumuskan kekekalan
alam dan terciptanya alam dengan sendirinya.
2.Filosof – filosof naturalis atau desitik (thabi’iyyun).
Mereka melaksanakan berbagai riset di dalam alam semesta dan segala sesuatu yang
menakjubkan di dalam dunia binatang dan tumbuh – tumbuhan. Melalui riset-riset
itu mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban – keajaiban di dalam ciptaan Allah
dan mereka menemukan kebijaksanaan-Nya sehingga akhirnya mereka mau tak mau
mengakui adanya satu pencipta yang Maha Bijaksana. Walaupun demikian mereka
tetap menyangkal adanya hari pengadilan, kebangkitan kembali dan kehidupan akhirat.
Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, karenanya mereka memuaskan nafsu – nafsu
mereka seperti binatang.
3.Filosof – filosof teis (ilahiyyun).
Mereka adalah filosoh – filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles
telah mengkritik filosof – fiosof teis sebelumnya, termasuk Socrates dan Plato. Walaupun
begitu, menurut al-Ghazali, Aristoteles masih mempertahankan sisa – sisa kekafiran dan
kebid’ahan mereka yang tak berhasil dilepaskannya.
Filsafat Aristoteles seperti yang disebarluaskan oleh penerjemah – penerjemah dan
komentator – komentator karyanya (pengikutnya) khususnya al-Farabi dan Ibnu Sina
terbagi ke dalam 3 kelompok:
a. Filsafat – filsafatnya yang harus dipandang kufur.
b. Filsafat – filsafatnya yang menurut Islam adalah bid’ah.
c. Filsafat – filsafatnya yang sama sekali tak perlu disangkal.
Tiga masalah yang menyebabkan kufur tersebut adalah :
Pertama, bahwa Allah hanya mengetahui hal – hal yang besar – besar dan tidak mengetahui
hal – hal yang kecil - kecil[29].
Kedua,
bahwa alam ini azali atau kekal, tanpa permulaan[30].
Ketiga,
bahwa di akhirat kelak yang dihimpun adalah ruh manusia bukan
jasadnya[31]
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu:
1. Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi).
2. Dalil Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.
3. Dalil kelangsungan (kontinuitas).
4. Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara[32]
Dalil – dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :
1.Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui
adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak,
pengetahuan).
Gerak ada dua macam yaitu :
1) Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan
yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
2)Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a.Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke
bawah.
b.Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan
di bumi, sdang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung
yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas
bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya
penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut
ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh
sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan
lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu
Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari
Aristoteles.
Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa
natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau
sekurangnya benda – benda tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu maca,
sedang benda – benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh
karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang
bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi
unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin) yang bergerak dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang
pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain
yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama biologi sendiri sekarang
menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut
sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).
Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam
kitab – kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-
Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil
yang didasarkan atas segi – sehi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu
sina.
2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak
bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya.
Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau
pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.[34]
3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan
masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan
kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada
hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau
kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan
tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian
ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang
satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.
Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran
yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam,
bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi
oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh – tokoh pikir masa sekarang.[35]
4. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya
kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak
mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan
sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal
maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali
apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan,
sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan,
dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling
bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan
ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah
satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang
badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat,
atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan
(memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang
wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari
sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu
hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara
– perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala
sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri.
Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak
langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan
kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan
– pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.[36]
B.Filsafat Wujud.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas
segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat
dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi
yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar
artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau
dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau
existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu
Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud impossible being
2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang
serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi
mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada
kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak
dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan
essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama -
lamanya. Yang serupa ini disebut mestiberwujud yaitu Tuhan.
Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh
oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim
(al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan -
pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang
yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak
berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada
zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu
waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim
dan tidak mesti wajib[38]. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu
Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah
mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah
sejak Qadim, sebelum Zaman[39].
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan
pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai
dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya,
sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan
yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak
qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai
berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah
selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372)
Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi,
sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua
yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak
ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang
baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada
sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi
kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari
perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya
sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud,
keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari
sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang
paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada
Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi
sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari
kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan
dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih -
lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk
memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur
(keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini
dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”,
karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai
“sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab
tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak
ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan[40].
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu
memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai
“sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep
kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata.
Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam
konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.
C. Falsafat Wahyu dan Nabi
Pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina
telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”,
keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang
jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan
akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal
materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar
lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal
materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat
berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu
dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat
diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi - nabi[41].
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan
menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu
teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi
menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran
yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana
wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke
dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam
suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak
akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan
seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan
yang sebenarnya.[42]
III. PENUTUP
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi
pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya
secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang
yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang
terlalu banyak berfikir.
Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari
Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala
yang ada.
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan
mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia yang paling
unggul, lebih unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa
latihan atau studi keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah
payah.
DAFTA PUSTAKA
Al-Ahwan, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1984
Al-Ghazali Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, al-Munqidz min al-Dlalah
wa al-Muwassil ila dzi al-Izzah wa al-Jalal, Lebanon, Beirut, 1967
Madarij al-Salikin, Kairo, tsaqofah Islamiyah, 1964
Ma’rij al-Quds fi Madaarij Ma’rofah al-Nafs, Kairo, Maktabah al-Jund,1968
Tahafut al-Falasifah, Kairo, Mesir, Maktaba’ah al-Qahirah, 1903
Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para filosof Muslim, Yogyakarta, Al-Amin Press,1997
Daudy Ahmad, Dr. MA., Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Segi - Segi Falsafi dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1984
Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa,
Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1985
Nasution, harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit
Universitas Indonesia, 1996
Falsafat dan Msitisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992
Oemar Amin Husein, Dr., Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung, PT remaja Rosdakarya, 1991
Syarif, MM., MA., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1994
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Semarang, Dina Utama Semarang, 1993
Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949

