Tuntunan Berfikir Mazhab Nathiq


BAB I
Pendahuluan
a.      Latar belakang
Menurut ilmu kalam, manusia dikatagorikan sebagai hayawanun-nathiq yang berarti hewan yang bisa berfikir, atau dikatakan juga makhluk yang memiliki akal. Sehingga wajarlah bila dalam kehidupan sehari-hari ada manusia yang melakukan perbuatan sadis atau biadab, ia dikatakan sebagai manusia yang tidak berperikemanusiaan alias tak berbeda dengan kelompok binatang.
Al-Islam memiliki visi tersendiri berkaitan dengan sebutan manusia yang berakal tadi. Di antaranya ada beberapa pendapat dari orang-orang yang memiliki pandangan mendalam dalam memahami seluk-beluk al-Islam sebagaimana dikutip berikut ini.
Hasan bin Ali ra menyatakan bahwa ucapan orang yang berakal berada di belakang hatinya, maka bila ia ingin berbicara niscaya merujuk terlebih dahulu kepadanya. Sedangkan ucapan orang yang bodoh berada di depan hatinya, sehingga ia selalu mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan hatinya.
b.     Rumusan masalah
Bagaimana tuntunan berfikir mazhab nathiq
c.      Tujuan
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ilmu mantiq


BAB II
Pembahasan

1.     Ulul Albab sebagai Insan Nathiq yang Berfikir
Secara etimologis, ulul albab adalah golongan manusia yang menggunakan akal pikiran dan ketundukan hatinya, (ashhab al-‘ukul), sedangkan insan nathiq manusia yang berpikir.
Untuk memahami makna ulul albab dan insan nathiq, dapat ditelusuri melalui penjelasan pencipta insan, yaitu Allah Swt dalam firman-firmannya. Pemahaman ini akan menyadarkan manusia akan hakikat dan jati dirinya, bagaimana hubungan dirinya sendiri dengan penggunaan potensi nalar (akal) dalam memikirkan dirinya dan segala sesuatu di luar dirinya, serta fungsi kehadirannya di persada bumi ini.
Di sini manusia diberi definisi formal sebagai ‘animal rational’ atau ‘binatang yang berpikir”. Definisi ini sekurang-kurangnya mengandung gagasan tentang arti ‘rasional’ sebagaimana dipahami secara umum, yaitu ‘nalar. Dalam sejarah intelektual di Barat konsep tentanng ‘rasio’ telah mengalami perubahan sedemikian rupa dalam perkembangannya, bahkan menjadi penuh dengan kontroversi dan problematic. Seacara bertahap ia dipisahkan dari ‘intelek’ (intelectus), kemampuan tertinggi manusia untuk membedakan yang salah dan benar, serta untuk mengenal kebenaran tertinggi. Para filosof Muslim tidak memahami rasio sebagai terpisah dari apa yang disebut intellectus atau al-`aql. Bagi mereka `aql merupakan kesatuan organic dari rasio dan intelectus (al-Attas 1980:37). Dengan cara demikianlah filosof Muslim mendefinisikan manusia sebagai al-hayawan al-nathiq. Di sini kata al-nathiq menunjuk pada fakulti batin manusia berkenaan dengan nalar atau kemampuan berfikir secara rasional dan intelektual, yaitu ‘merumuskan makna-makna’ (dzu-nuthuq).
Akar kata nathiq dan nuthuq mempunyai makna dasar ‘pembicaraan’, yaitu ‘pembicaraan manusia’. Setelah dibentuk menjadi kata-kata nathiq dan nuthq maka ia berarti sebagai kekuatan, atau kesanggupan dan kemampuan tertentu dalam diri manusia untuk ‘menyampaikan kata-kata dalam sebuah pola yang bermakna’. Kepada pengertian inilah apa yang diucapkan Nabi Muhammad s.a.w. kepada Ali bin Abi Thalib r.a. dapat kita rujuk,
Dari apa yang telah dikemukakan kata-kata al-hayawan al-nathiq itu dapat diartikan sebagai ‘binatang berbahasa’ sebab bahasa merupakan hasil pemikiran manusia dan berbahasa dengan baik hanya mungkin dapat dicapai dengan kecerdasan berpikir. Berbahasa berarti menyampaikan simbol-simbol linguistik ke dalam suatu pola bermakna. Penyampaian itu hanya dapat dimengerti dengan sarana kerohanian yang tertinggi yang disebut `aql. Menurut Muhmmad Naquib al-Attas, kata `aql itu sendiri pada sasrnya bermakna sejenis ‘ikatan’ atau ‘simpul’, sehingga ia bisa diberi arti sebagai ‘atribut batin manusia yang mengikat dan menyimpulkan obyek-obyek ilmu dengan menggunakan sarana kata-kata’. Ingatlah bahwa al-Qur’an juga mengatakan bahwa hanya Adam (manusia) yang dikaruniai ‘pengetahuan tentang nama-nama’ oleh Allah. Dan pengetahuan tentang nama-nama itu tidak adalah pemahaman atau pengetahuan tentang obyek-obyek menyangkut perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya, cirri-ciri atau sifat-sifat khususnya, keadaan dan bentuknya, serta tempatnya dalam tatanan wujud metafisis dan fisis kehidupan.
