Ilmu Dakwah


Sifat ilmiah didalam sebuah ilmu dapat diwujudkan apabila memenuhi beberapa syarat pengetahuan ilmiah, diantaranya: ilmu harus mempunyai objek, metode, sistematik, dan bersifat universal atau berlaku umum. Objek ilmu artinya sesuatu yang dikaji atau ditelaah oleh sebuah disiplin ilmu. Ilmu harus memiliki objek, karena kebenaran yang hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian antara yang diketahui dengan objeknya.
a.       Objek Ilmu Secara Umum
Semua disiplin ilmu pasti memiliki objek (sesuatu yang dikaji). Secara garis besar objek ilmu dibagi menjadi dua bagian, pertama, objek material, dan kedua objek formal. Objek material adalah sesuatu, realitas atau kenyataan yang dikaji (dibahas) atau diselidiki oleh ilmu. Sesuatu atau realitas itu misalnya adalah manusia, alam, ajaranagama, dan lain-lain.
Sedangkan yang dimaksud objek formal, adalah, adalah aspek khusus atau tertentu (hal Spesifik) dari objek material yang diungkapkan secara mendalam oleh suatu disiplin ilmu.misalnya manusia sebagai objek material memiliki keragaman aspek atau perilaku, ketika aspek khusus ini dikaji secara mendalam oleh disiplin ilmu itulah objek formal, yang melahirkan bermacam-macam ilmu social. Sebagai contoh misalnya mengungkap tentang budaya atau kebudayaan manusia, ini dikaji oleh Antropologi, tentang perilaku kejiwaan manusia dikaji Psikologi, dan sebagainya.  Oleh karena itu yang membedakan suatu disiplin ilmu dengan displin ilmu yang lain adalah objek formal yang diungkapkannya, artinya dengan objek formalnyalah akan diketahui kekhasan yang membedakan antara satu disiplin ilmu dengan ilmu lainnya.
b.      Objek Ilmu Dakwah
Ilmu dakwah sebagai sebuah disiplin ilmu memiliki objek kajian tersendiri. Seperti halnya uraian diatas, objek ilmu dakwah terbagi dua yaitu objek material dan formal. Objek material ilmu dakwah adalah ajaran pokok agama Islam (alQuran dan al-Sunnah) serta manifestasinya dalam semua aspek kegiatan dan kehidupan umat Islam dalam sepanjang sejarah Islam sedangkan objek formal ilmu dakwah adalah mengkaji atau mengungkap salah satu aspek atau sisi dari objek material, yaitu aspek yang berhubungan dengan kegiatan mengajak umat manusia, beramar ma’ruf nahi munkar, supaya manusia masuk kejalan Allah (system Islam) dalam semua segi kehidupan. Selanjutnya Syukriadi Sambas memperkuat pernyataan ini dengan pernyataannya bahwa objek material ilmu dakwah adalah perilaku keislaman dalam berislam yang sumber pokoknya al-Quran dan al-Sunnah, dan objek formalnya adalah aspek spesifik yaitu prilaku keislaman dalam melakukan dakwah baik dalam bentuk Tabligh, Irsyad, Tadbir, dan Tathwir.
Bentuk kegiatan mengajak umat manusia kepada al-Islam, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan (dakwah bi al-lisan dan bi al-qalam). Dakwah bi al-lisan (ucapan)/ bi al-qalam (tulisan) melahirkan aspek kegiatan khusus yang terdiri dari:
1.      Kajian masalah yang berkaitan dengan Tabligh, yaitu Komunikasi Penyiaran Islam (KPI).
2.      Kajian masalah yang berhubungan dengan Irsyad, yaitu Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI).
3.      Kajian masalah yang berhubungan dengan tadbir, yaitu Manajemen Dakwah (MD).
4.      Kajian masalah yang berkaitan dengan Tathwir, yaitu Pengembangan Masyarakat Islam (PMI).
Paling tidak empat bentuk kegiatan dakwah diatas beserta masalah-masalah didalam menjadi aspek-aspek yang secara intensif dikaji oleh ilmu dakwah sebagai bagian dari objek formalnya.