Makalah Kedudukan Guru dalam Pendidikan Islam


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Definisi Guru dalam Pendidikan Islam
Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar. Dalam bahasa Arab istilah yang mengacu kepada pengertian guru lebih banyak lagi seperti Al-'alim (jamaknya ulama) ata Amu'allim, yang berarti orang yang mengetahui dan banyak digunakan para ulama ahli pendidikan untuk menunjuk pada arti nguru. Selain itu ada pula sebagian ulama yang menggunakan istilah Al-mudarris untuk arti orang yang mengajar atau orang yang memberi pelajaranselain itu terdapat pula istilah Ustadz untuk menunjuk kepada arti guru yang khusus mengajar bidang pengetahuan agama Islam.1 Jadi guru yang dimaksud disini ialah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid.

  1. Syarat seorang Guru dalam Pendidikan Islam
Pendidikan akan mampu memenuhi tugas-tugasnya dengan sebaik-baiknya, bilamana memenuhi persyaratan. Adapun syarat-syarat sebagai pendidik itu meliputi2:
  1. Umur
Agar mampu menjalankan tugas mendidik, pendidik seharusnya dewasa dulu. Batasan dewasa sangat relatif, sesuai dengan segi peninjaunya. Menurut negara kita seseorang dianggap dewasa sesudah berumur 18 tahun atau sudah menikah. Menurut ilmu pendidikan seorang dikatakan dewasa untuk laki-laki bila sudah berusia 21 tahun dan 18 tahun untuk wanita.
Bagi pendidik pembantu atau guru di sekolah, umur dipersyaratkan minimal 18 tahun, sedangkan bagi pendidik di lembaga pendidikan non formal, tidak ada persyaratan umur yang tentu, tetapi yang dituntut adalah persyaratan lainnya, seperti keahlian atau kecakapan, keuletan dan dedikasi.
  1. Kesehatan
Pendidik wajib sehat jasmani dan rohani, bagi pendidik pembantu di sekolah, harus sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter, dan harus melewati pemeriksaan. Bahkan untuk guru dituntut pula persyaratan tidak mempunyai cacat jasmani yang dapat menggangu tugas-tugasnya.
  1. Keahlian atau Skill
Pendidik pembantu (guru) di sekolah,diharuskan memiliki ijazah. Ijazah inilah yang menjamin bahwa mereka yang memilikinya benar-benar mempunyai pengetahuan, pengertian, kecakapan dan kepandaian yang sesuai dengan tugasnya, sehingga akan mampu melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
  1. Harus berkepribadian muslim, berkesesuaian dan berdedikasi tinggi
Seorang pendidik dituntut memiliki kesusilaan atau budi pekerti yang baik, mempunyai pengabdian yang tinggi. Hal ini adalah sebagai konsekuansi dari rasa tanggungjawabnya, agar mampu menjalankan tugasnya, mampu membimbing anak didik menjadi manusia susila, menjadi manusia yang bermoral.