Jadi kemuliaan manusia terutama ditentukan oleh pencapaian akalnya, serta realisasi dari apa yang dicapai oleh akalnya dalam kehidupan, dan kearifannya dalam mengarahkan hidupnya menuju kebaikan dan kebenaran. Kata-kata `aql berpadanan dengan kata-kata qalb (kalbu). Sebagaimana kalbu, yang merupakan alat pencerapan pengertian ruhaniah, demikian pula halnya dengan akal. Keduanya dengan demikian merupakan substansi (jawhar) ruhaniah yang dengannya ‘diri rasional’ (al-nafs al-nathiq) seseorang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan (lihat al-Jurjani 157).
Dalam membuat definisi yang benar tentang manusia sebagai al-hayawan al-nathiq ialah bila yang kita maksud dengan al-nathiq (nalar) dalam pendefinisian itu ialah ‘kemampuan untuk memahami pembicaraan dan kesanggupan untuk beranggung jawab atas perumusan makna – yang melibatkan penilaian, pembedaan, pencirian dan penjelasan, serta yang berkaitan dengan penyampaian kata-kata atau ungkapan dalam suatu pola yang bermakna. Kata-kata makna atau ma`na harus didasarkan pada arti kata ma’na sebagai konsep dalam ilmu dan falsafah Islam, yaitu “pengenalan tempat-tempat segala sesuatu dalam tatanan wujud masing-masing”. Pengenalan seperti hanya mungkin terjadi bilamana ‘hubungan’ sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam tatanan tersebut telah ‘terjelaskan’ dan ‘terpahamkan’. Hubungan tersebut menguraikan keteraturan tertentu.
Hakikat manusia, dalam pengertian ini, ditentukan oleh substansi ruhaniahnya yang berperan mengenal sesuatu secara benar, yaitu tempat sesuatu dalam tatanan wujudnya masing-masing dan hubungannya dengan yang lain dalam tatanan wujud yang lain yang membentuk keteratuiran. Obyek-obyek pengenalan yang memiliki keteraturan hubungan satu sama lain itulah yang merupakan obyek ilmu pengetahuan, yang dikatakan Nabi sebagai modal dan tangan beliau (sarana menguasai sesuatu).




2.     Seputar Akal, Indera dan Qolb
1.   Akal
Kata akal berasal dari bahasa arab al-‘aql, arti kata tersebut adalah sama dengan al- Idrak (kesadaran) dan al-Fikr (pikiran, al- Hirj (penahan). Kata tersebut maknanya sama. Dalam bahasa arab kata tersebut disebut mutaradif atau sinonim. Sementara menurut Ibnu Manzur ‘aqala bermakna pula habasa berarti mengkaji, disamping itu dengan kata- kata sejenis itu ‘aqala dikaitkan dengan kemampuan manusia untuk mengikat fakta terutama digunakan untuk mengikat nafsu. Jadi akal adalah kemampuan khas yang diberikan pencipta kepada manusia untuk mampu mengikat realita yang dicerap dan diolah oleh otak dengan menggunakan informasi sebelum kemudian dimaknai, mengolah dan mengendalikan dalam bentuk konsep berupa perkataan, pikiran dan perbuatan.
a.      Sifat-sifat akal ialah :
Pertama, kedudukannya adalah sesuatu yang pertama dan keesaan yang pertama dari segala segi, menjadi berbilang dengan akal, karena dengan adanya akal (pikiran), maka ada lagi yang menjadi objek pemikiran (ma’qul).
Kedua, akal keluar dari yang pertama bukan dalam proses waktu, sebagaimana halnya dengan wujud lainnya.
Ketiga, keluarnya akal dari yang pertama tidak mempengaruhi kesempurnaannya, demikian pula keluarnya yang kurang sempurna dari yang lebih sempurna.