Metode Ilmu Dakwah
Disiplin ilmu dibuktikan juga aspek keilmiahannya dengan metode keilmuan yang dimilikinya. Metode sering diartikan sebagai kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos dalam bahasa Indonesia diartikan cara atau jalan.
Dalam perkembangannya metode ilmu dakwah terdapat dua versi, menurut Amrullah Ahmad dan Syukriadi Sambas. Pertama menurut versi Amrullah Ahmad meliputi:
1.      Pendekatan analisa system dakwah, dengan menggunakan analisa system dakwah masalah-masalah dakwah yang kompleks dapat dirumuskan proses dakwah dapat diketahui alurnya, umpan balik kegiatan dakwah dapat dinilai dan fungsi dakwah terhadap system kemasyarakatan (lingkungan) dapat diketahui dan dianalisa.
2.      Metode historis, metode historis digunakan untuk melihat dakwah dalam perspektif waktu: kemarin (masa lampau), kini, dan yang akan datang. Caranya adalah dengan menggunakan pendekatan subjek dan territorial.
3.      Metode reflektif, dalam hal ini bangunan logisnya: refleksi pandangan pandangan-dunia tauhid (sebagai paradigma) kedalam prinsip epistemologis, kemudian refleksi epistemologis kedalam penyusunan wawasan teoritik dan refleksi teoritik kedalam proses pemahaman fakta dakwah.
4.      Metode riset dakwah partisipatif, objek kajian dakwah tidak hanya memiliki sifat’masa lalu’ tetapi juga-bahkan lebih banyak-bersifat masa kini dan yang akan datang.Karena itu dakwah merupakan fenomena aktual yang berinteraksi dengan aneka ragam sistem kemasyarakatan, sains, dan tekhnologi.
5.      Riset kecenderungan gerakan dakwah, dalam metode ini setelah peneliti (da’i) melakukan generalisasi atas fakta dakwah masa lalu dan saat sekarang serta melakukan kritik teori-teori dakwah yang ada,maka peneliti dakwah menyusun analisis kecenderungan masalah, sistem, metode, pola pengorganisasian dan pengolahan dakwah yang terjaddi masa lalu,kini, dan kemungkinan yang akan datang.

Versi yang kedua metode ilmu dakwah menurut syukriadi sambas, ia merumuskan tiga langkah kerja (metode) keilmuan dakwah yang dikenal dengan sebutan pendekatan tiga ‘M’(tiga manhaj), yaitu : Manhaj istinbath,Iqtibas, dan Istiqra.
1.      Manhaj Istinbath yaitu : Suatu langkah kerja (metode) untuk menggali,merumuskan dan mengembangkan teori-teori dakwah atau memahami teori-teori dakwah dengan merujuk atau menurunkan dari al-Qur’an dan al Sunnah.
2.      Manhaj Iqtibas yaitu : Suatu langkah kerja (metode) untuk menggali,merumuskan, dan mengembangkan teori-teori dakwah atau memahami hakikat dakwah dengan meminjam atau meminta bantuan dari ilmu-ilmu sosial.
3.      Manhaj Istiqra yaitu : Suatu langkah kerja (metode) untuk menggali, merumuskan, dan mengembangkan teori-teori dakwah atau memahami hakikat dakwah dengan melakukan peneliti, baik penelitian referensi atau lapangan.
Metode lain yang dapat digunakan dalam merumuskan, menemukan dan mengembangkan teori-teori dalam dakwah, dapat meminjam beberapa metode yang pernah dilakukan para cendikiawan muslim terdahulu yang dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang yang menjadi orientasi utamanya, yaitu :
1.      Prinsip al-mura’ah (konservasi) yaitu pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk permasalahan yang muncul.
2.      Prinsip al-tahdithi (inovasi) yaitu upaya penyempurnaan ajaran islam guna memenuhi tuntunan spiritual masyarakat islam sesuai dengan perkembangan sosialnya.
3.      Prinsip al-ibtikari (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran islam secara kreatif, konstraktif, dalam menyahuti permasalahan aktual.