  1. Sifat Guru dalam Pendidikan Islam
Agar seorang pendidik dapat menjalankan fungsi sebagaimana yang telah dibebankan Allah kepada Rasul dan pengikutnya, maka dia harus memiliki sifat-sifat berikut ini3:
  1. Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani sebagaimana dijelaskan Allah. Jika seorang pendidik telah bersifat rabbani, seluruh kegiatan pendidikannya bertujuan menjadikan anak didiknya sebagai generasi rabbani yang memandang jejak keagungan-Nya.
  2. Seorang guru hendaknya menyempurnakan sifat rabbaniyahnya dengan keikhlasan. Artinya, aktivitas seorang pendidik bukan semata-mata untuk menambah wawasan keilmuannya, lebih jauh dari itu harus ditujukan untuk meraih keridhaan Allah serta mewujudkan kebenaran.
  3. Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar.
  4. Ketika menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya.
  5. Seorang guru harus senantiasa meningkatkan wawasan, pengetahuan dan kajiannya.
  6. Seorang guru harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran.
  7. Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakan sesuatu sesuai proporsinya sehingga dia akan mampu mengontrol dan menguasai siswa.
  8. Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan sehingga ketika dia mengajar, dia akan memahami dan melakukan anak didiknya sesuai kadar intelektual dan kesiapan psikologinya.
  9. Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan sehingga dia mampu memahami berbagai kecenderungan dunia beserta dampak dan akibatnya terhadap anak didik, terutama dampak terhadap kaidah dan pola pikir mereka.
  10. Seorang guru dituntut memiliki sikap adil terhadap seluruh anak didiknya.
Sikap yang seharusnya dijauhi pendidik yaitu4:
  1. Cepat marah atau cepat buruk sangka.
    Pendidik seharusnya tidak mudah menjadi sakit hati, karena hal-hal yang kecil, kalau terjadi hal yang kurang enak tidak dapat begitu saja diterimanya.
  2. Suka menyendiri.
    Orang yang tidak dapat bergaul dengan orang lain, tidak akan berhasil dalam mendidik, ia tak akan mudah mendapatkan kontak yang dengan anak didiknya.
  3. Haus akan penghormatan dan pujian orang lain.
    Sebenarnya tujuan dari orang seperti ini tidak lain dari pada mencari pujian dan penghormatan belaka, sehingga keperluan anak kurang diperhatikan.
  4. Penggugup, bimbang, ragu, takut.
    Apabila sifat bimbang, ragu, takut, gugup ada pada pendidik, maka itu tidak akan memungkinkan anak didik dalam sikapnya menjadi tegas, pemberani, tenang.
  5. Mudah kecewa.
    Penghidupan dalam lapangan pendidikan penuh dengan kedewasaan, maka bila pendidik mudah kecewa sehingga mengakibatkan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

  1. Kewajiban dan Tugas Guru dalam Pendidikan Islam
    1. Kewajiban Guru
      Kewajiban yang harus diperhatikan oleh guru menurut Imam Ghazali yaitu:
  1. Harus menaruh rasa kasih sayang terhadap murid dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
  2. Tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terimakasih, tetapi bermaksud dengan mengajar mencari keridhaan Allah.
  3. Mencegah murid dari sesuatu akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran dan dengan cara terus terang, dengan cara halus dan jangan mencela.
  4. Supaya diperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat tangkapannya.
  5. Jangan timbulkan rasa benci pada diri murid mengenai suatu cabang ilmu yang lain.
  6. Sang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlainan kata dengan perbuatannya.

    1. Tugas Guru
      John Dewey (1916) menekankan bahwa1. “Oleh karena belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan murid-murid untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari murid-murid sendiri. Guru adalah pembimbing dan pengaruh, yang mengemudikan perahu tersebut haruslah berasal dari mereka atau murid yang belajar”.
      Jadi, para murid harus didorong dan dirangsang untuk belajar bagi diri mereka sendiri, dan tugas guru yang sebenarnya adalah menjamin bahwa murid-murid menerima tanggung jawabnya sendiri untuk belajar dan mengembangkan sikap dan rasa antusisme untuk keperluan ini.
      Agar guru dapat berfungsi sebagai perantara yang baik, maka harus melaksanakan tugas dengan baik pula. Tugas tersebut dikelompkan dalam:2

    1. Tugas educational (pendidikan)
      Seorang guru mempunyai tugas memberi bimbingan yang lebih banyak diarahkan pada pembentukan “kepribadian” anak didik, sehingga anak didik akan menjadi manusia yang mempunyai sopan santun tinggi, mengenal kesusilaan, dapat menghargai pendapat orang lain, mempunyai tanggung jawab, rasa sosialnya berkembang, dan lain-lain.