Keempat, akal keluar dari yang pertama dengan sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan atau perobahan padanya, bukan pula karena kehendak dan pilihannya karena penetapan kehendak (iradah) berarti merusak keesaannya, sebab dengan sendirinya (natural necessity), maka keesaan yang pertama tetap terpelihara tanpa menimbulkan bilangan.
Kelima, kedudukan akal diantar semua wujud ialah sebagai pembuat alat. Akal ini juga mengandung ide-ide dari plato, yang bukan idea of the good, karena idea of the good ini adalah yang mengeluarkan akal tersebut.
b.     Letak Akal
Ada beberapa pemikir yang berpendapat menegnai keberadaan atau letak akal, sebagian pemikir mengatakan bahwa, akal terdapat di dalam otak (kepala), sedangkan menurut pemikir lainnya letak akal terdapat dalam hati. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa akal terdapat di dalam otak dan di dalam hati, akal dan hati merupakan kesatuan. Dalam salah satu sabdanya Rasulullah SAW bersabda :
“Bahwa akal adalah cahaya (nur) yang terdapat di dalam hati yang dapat membedakan antara benar dan tidak benar”.
2.   Indrawi (jasmani)
Jasmani terdiri dari badan kasar, berupa wujud fisik, sifatnya tergantung pada materi dan memiliki kecenderungan biologis-primitif, dapat hancur dan rusak, tetapi merupakan tempat penting bagi eksistensi wadahnya unsure kehidupan.
3.   Qolb (nafs)
Dalam Mu’jam al- Wasit disebutkan bahwa salah satu makna Qolb adalah jantunng yang enjadi pusat peredaran darah. Letak jantung berada di dada sebelah kiri. Qalb berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah atau berbalik, kata qalb berari hati atau jantung. Secara fisik jantung selalu berdetak dan naik turun, bolak- balik memompakan darah. Sedangkan secara fisik qalb berarti bolak- balik antara ya dan tidak, yakin dan ragu ataupun tenang dan gundah.
Qolb atau nafsani merupakan unsur penghubung antara jasmani dan rohani, karena itu ia dapat bersifat dan berkecenderungan seperti jasmani tetapi disisi lain juga memiliki kecenderungan  dan sifat seperti ruhani. Karena itu seperti disebutkan dalam QS.Al-Syams: 8-9, nafs adalah potensi dari Allah yang diilhami dengan dua kecenderungan baik dan buruk, ilham fujur dan ilham taqwa yang sama-sama memiliki tarikan yang kuat.
Pada saat mengaktualkan dirinya maka nafs memiliki tiga potensi ghorizah dan tiga pola kerja, yaitu :
1.      Yang berkecenderungan kepada hal-hal yang baik, pola kerjanya bersifat bolak-balik, lebih dekat kepada ruh, ialah qolbu, wujud fisiknya Al-Dhimagh atau jantung, ia disebut hati atau qolb karena sifat kerjanya yang qolaba atau bolak-balik. Qolb ini kecenderungannya pada rasa atau afektif dalam psikologi bara.
2.      Yang berekcenderungan kepada hal buruk, pola kerjanyamenyuruh sebagai daya dorong terutama dalam eksistensi hidup, ialah nafs dalam arti sehari-hari disebut nafsu. Meskipun begitu, sesuai potensi nafs itu sendiri memiliki kecenderungan kepada kebaikan. Menurut TQN ada tujuh nafsu potensial, yaitu : ammarah, lawwamah, sawiyah, muthmainnah, mardhiyah, rodhiyah, kamilah.
3.      Yang bersifat memutuskan, mengikat, menimbang dan senantiasa berpikir, inilah yang disebut akal. Ia disebut akal karena pola kerjanya yang akala, yaitu mengikat, menimbang, dan memutuskan. Wujud fisiknya ialah otak sebagai organ penting untuk berpikir. Akal ini bersifat di tengah karena itu ia dapat saja cenderung kepada nafs atau qolb tergantung siapa yang memimpin pada diri manusia itu.
Dari ketiga aspek mengenai aqal, indra dan qolb merupakan objek berpikir yang berprinsip pada ulul albab yag dimana terdapat keseimbangan diantara akal, indra dan qolb tersebut, agar akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir.


BAB III
PENUTUP

Dari kesimpulan diatas berhubungan dengan insan nathiq manusia, yang di dalamnya berisi objek ilmu pengetahuan, sifat-sifat akal dan yang terdapat pada manusia itu sendiri.
Jadi insan nathiq penting dipelajari oleh kita dan mendalami lebih dalam tentang nathiq juga semua yang terdapat di dalamnya.