Metode bayani, yang sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha’,mutakallimun dan ushuliyun.bayani adalah pendekatan untuk :
a)      memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam lafadz.
b)      Istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniah dan al-qur’an khususnya.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan :
1.)    Bayan al-I’tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu,
2.)    Bayan al-I’tiqad, yaitu penjalasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna.
3.)    Bayan al-ibarah dibagi menjadi dua yaitu al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir. Al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir,qiyas,istidal, khabar.
4.)    Al-bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari khatib khat, katib lafz, katib ‘aqd, katib hukum dan katib khabar.
Metode irfani adalah cara pandang keislaman yang berkenaan dengan masalah-masalah esoterisme atau sufimisme.irfani adalah model metodologi berfikir yang didasarkan pada pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan.
Oleh karena itu pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh tuhan.dalam tradisi islam,selain indera dan akal, masih ada satu lagi alat pengetahuan yang diakui oleh ilmuan muslim, yaitu hati (qalbu) atau menurut bahasa filsafat disebut dengan intuisi.

KEDUDUKAN HADITS DALAM SYARI’AT ISLAM


A.     Kedudukan Hadits
Seluruh umat Islam, tanpa kecuali, telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan yang sangat penting setelah Al-Quran. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat Islam sama wajibnya dengan mengikuti Al-Quran. Hal ini karena hadits merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. Dengan demikian, antara hadits dan Al-Quran memilki kaitan yang sangat erat, yang satu sama yang lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri. Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam Islam tidak dapat diragukan karena tedapat penegasan yang banyak, baik di dalam Al-Quran maupun dalam hadits Nabi Muhammad SAW., seperti diuraikan di bawah ini.

1.      Dalil Al-Quran
Dalam Al-Quran banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah yang digandengankan dengan ketaatan mengikuti Rasul-Nya, seperti firman Allah berikut ini : “Katakanlah,’Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’.”
            Disamping itu, banyak juga ayat yang mewajibkan ketaatan kepada Rasul secara khusus dan terpisah karena pada dasarnya ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah SWT., yaitu :
a.      Q.S. An-Nisa [4] ayat 65 dan 80,
b.      Q.S. Ali Imron [3] ayat 31
c.       Q.S. An-Nur [24] ayat 56, 62, dan 63,
d.      Q.S. Al-A’raf [7] ayat 158.
Pada Q.S. An-Nisa [40] : 80 misalnya, disebutkan bahwa salah satu bentuk ketaatan kepada Allah adalah dengan menati Rasul-Nya, “ Barang siapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menati Allah. Dan barang siapa brpaling (dari ketaatan itu), kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S. An-Nisa [4]: 80)

2.      Dalil Hadits Rasulullah SAW
Di samping banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan kewajiban mengikuti semua yang disampaikan Nabi SAW., banyak juga hadits Nabi SAW yang menegaskan kewajiban mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW. Sdebagai sabda Rasul SAW., sebagai berikut : “Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan sunnah Rasul-Nya.” Hadits tersebut menunjukan bahwa Nabi SAW, diberi Al-Kitab dan Sunnah, dan mewajibkan kita berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil yang ada pada sunnah seperti mengambil pada Al-Kitab. Masih banyak hadits lainnya yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti perintah dan tuntunan Nabi SAW.

3.      Ijma’
Seluruh umat Islam telah sepakat untuk mengamalkan hadits. Kaum muslimin menerima hadits seperti menerima Al-Quran Al-Karim karena berdasarkan penegasan dari Allah SWT. Bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Allah juga memberikan kesaksian bagi Rasulullah SAW. Bahwa beliau hanya mengikuti apa yang diwahyukan.

B.      FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QURAN
Sudah kita ketahui bahwa hadits mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Ia menempati posisi kedua setelah Al-Quran. Dalam hubungan dengan Al-Quran, hadits berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Quran tersebut. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadits dalam hubungan dengan Al-Quran adalah sebagai berikut.

