Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sepuluh tahun sudah reformasi berlalu, namun reformasi belum dapat membawa perubahan yang substansional pada kehidupan rakyat Indonesia. Pada makalah ini akan dibahas mengenai suatu permasalahan dasar yang sangat penting untuk dianalisis, yakni Pancasila yang merupakan ideologi bangsa seharusnya dapat ditegakkan agar proses pembangunan nasional yang sesuai dengan reformasi dapat berjalan dengan baik.
Di kesempatan kali ini pula penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Harapan penulis, kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk dijadikan sebagai bahan referensi dalam mempelajari bahasan ini.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima kritik, saran dan masukan yang membangun
Bandung, 13 Oktober 2008
Tim penyusun
Daftar Isi
Halaman judul…………………………………………………... 1
Kata Pengantar………………………………………………….. 2
Daftar Isi………………………………………………………... 3
BAB I Ideologi
Pengertian Ideologi……………………………………………... 4
Ideologi-Ideologi di Asia……………………………………….. 4
Hind Swaraj…………………………………………………….. 5
Pancasila………………………………………………………... 6
Pengertian Asal Mula Pancasila.............................................. 9
Metodologi Pancasila……………………………………...…... 10
Nilai Pancasila………………………………………………..... 11
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional.............. 13
Hambatan dan Tantangan dalam Berideologi Pancasila............ 14
BAB II UUD 1945
Pengertian UUD 1945…………………………………..……... 16
Fungsi dan Kedudukan UUD 1945……………………..……... 16
Sejarah Terbentuknya UUD 1945…………....………………… 18
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945…………………….. 23
Daftar Pustaka………………………………………………....... 27
1. Ideologi
1.1 Pengertian Ideologi
Secara historis, pengertian ideologi mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk itu, di sini diuraikan pengertian awal ideologi dan perubahan-perubahan makna yang terjadi berikutnya.
Ideologi atau ideologie (dalam bahasa Perancis) pertama kali dikumandangkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836) yang hidup pada masa Revolusi Perancis melihat bahwa ketika Revolusi berlangsung, banyak ide atau pemikiran telah menginspirasikan ribuan prang untuk menguji kekuatan ide-ide tersebut dalam kancah pertarungan politik dan mereka mau mengorbankan hidup demi ide-ide yang diyakini tersebut.
Ideologi, secara etimologis berasal dari kata idea (ide, gagasan) dan ology (logos=ilmu). Dalam rumusan De Tracy, ideologi diharapkan menjadi cabang ilmu pengetahuan yang bertujuan mengkaji serta menemukan hukum-hukum yang
melandasi pembentukan serta perkembangan ide-ide dalam masyarakat, sehingga ide-ide tersebut dapat dijelaskan secara rasional.
Ideologi ini sendiri terdiri dari beragam macam jenis. Kita semua tentu tidak lagi merasa asing dengan ideologi-ideologi seperti fasisme, liberalisme, sosialisme, komunisme,Pancasila, dan lain-lainnya. Untuk selanjutnya, dalam makalah ini hanya dibahas ideologi dari Asia, khusunya Pancasila.
1.2 Ideologi-Ideologi di Asia
Terbentuknya ideologi-ideologi politik di kawasan Asia merupakan reaksi kritis terhadap ideologi kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme barat, sehingga unsur-unsur dalam ideologi-ideologi bangsa Asia ini sarat dengan ide-ide nasionalisme, antikolonialisme dan sangat menekankan ide keadilan social. Untuk mengenal dan memahami ideologi dari kawasan Asia, akan ditampilkan dua ideologi dari Asia untuk mewakili yakni Hind Swaraj (Indian Home Rule) yang digagas oleh Mahatma Gandhi dan Pancasila dari Indonesia.
1.2.1 Hind Swaraj
Hind Swaraj (berasal dari kata Hind yang berarti bangsa India dan Swaraj yang berarti pemerintahan sendiri), adalah ideologi yang digagas oleh Mohandas Karamchand Gandhi (1869-1948). Ia dikenal sebagai Bapak dan Guru bangsa India yang wafat karena ditembak pada tahun 1948.
Sebagai sebuah ideologi, Hind Swaraj terdiri dari beberapa ide dasar yaitu nasionalisme humanitis, sarvodaya (kesejahteraan social), ekonomi khadi serta pemerintahan yang demokratis.