DAFTAR PUSTAKA
M. Thalib, Melacak Kakafiran dalam Berpikir, Pustaka Al-Kautsar, 1991
 Murtadha Muthahari, Pengantar menuju Logika, Pesantren Islami, Bangil, 1994



Prinsip-prinsip Epistemologi untuk Dakwah Islam


BAB I
PNDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M. hingga saat ini, fenomena pemahaman ke-Islaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat variatif. Kondisi pemahaman ke-Islaman serupa ini barangkali terjadi pula diberbagai negara lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepada berbagai paham keagamaan yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah serta sejalan dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahaannya.
Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004).
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem--membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Hal ini akan lebih jelas lagi, jika kita renungkan bahwa meskipun terdapat objek pemikiran, tetapi jika tidak didapatkan cara-cara berpikir, maka objek pemikiran itu akan “diam”, sehingga tidak diperoleh pengetahuan apapun. Begitu juga, seandainya objek pemikran sudah ada, cara-cara juga adam tetapi tidak diektahui manfaat apa yang bisa dihasilkan dari sesuatu yang dipikirkan itu, maka hanya akan sia-sia. Jadi, ketiganya adalah interrelasi dan interdependensi (saling berkaitan dan saling bergantung).
Namun demikian, ketika kita membicarakan epistemologi disini, berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedan yang cukup signifikan bahwa aktivitas berpikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreativitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk diseputar epistemologi, mulai dari pengertian, ruang lingkup, objek, tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi.


B.     Sistematika Penulisan
Sebagai langkah akhir dalam penulisan makalah ini, maka klasifikasi sistematika penulisannya meliputi:
Bab I Pendahuluan, yang berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II diibahas tentang pengertian dan teori-teori motivasi, klasifikasi motivasi, dan motivasi dalam Al-Qur’an.
Bab III merupakan bab terakhir dalam penulisan makalah ini yang berisikan tentang kesimpulan, usul dan saran.



BAB II
PEMBAHASAN
Prinsip-Prinsip Epistemologi Untuk Dakwah Islam
            Dalam kajian filsafat[1] epistemology merupakan disiplin yang esensial setelah metafisika                   ( ontology), bahkan antara dua disiplin ( cabang filsafat ) yang masing-masing berdiri sendiri ini, saling mensyaratkan keberadaannya. Sebab pemikiran metafisik menjadi mungkin keberadaannya karena adanya prinsip-prinsip dasar yang menjelaskan kemungkinan diperolehnya pengetahuan oleh potensi diri manusia, baik mengenai hakikat maupun struktur tentang segala sesuatu yang ada sejauh masih dalam kapasitas jangkuan intelektual manusia.
            Begitu pual pemikiran mengenai epistemology, menjadi mungkin karena adanya prinsip-prinsip dasar mengenai hakikat dan struktur realitas , walaupun diakui betul bahwa epistemology merupakan operator yang mengkoordinasikan sistem berpikir ,  memberikan orientasi dan peta dalam memahami serta melihat semua kenyataan  “ yang mungkin” sejalan dengan prinsip metafisika yang dianutnya. Sehingga sebuah realitas menjadi bagian dari pengetahuannya yang pada saatnya menjadi dasar kegiatan keilmuan.
            Selama ini kajian mengenai epistemology untuk membangun epistemology islam dalam dunia muslim dalam artian yang sesungguhnya kurang mendapat apresiasi yang wajar. Padahal, Islam ( sebagai ajaran), menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam pedoman sucinya ( al-Qur’an) merupakan pedoman universal dan komprehensif bagi manusia (QS. 6:38; 16:89; 34:28,dll). Berdasarkan pada pernyataan tersebut, maka diasumsikan bahwa ajaran islam mempunyai kemandirian yang solid mengenai metodologi, dibandingkan dengan metodologi-metodologi lain yang bersifat sdan berdasarkan kultur kemanusiaan. Permasalahannya adalah tinggal bagiamana umat islam dapat menafsirkan wahyu dari tuhan kedalam dunia kehidupan empiric.