1.      Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, musytarak. Fungsi hadits dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhsisa ayat-ayat yang masih umum. Diantara contoh bayan at-tafsir mujmal adalah seperti hadits yang menerangkan ke-mujmal-an ayat-ayat tentang perintah Allah SWT. Untuk mengerjakan shalat,puasa,zakat, dan haji. Ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya, kita diperintahkan shalat, namun Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban tersebut dijelaskan oleh Nabi SAW.
Di antara contoh-contoh bayan at-tafsirmusytarak fihi adalah menjelaskan tenang ayat quru’, untuk menjelaskan ayat lafaz quru’ ini datanglah hadits Nabi SAW, berikut ini : “Talaq budak dua kali dan ‘iddahnya dua haid.” (H.R. Ibnu Majah). Hingga arti perkataan quru’ dalam ayat Al-Quran Q.S. Al-Baqarah ayat 228 berarti suci dari haid.
Contoh hadits Rasulullah SAW. Yang men-taqyid ayat-ayat Al-Quran yang bersifat muthlak, yaitu “Telah dihalalkan bagi kamu dua (macam) bangkai dan du (macam) darah. Adapun dua bangkai adal;ah bangkai ikan dan  , sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.” Hadits ini men-taqyid ayat Al-Quran yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT, dalam Al-Quran Al-Maidah [5]: 3.
Contoh hadits yang berfungsi untuk men-takhshis keumuman ayat-ayat Al-Quran adalah Hadits Nabi SAW, berikut ini. “Pembunuh tidak berhaq menerima harta warisan.” Hadits tersebut men-takhshis keumuman firman Allah SWT Q.S. An-Nisa [4]: 11 yang artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagi anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.

2.      Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir atau sering juga disebut dengan bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat adalah hadits yang befungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Quran.
Contoh bayan at-taqrir adalah hadits Nabi SAW, yang memperkuat firman Allah Q.S. Al-Baqarah [2] : 185 yang artinya : “ karena itu, barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa.” Ayat di atas di taqrir oleh hadits Nabi SAW yang artinya : “Apabila kalian melihat (ry’yat) bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat (ru’yat) bulan itu, berbukalah.”
Menurut sebagian ulama, bayan taqrir atau bayan ta’kid ini disebut juga bayan al-muwafiq li nash al-kitab al-karim. Hal ini karena hadits-hadits ini sesuai dengan dan untuk memperkokoh nash Al-Quran.

3.      Bayan An-Naskh
Secara bahasa, an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir (mengubah).
Para ulama, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda pendapat dalam mendefinisikan bayan an-naskh. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan di antara mereka dalam mendefinisikan kata naskh dari segi kebahasaan. Menurut ulama yang setuju adanya fungsi bayan an-naskh, dapat dipahami bahwa hadits sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-Quran yang datang kemudian.
Diantara para ulama yang membolehkan adanya naskh hadits terhadap Al-Quran, juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai untuk men-naskh Al-Quran. Dalam hal ini mereka terbagi kedalam tiga kelompok :
·        Pertama, yang membolehkan me-naskh Al-Quran dengan segala hadis, meskipun hadits ahad. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqiddimin dan Ibn Hazm serta sebagian besar pengikut zhahiriah.
·        Kedua, yang membolehkan me-naskh dengan syarat hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantanya dipegang oleh Mu’tazilah.
·        Ketiga, ulama yang membolehkan men-nask dengan hadits masyhur, tanpa harus dengan mutawatir. Pendapat ini di antaranya dipegang oleh ulama hanafiyah.[1]