    1. Tugas instructional (pengajaran)
      Dalam tugas ini dititikberatkan pada perkembangan kecerdasan dan daya intelektual anak didik, dengan tekanan perkembangan pada kemampuan kognitif, kemampuan afektif dan kemampuan psikomotor, sehingga anak dapat menjadi manusia yang cerdas dan sekaligus terampil.

    1. Tugas managerial (pelaksanaan/pengelolaan)
      Pada dasarnya ada dua macam kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap guru atau pelatih, mereka mengelola sumber belajar dan melaksanakan dirinya sebagai sumber belajar.3
      Apabila seorang guru dengan sengaja menciptakan suatu lingkungan belajar di dalam kelasnya dengan maksud untuk mewujudkan tujuan belajar, maka ia bertindak sebagai “Guru Manager/pengelola”. Apabila guru yang sama secara fisik mengajar di kelas tersebut, maka ia menjadi salah satu dari sumbel belajar yang dikelolanya, ia berperan sebagai “Guru Pelaksana” (Teacher-Operator).

      Empat fungsi umum yang merpakan guru sebagai seorang manajer ialah :4
    • Merencanakan. Ini adalah pekerjaan seorang guru untuk menyusun tujuan belajar
    • Mengorganisasikan. Ini adalah pekerjaan seorang guru untuk mengatur dan menghubungkan sumber-sumber belajar, sehingga dapat mewujudkan tujuan belajar dengan cara yang paling efektif, efisien dan ekonomis mungkin.
    • Memimpin. Tugas seorang guru untuk memotivasikan, mendorong dan menstimulasikan murid-muridnya sehingga mereka siap untuk mewujudkan tujuan belajar.
    • Mengawasi. Pekerjaan seorang guru untuk menentukan apakah fungsinya dalam mengorganisasikan dan memimpin diatas telah berhasil dalam mewujudkan tujuan yang telah dirumuskan. Jika tujuan belum dapat diwujudkan, maka guru harus menilai dan mengatur kembali situasinya dan bukan merubah tujuannya.
    Mengenai tugas guru, ahli-ahli pendidikan Islam juga ahli pendidikan Barat sepakat bahwa tugas guru adalah mendidik. Mendidik adalah tugas yang amat luas mendidik itu sebagian dilakukan dalam bentuk mengajar, sebagian dalam bentuk dorongan, memuji, menghukum, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.
    Dalam Al-Quran juga dijelaskan tentang tugas seorang pendidik atau guru. Al-Quran telah mengisyaratkan peran para nabi dan pengikutnya dalam pendidikan dan fungsi fundamental mereka dalam pengkajian ilmu-ilmu Ilahi serta apikasinya. Isyarat salah satunya terdapat dalam firmna-Nya Q.S. An-Nahl ayat 125 berikut ini5:
    ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
    Artinya :
    Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahuai orang-orang yang mendapat petnjuk.”
    Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang diemban Rasulallah Saw adalah mengajarkan Al-Kitab, Al-Hikmah dan penyucian diri sebagai difirmankan Allah Swt dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 129 berikut ini :

    رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِن ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

    Artinya :
    Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Quran) dan Al-Hikmah (As-sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”

    Nabi Saw bersabda6:
    Artinya :
    Barang siapa berilmu dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut “orang besar” disegala petala langit”.
    Dalam literatur yang ditulis oleh ahli pendidikan Islam, tugas guru ternyata bercampur dengan syarat dan sifat guru. Ada beberapa pernayataan tengtang tugas guru yang dapat disebutkan disini, yang diambil dari uraian penulis muslim tentang syarat dan sifat guru, misalnya sebagai berikut ;
    a. Guru harus mengetahui karakter murid.
    b. Guru harus berusaha meningkatkan keahliannya.
    c. Guru harus mengamalkan ilmunya.

    E. Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam
    Guru menurut paraadigma baru bukan hanya bertindak sebagai pengajar, tetapi sebagai motivator dan fasilitator proses belajar. Yang dimaksud dengan proses belajar adalah realisasi dan aktualisasi sifat-sifat Ilahi pada manusia, yaitu aktualisasi potensi-potensi manusia agar dapat mengimbangi kelemahan pokok yang dimilikinya yaitu sifat lupa. Oleh sebab itu Al-Quran dianggap orang Islam sebagai pemberi ingat yang istimewa, yaitu sebagai pemberi ingat bagi manusia, sebab ia suka lupa. Dalam pengertian pendidikan modern, manusia itu pelupa sebab potensi-potensinya tidak di kembangkan dan diaktualisasikan. Potensi-potensi itu terpendam di dalam dirinya. Jadi adalah tugas dan pekerjaan guru-guru dan pekerja-pekerja pendidikan yang lain untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi-potensi trsebut.