            Pada akhir abad 20-an, dalam dunia muslim lahir sebuah kesadaran untuk membangun paradigma baru yang diharapkan memberikan keseimbangan ( sintesis ) antara paradigm Timur dan Barat, dan sekaligus dapat menjadi paradigma alternative yang dapat menjembatani perbedaan yang cukup kontrovesial antara paradigma timur yang disebut-sebut sebagai paradigm yang bersifta mistis, religious, serta alamiah dengan paradigma Barat yang bersifat positivistic, mekanistik, dan ilmiah. Dimana keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
I.                   Paradigma: dari pandangan Dunia sampai Metode Ilmiah
Dalam tulisan Kuhn “The Structure Of Scientific Revolution” , tampaknya dapat diambil sebuah asumsi bahwa sebuah paradigma berada diantara zone filosofis-yakni sistem ontology, epistemology, dan aksiologi—yang menampilkan  “skema realitas” atau pandangan dunia (welstaschauung) dan zone operasional, yakni meyode keilmuan atau mengungkapkan beberapa contoh praktik ilmiah yang diterima mencakup hukum, teori aplikasi, dan istrumentasi secara terpau dan menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi tertentu dalam riset ilmiah.
            Setelah memberikan fondasi bagi sains normal dalam penemuan fakta yang penting, penyesuaian fakta yang penting, penyesuaian fakta dengan teori, dan pengartikulasian teori (pemecahan ambiguitas yang tersisa dan pemecahan masalah yang sebelumnya hanya menarik perhatian), paradigma sering dihadapkan pada pelanggaran alam terhadap ekspektasi (harapan kejadian) yang dimunculkannya. Ketika tumpuk, dia akan berubah menjadi krisis yang mendorong pemunculan teori-teori baru. Akhirnya, terjadilah revolusi sains yang mengakibatkan terjadinya revolusi sains yang mengakibatkan terjadinya perubahan pandangan dunia yang beimplikasi pada munculnya paradigma baru.
            Paradigm positivism yang mendasari sains modern, misalnya, ( secara umum ) di bangun di atas landasan ontology matrealisme (yang atomistic dan deterministik-mekanistik), landasan epistemology yang rasionalisme-reduksionistik, dan empirisme-kuantitatif dengan landasan onto-epistemologi dualism manusia-alam (subjek-objek), dan landasan pandangan dunia modern, sekaligus melandasi metode ilmiah—yang berintikan—logico-hypothetico-verifikasi yang berdiri di atasnya. , mengingat pandangan dunia merupakan persoalan yang mendasar, karena melandasi sebuah paradigm dalam kegiatan keilmuan-metode keilmuan--, maka dalam merumuskan kontruksi metode keilmuan dalam Islam, nampaknya kita harus berpedoman pada pandangan dunia Islam yang termuat  dalam al-Qur’an yang menjadi rujukan umatnya.


II.                Pandangan Dunia Al-Qur’an
            Pandangan al-Qur’an yang utuh tentang dunia ini, tampaknya tidak memisahkan kedudukan seluruh realitas yang secara umum terdiri dari Allah –manusia-alam. Ketika berbicara tentang alam, maka kedudukan Allah dan manusia pun turut terbahas. Sebagai petunjuk bagi manusia (QS. 2:185), tentunya pkokok bahasan al-Qur’an adalah bagaimana kedudukan manusia di hadapan Allah dan terhadap alam.
            Dalam pandangan dunia al-Qur’an , bahwa kemampuan kreatif alam, untuk menciptakan bentuk-bentuk ( keteraturan ) yang baru dan semakin kompleks seiring dengan perjalanan alam, tidak mungkin berasal dari berasal dari kehendak buta, melainkan dari kehendak sadar (Allah) yang setiap saat selalu sibuk (QS. 55:29) dalam mengatur semesta dzarrah sekalipun ( atau yang lebih elementer, asbghar) sekalipun (QS. 10:61, 24:3), serta menahan langit dan bumi agar tidak lenyap (QS. 35:41) dalam pengembangan (ekspansi)-nya (QS. 51:47). Dialah yang menetapkan hukum tingkah laku, yang dalam al-Quran disebut “petunjuk” (hudan, QS. 20:50), “perintah” (amr, Qs. 7:54), atau “ukuran” (qadar, miqdar, taqdir, Qs. 54:49, 25:52, 13:8) bagi segala sesuatu dengan malaikat dan Ruh sebagai perantara dan pelaksananya (QS. 74:4, 70:4, 34:2, 57:4) sehingga berlaku determinisme-holistik yang dapat mempertahankan keter-aturan dan keterpaduan alam (QS. 67:34). Pada gilirannya keter-aturan dan keterpaduan alam ini menjadi bukti bahwa hanya ada satu kehendak sadar dengan segala sifat kesempurnaannya (QS. 21:22).