C. PANDANGAN  PROBLEMATIK TENTANG HADITS
            Pandangn-pandangan ini ada yang dating dari intern umat Islam, dan ada juga yang dating dari lingkunan ekstern umat Islam yang kadang kala juga pandangannya diikuti oleh lingkungan intern.
            Pada abad II Hijriyah muncul paham yang menyimpang dari garis kiththah yang telah dilalui oleh sahabat dan tabiin, yakni ada yang tidak mau menerima hadits sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, atau bila tidak dibantu oleh al-Quran, dan adapula yang tidak menerima hadits ahad. Dalam pad itu, terdapat perbedaan paham dalam hal keadilan sahabat, hukum nenulis hadits, keneradaan pemalsuan hadits dan lain-lain.
            Adapun ikhtilaf tentang penerima hadits dan atau hadits ahad sebagai dasar tasyri’ dapat diuraikan sebagai  berikut :
1.      Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits ahad merupakan hujjah yang dapat dijadikan landasan amal walaupun bersifat zhan.
2.      Ahmad, al-mahasibi, al-karabisi, Abu Sulaiman dan malik berpendapat bahwa hadits ahad bisa qath’I dan wajib diamalkan.
3.      Kaum rafidhah, al-Qasimi, Ibn Daud dan sebagian kaum Mu’tazilah mengngkari hadits ahad sebagai hujjah.
Alasan penolakan hadits ahad sebagai hujjag adalah sebagai berikut :
Ø  Hadits ahad itu bersifat zhan bisa mengandung kesalahan, maka tidak dapat digunaln sebagai hujjah.
Ø  Karena telah sepakat bahwa hadits ahad tidak dapat dijadikan landasan bidang ushul, aqidah, dan furu’.
Ø  Sikap Nabi SAW yang tidak segera merespon terhadap informasi Dzu al-yaddin bahwa nabi m,enyudah Shalat Isya dua rakaat.
Ø  Sahabat menolak pemberitaan seseorang tentang warisan nenek dan cucu dan disiksanya mayat karena tyangisan keluarganya.
Jawaban dan penjelasan dari ulama yang menerima hadits ahad sebagai hujjah sebagai berikut :
Ø  Hadits ahad walaupun bersifat zhan, telah dispakati sebagai hujjah, unrtuk masalah furu’ dan ijma bersifat qath’I.
Ø  Qiyas soal usul dan furu’ kurang tepat.
Ø  Nabi SAW menangguhkan penyempurnaan shalat isya karena ragu.
Ø  Kasus tersebut bukan berarti Abu Bakar dan Aisyah menolak berita perorangan, namun untuk ikhtiyah dan mencari landasan yang lebih kokoh.
Karena diperintahkan mengikuti Rasul, maka segala penjelasan Rasulullah Saw wajib kita ikuti. Kenyataan sejarah menyatakan menunjukan, bahwa para sahabat dan para Tabi’in menerima Hadits Ahad dan mengamalkannya dan banyak hukum disandarkan kepada Hadits-hadits Ahad. Dari lingkungan eksternal umat Islam, terdapat problema pandangan negative berupa kritikan. Adapun kritikan-kritikan mereka tentang Hadits sebagai berikut:
1.      Beberapa Orientalis berpendapat bahwa sebagian besar Hadits adalah buatan orang Islam, bukan sabda Nabi SAW.
2.      Mereka berpebdapat pula, bahwa hadits tidak dapat dijadikan dasar Tasyri’, hanya al-Qur’anlah dasar pembinaan hukum Islam.
3.      Mereka menuduh, bahwa untuk kepentingan golongan dan partai, umat Islam memalsu Hadits.
4.      Mereka mengatakan, bahwa yang oleh Islam dikatakan adil ternyata benar, sebab terbukti bahwa ada sementara sahabat tidak adil.
5.      Meragukan kebenaran Hadits yang terdapat pada kitab-kitab Hadits.
6.      Mereka menilai bahwa sistematika tadwin hadits tidak baik dan tidak memenuhi persyaratan ilmiah serta tidak memudahkan untuk penggunanya.
7.      Mereka mengatakan bahwa diwan Hadits secara keseluruhan tidak memuaskan.

Adapun jawaban terhadap kritik diatas adalah sebagai berikut:
1.      Sejak permulaan Islam, hadits adalah dasar syari’at Islam yang menjadi pedoman pengamalan agama bagi umat Islam.
2.      Hadits mutawwatir memfaidahkan yakin, terhadap hadits Shahih dan Hasan, jumhur ulama menetapkan hujjah.
3.      Dari adanya pertentangan poloitik, betul telah menimbulkan pemalsuan Hadits, yang membuatnya mereka yang lemah imannya yang lebuh mementingkan golongan sendiri dengan merugikan agama.
4.      Bahwa sasaran kritik orientalis tentang perawi hadits kepada Abu Hurairah dan al-Zuhri adalah dapat dimaklumi, sebab justru dua tokoh itulah pemuka Hadits.
5.      Umat islam masa Nabi SAW selalu berusaha mendapatkan Hadits dari Nabi SAW yang jauh tempat tinggalnya selalu bergiliran mendatangi Nabi SAW agar mendapat pelajaran.
6.      Kami berpendapat bahwa sistematika penulisan hadits pada diwan-diwan hadits pada tahap terakhir, sudah memadai dan baik memenuhi syarat ilmiah.
7.      Adalah tidak benar jika Mazhab Hanafi tidak menggunakan Hadits sebagai dasar Tasyri’, sebab bertentangan dengan kenyataan.[2]


[1] M. Agus Solahudin, M.Ag.Drs, @ all. 2009, Ulumul Hadits,Bandung : Pustaka Setia. Hal. 73-85.
[2] Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si, ulumul hadits, (Bandung:Mimbar Pustaka,2008) hlm. 98-108