    Dalam pandangan Islam, setiap guru memerlukan persiapan dalam setiap mata pelajaran, tetapi dalam latihannya titik berat adalah hubungan kemanusiaan. Jadi jelas bahwa dasar pokok ilmu pendidikan, dasar pokok penyediaan guru adalah atau seharusnya psikologi dari segi pandangan Islam. Psikologi yang telah diterapkan dalam pendidikan dan pengajaran terlalu sempit, sebab ia sebenarnya tidak lebih dari psikologi kognitif dan proses belajar dan mengajar.

    Psikologi yang sesuai untuk belajar aharuslah yang lebih luas. Ia harus melipputi keseluruhan tingkah laku guru yang berinteraksi denagn muridnya secara kognitif, efektif, dan spiritual. Ia harus memusatkan pada ciri-ciri (pribadi seorang guru daru segi kepercayaan dan keimananan, dan dari segi perangai dan wataknya) dan tingkah laku guru-guru yangb paling penting dalam hubungan belajar dan mengajar dan atas hal-hal mempelajarinya lebih penting dari matapelajaran, pengetahuan, metode dan teknik-teknik.7

    Jadi adalah logis kalau dikatakan bahwa dalam mengajar dalam pendidikan Islam harus didasarkan pada psikologi Islam yang didasarkan pada atas konsepsi Islam terhadap fitrah manusia yang dinyatakan dalam Al-Quran dan Al-Hadis.

    Salah satu yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat dibawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian ? Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.

    Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar mengajar, yang belajar adalah calon guru dan yang mengajar adalah guru. Maka, tidak boleh tidak, Islam pasti m emuliakan guru. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar mengajar, tidak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya guru. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang guru, kedudukan guru, tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.

    Ada penyebab khas kenapa orang Islam amat menghargai guru, yaitu pandangan bahwa ilmu (pengetahuan) itu semuanya bersumber dari Tuhan :

    Tidak ada seorangpun yang kami miliki kecuali yang Engkau ajarkan kepada kami.”

    Ilmu datang dari Allah. Pandangan yang menembus langit ini tidak boleh tidak telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu tidak terpisah dari guru, maka kedudukan guru amat tinggi dalam Islam.8

    BAB III
    SIMPULAN
    Setiap orang dewasa yang bertanggung jawab dengan sengaja mempengaruhi orang lain, memberi pertolongan untuk mencapai kedewasaan dapat dikatakan sebagai pendidik.
    Orang dewasa yang bertanggung jawab sebagai pendidik adalah orang tua, pemimpin/pemuka masyarakat dan guru.
    Guru adalah pendidik karena jabatannya atau karena keahliannya, dia sebagai pendidik di lembaga pendidikan formal atau di sekolah.
    Syarat seorang guru dalam pendidikan Islam ia haruslah orang dewasa, memilikim sifat rabbani, ikhlas, sabar, jujur, memiliki wawasan, tegas, adil dan lain-lain. Sementara sifat yang harus dijauhi seorang guru yaitu mudah marah, suka menyendiri, haus penghormatan dan mudah kecewa.
    Tugas guru ialah mendidik denagn cara mengajar, memberi contoh, membiasakan, dan lain-lain.
    Islam mendudukan guru dalam martabat yang tinggi. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar mengajar, yang belajar adalah calonn guru dan yang mengajar adalah guru. Maka tidak boleh tiadk Islam pasti memuliakan guru.


    DAFTAR FUSTAKA
    Al-Quran adn Terjemah
    Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 2001. Ilmu Pendidikan. Cetakan Kedua, September. PT Rineka Cipta : Jakarta.
    Ivor K. Davies. Pengelolaan Belajar. Jakarta : Rajawali Pers.
    Langgulung, Hasan. 2011. Pendidikan Islam dalam Abad ke-21. Jakarta : PT. Al-HUsna Zikra.
    Yaqub, Ismail. Ihya Ulumuddin Al-Ghazali. Semarang : C.V Faizan
    1Ivor K. Davies. “Pengelolaan Belajar”. Rajawali Pers. Jakarta. hal. 31
    2Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyah. Op.,cit. hal. 242-243.
    3Ivor K. Davis. Op.,cit. hal.32
    4Ibid. Hal. 35-36
    5Al-Quran dan terjemah
    6Ihya Al-Ghazali, Jilid 1, CV Farzan. hal. 65.
    7Ibid. Hal.77

2H. Abu Ahamadi. Op.,cit. Hal. 243-246
4Abu Ahmad dan Nuer Uhbiyah. Op., cit. Hal. 250-251.