            Gambaran al-Qur’an tentang hubungan Allah dengan alam ( langit dan bumi ) tersebut, menurut Aan Radiana (1999) mirip sekali dengan gagasan Bohm tentang pembagian semesta, yang terbagi menjadi dua tatanan (1) tatanan implicate, yaitu tatanan tersirat yang merupakan medan kesatuan primer yang digambarkan sebagai piring holografik yang tiap bagiannya merupakan pantulan informasi tentang keseluruhan, dan mendasari (2) tatanan explicate, dalam menampilkan keragaman. Terjemahan ayat tersebut kira-kira sebagai berikut:
            “Allah-lah cahaya bagi langit dan bumi. Cahaya-nya itu ibarat lubang tak tembus yang berisi pelita. pelita itu berada dalam kaca yang tampak seperti bintang kemilau (Kristal) yang dipenuhi dengan minyak yang di berkati yang tidak ada di Timur ataupun Barat, minyak itu nyaris menerangi walau tak tersentuh nyala api. Cahaya di atas cahaya ( saling berpantulan), Allah menunjuk orang yang dikehendaki-Nya untuk mendapat cahaya itu.begitulah Allah membuat perumpaan bagi manusia dengan segala kemahatauannya akan segala sesuatu” (QS. 24:35).
            Pada level holistik, qadar juga berlaku bagi tingkah laku moral manusia yang secara defenitif memiliki kemerdekaan, misalnya hukuman sejarah atas perbuatan suatu bangsa (QS. 33:38). Dengan demikian, kesadaran manusia juga terkait dengan realitas secara keseluruhan. Dan, seperti dikatakan dimuka, baik kepada alasan terlebih kepada manusia, amr, qadar, atau huddan (yang berisi hukuman tingkah laku segala sesuatu) itu, disampaikan Allah lewat pewahyuan,serta dengan kemampuan istimewa beberapa orgtertentu (Nabi dan Rasul) wahyu itu dapat diverbalisasikan ke dalam bahasa manusia melalui malaikat yang khusus bertugas untuk itu, yakni zibril atas izin Allah. Untuk dapat memahami hukum “tingkah laku realitas” secara utuh, disamping dengan mengamati fenomena (pelaksanaan hukum itu sendiri), kita meski mengkaji wahyu yang telah terverbalisasikan dengan mengkondisikan diri untuk dapat menangkap bahasa wahyu non verbal.
            Menurut al-Qur’an (16:78), ketika manusia terlahir, ia tidak tahu apa-apa. Selanjutnya, ia diberi tiga piranti (pokok) untuk mencerap pengetahuan, yaitu al-ism’ (pendengaran), al-bashar (jamak dari bashar, penglihatan), dan al-af’idah (jamak dari fuad, yang artinya masih diperaelisihkan). Tampaknya, sesuai konteks, sam’ dan bashar merupakan indera (luar) utama (untuk menangkap hal-hal yang hadir empirik, yang menggejala dengan memperlihatkan hukum-hukum tingkah laku yang disampaikan (diwahyukan) kepadanya dan fuad merupakan extra-sensory (indera keenam, untuk hal-hal yang non-empirik, seperti pengalaman Nabi di sidart al-muntaha, QS. 53:11, atau persepsi naluriah terutama terhadap hal-hal yang mencemaskan, seperti yang terjadi pada ibu Musa beberapa saat setelah menghanyutkan anaknya (QS. 28:10). Tampaknya fuad inilah yang merupakan indera untuk menangkap wahyu non-verbal (ketika manusia masih memiliki kebeningan nurani). Hasil kedua jenis indera ini selanjutnya diolah di dalam akal.
            Karena konsep rasio –yang disinyalir memiliki peran cukup besar bagi munculnya krisis dalam sains modern- sering dijumbuhkan dengan konsep akal, tampaknya disini konsep akal perlu dibicarakan lebih lanjut. Menurut al-Qur’an (22:46), ‘aql merupakan fungsi qalb (organ tubuh) yang menurut al_Qur’an menempati posisi sentral. Berbeda dengan fikr yang secara bahasa seakar dengan (dan mengandung dya isi makna yang dimiliki oleh kata-kata) fakr (kebutuhan) dan fakurah (bingkai, kerangka), sehingga fikr selalu dipengaruhi oleh kebutuhan pragmatis tertentu dan dibingkai oleh kerangka logika tertentu, dan cenderung merupakan fungsi sebelaah kiri. Penggunaan fikr (yang diidentikan dengan rasio) inilah barangkali yang menyebabkan sains bersifat reduk-sionistik, yang disinyalir al-Qur’an (74:18) tidak menjamin dihasilkannya kesimpulan yang benar.
            Sedangkan ‘aql yang basic meaning (al-ma’na al-asary) –nya mengikat (seperti ‘iqal yang berarti ikat kepala, seperti yang ditulis dalam Kamus al-Munawir), menurut hematnya lebih berfungsi sebagai pengikat (integrator) kegita kesadarn kognitif, afektif, dan konatif yang terdapat di otak dan menghubungkannya dengan qalb, mengingat keberadaanya sebagai fungsi qalb yang merupakan organ tubuh yang menempati posisi sentral (dimana taqwa, prestasi mental tertinggi mendapat tempat, QS. 22:32, 49:3 dll).
III.             Kontruksi Metode Keilmuan dalam Islam
            Dengan bahasan singkat mengenai pandangan dunia al-Qur’an sebagaimana diuraikan di atas, yang dijadikan pondasi dalam membangun epistimologi islam. Diketahui bahwa epistimologi dakwah dalam visi al-Qur’an harus didasarkan pada sumber pengetahuan, yakni Allah SWT melalui kitab yang mengandung segala hikmah (al-Qur’an) dengan menggunakan segenap potensi manusia (QS. 16:78).
            Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan holistik. Dalam pendekatan holistik ini, menurut Nursamad (1990), tidak mempersoalkan apakah potensi indrawi, akal budi ataukah intuisi yang menjadi andalan pengetahuannya, tetapi yang penting adalah kejernihan dan kepastian dalam setiap pengetahuan, baik dalam bentukinderawi, rasional maupun intuitif. Kejernihan dan kepastian itupun tidak dapat diperoleh kecuali dengan cara ‘membersihkan jiwa (tazkiyah bi al-nafs) –yang menjadi wadah potensi-potensi pengetahuan- dari segala macam noda dan penyakit yang dapat menghalangi tercapainya kebenaran hakiki, apapun bentuk dan jenis pengetahuan tersebut.
            Lebih lanjut, Nursamad mengatakan bahwa: “prinsip-prinsip epistimologi dalam hikmah (filsafat), didasarkan kepada wahyu dan keimanan.” Dengan alasan: (1) karena tanpa wahyu niscaya manusia mengalami keputusasaan untuk mencapai kebenaran yang pasti, (2) wahyu dipandang stimulan bagi potensi-potensi intelektual ibarat air hujan menyuburkan tanah, (3) berdasarkan hubungan dan keterikatan interaksi antara wahyu dengan potensi pengetahuan, integritas dan harmonisasi pengetahuan-pengetahuan empirik, rasional dan intuitif dapat terjalin dengan baik, (4) pengetahuan yang diperkenalkan melalui al-hikmah adalah pengetahuan berdimensi intelektual dan moral. Dalam tarap inderawi, manusia menyerap pesan-pesan wahyu yang kemudian terobsesi melakukan observasi (perenungan dan pengamatan) dalam tarap rasional manusia yang kemudian meletakan dasar-dasar keilmuan bagi kegiatan perenungan tersebut, dan dalam tarap intuisi manusia menghayati penemuan-penemuannya, dan (5) seluruh proses pengetahuan dan al-hikmah ditentukan oleh kegiatan pembersihan diri karena bentuk dan jenis pengetahuan apapun yang tercapai, kiranya merupakan gejala jiwa yang pada dasarnya tidak terlepas dari tiga macam kecenderungan, yaitu: ego, hawa nafsu (termasuk godaan syetan), dan bisikan ilahi.
            Adapun kegiatan dalam memperoleh pengetahuan, menurut sambas (1999), yang didasarkan pada isyarat kandungan surat Luqman membagi beberapa metode, yaitu:
1.      Metode tilawah, aktivitas membaca ayat matluw (tulisan wahyu dalam mushaf).
2.      Metode ru’yah, aktivitas ayat afak (wujud alam ciptaan tuhan melalui jendela potensi indera.
3.      Metode i’ta. Aktivitas menghadirkan dan mendatangkan temuan intuisi ilahiyah.
4.      Metode zauq bi al-qalb, aktivitas jiwa melalui riyadhah (beriman, beramal shaleh, kontemplasi).
5.      Metode sual, aktivitas mempertanyakan hakikat sesuatu.
6.      Metode ijtihad, aktivitas nafs manthiqah (penalaran logis, kritis, dan sistematis).
Didasarkan pada uraian di atas, maka dalam langkah-langkah penemuan sebuah teori dapat berangkat dari ayat-ayat Allah baik yang berupa kauniyah maupun yang berupa qauliyah, dan metodologi yang digunakan dalam suatu penyelidikan tergantung dari pertanyaan yang hendak dijawab, atau bagian yang kita putuskan untuk dipelajari (perumusan pertanyaannya). Jadi dapat menggunakan sejumlah metode sesuai dengan hakikat subjek studinya. Jika dirasakan perlu deduksi, pengamatan dan eksperimentasi, induksi, atau mengacu kepada intuisi intelektual.
Sebagai suatu disiplin ilmu, ilmu dakwah dalam menjalankan fungsi keilmuan dengan berdasarkan pada kajian tersebut –paling tidak- melalui tiga metode, yaitu:
1.      Metode istinbath. Adalah proses penalaran dalam menjelaskan, memprediksi dan mengevaluasi hakikat dakwah dengan mengacu pada al-Qur’an, sunah, dan produk ijtihad ulama dalam mengalami keduanya. Produksi teori ini menjadi teori utama dalam ilmu dakwah.
2.      Metode iqtibas. Adalah proses penalaran dalam menjelaskan, memprediksi dan mengevaluasi hakikat dakwah dengan mengambil pelajaran dari teori ilmu sosial dan filsafat manusia. Hal ini dapat dilakukan mengingat objek material ilmu dakwah bersentuhan dengan objek material ilmu sosial filsafat manusia yang mengkaji fenomena perilaku manusia, dengan catatan hal-hal yang secara substansial bertentangan dengan sumber utama dakwah, yaitu al-Qur’an dan al-Sunah. Produk metode kedua ini menjadi “teori menengah” atau midle theory dalam ilmu dakwah.
3.      Metode istiqra. Adalah proses penalaran dan menjelaskan, memprediksi dan mengevaluasi hakikat dakwah melalui kegiatan penelitian pada tataran konsep dan pada tataran realitas macam-macam aktivitas dakwah dengan cara kerja ilmiah. Produk metode katiga ini menjadi teori ketiga dalam ilmu dakwah.
Selanjutnya dalam permasalahan verifikasi (pengujian), pada tahap verifikasi ini karena disadari bahwa Allah SWT menurunkan ayat-ayatNya semuanyan untuk dijadikan petunjuk dan sekaligus petunjuk untuk mencapai kebenaran yang didalamnya tidak ada pertentangan diantara keduanya maka proses verifikasi pada suatu penyelidikan, diadakan langkah-langkah pembenaran (konfirmasi dan justifikasi) satu dengan yang lainnya untuk mendapatkan hasil penyelidikan yang didalamnya tidak terjadi pertentangan antara pengujian terhadap ayat kauniyah dan qauliyah.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam kajian filsafat epistemology merupakan disiplin yang esensial setelah metafisika                   ( ontology), bahkan antara dua disiplin ( cabang filsafat ) yang masing-masing berdiri sendiri ini, saling mensyaratkan keberadaannya. Sebab pemikiran metafisik menjadi mungkin keberadaannya karena adanya prinsip-prinsip dasar yang menjelaskan kemungkinan diperolehnya pengetahuan oleh potensi diri manusia, baik mengenai hakikat maupun struktur tentang segala sesuatu yang ada sejauh masih dalam kapasitas jangkuan intelektual manusia.
Begitu pual pemikiran mengenai epistemology, menjadi mungkin karena adanya prinsip-prinsip dasar mengenai hakikat dan struktur realitas , walaupun diakui betul bahwa epistemology merupakan operator yang mengkoordinasikan sistem berpikir ,  memberikan orientasi dan peta dalam memahami serta melihat semua kenyataan  “ yang mungkin” sejalan dengan prinsip metafisika yang dianutnya. Sehingga sebuah realitas menjadi bagian dari pengetahuannya yang pada saatnya menjadi dasar kegiatan keilmuan.
Selama ini kajian mengenai epistemology untuk membangun epistemology islam dalam dunia muslim dalam artian yang sesungguhnya kurang mendapat apresiasi yang wajar. Padahal, Islam ( sebagai ajaran), menyatakan bahwa ajaran yang terkandung dalam pedoman sucinya ( al-Qur’an) merupakan pedoman universal dan komprehensif bagi manusia (QS. 6:38; 16:89; 34:28,dll). Berdasarkan pada pernyataan tersebut, maka diasumsikan bahwa ajaran islam mempunyai kemandirian yang solid mengenai metodologi, dibandingkan dengan metodologi-metodologi lain yang bersifat sdan berdasarkan kultur kemanusiaan. Permasalahannya adalah tinggal bagiamana umat islam dapat menafsirkan wahyu dari tuhan kedalam dunia kehidupan empiris.


[1] Istilah filsafat, bagi para filsuf peripatik-yang terilhami terminologi al_Qur’an-, makna filsafat sinonim dengan term al-Qur’an, yaitu al-hikmah.