Nasionalisme humanitis Gandhi bertumpu pada ajaran ahimsa (prinsip menghormati kehidupan, dalam arti khusus adalah tidak melakukan tindakan kekerasan apalagi pembunuhan) dan satyagraha (prinsip kekuatan jiwa, cinta akan kebenaran). Dalam bahasa Inggris sering dipadankan dengan passive resistance, non-violence atau perlawanan tanpa kekerasan/pasif). Dengan kedua prinsip tersebut, gerakan kemerdekaan India di bawah Gandhi memiliki ciri-ciri seperti tidak melakukan tindak kekerasan tapi lebih memilih aksi-aksi semacam boikot dan mengedepankan peralihan kekuasaan secara damai melalui negosiasi dan gentlemen agreement.
Sarvodaya (kesejahteraan milik semua). Hind Swaraj juga meliputi ide tentang tatanan sosial-ekonomi yang ideal yakni kesejahteraan dan kesetaraan nasional bagi bangsa India. Ide tentang kesejahteraan diangkat mengingat India masih menganut sistem kasta, di mana kaum Pariah atau kaum Harijan (kelompok yang terpinggirkan) perlu diangkat, baik secara sosial maupun ekonomi agar di dalam India yang merdeka, kelompok ini juga memiliki tempat dan kekuatan.
Khadi adalah kain tenun yang ditenun dengan charka (alat tenun yang dijalankan dengan tenaga manusia). Bagi Gandhi, kedua alat ini merupakan simbol sekaligus sarana untuk mendukung sarvodaya, keduanya merupakan alat sederhana namun dapat menjadi tumpuan jutaan rakyat miskin untuk memproduksi kain sendiri, hingga lepas dari ketergantungan kain impor dari Inggris. Ekonomi khadi merupakan simbol kemandirian ekonomi dan simbol kebebasan dari eksploitasi sistem industri pabrik yang diyakini Gandhi dapat menimbulkan pengangguran di desa-desa.
Ide Ramrajya (negara yang demokratis) dan Gram Swaraj (pemerintahan lokal berbasis desa), merupakan dua ide Gandhi tentang negara dan kedaulatan negara yang dicirikan oleh desentralisasi kekuasaan. Bentuk-bentuk pemerintahan semacam ini diyakini Gandhi dapat mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya,serta dapat memberi ruang bagi semua bentuk aliran atau pemikiran individu (Poerbasari, 2007:183-189).
1.2.2.Pancasila
1.2.2.1Pengertian Pancasila
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dikumandangkan pertama kali oleh Soekarno pada tanggal I Juni 1945, yakni pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal dalam arti formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut). Hal ini didasarkan pada interpretasi histories diamana rumusan dalam alinea IV pembukaan UUD 1945 diberi nama dengan bentuk istilah “Pancasila” sejak tanggal 1 Juni 1945.
Pada awal pidato dalam sidang tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam. Dan perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sesuai dengan rumusan ini, maka sejak pertama kali dikumandangkan, Pancasila diartikan sebagai ideologi yang mencerminkan identitas, kepribadian bangsa sekaligus merupakan alat pemersatu seluruh bangsa untuk mencapai tujuan perjuangan kemerdekaan.
Pancasila, secara etimologis berasal dari dua kata yaitu Panca yang berarti lima dan Sila yang berarti dasar. Pancasila dari akar kata berarti lima dasar, tepatnya adalah dasar bagi negara Indonesia yang merdeka.
Semenjak dikumandangkan pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila mengalami beberapa kali perubahan urutan sila maupun kata. Dalam rumusan Soekarno sebagai berikut:
- Kebangsaan Indonesia,
- Internasionalisme atau peri kemanusiaan,
- Mufakat atau demokrasi,
- Kesejahteraan sosial dan
- Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa atau prinsip Ketuhanan.
Berikut dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, terdapat perubahan kata dalam Pancasila sebagai berikut:
- Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia,
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perubahan berikutnya terlihat dalam Mukadimah UUD RIS tahun 1950, di mana kata-kata dalam Pancasila adalah:
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Peri kemanusiaan,
- Kebangsaan
- Kerakyatan dan
- Keadilan sosial.
Adapun urutan dan kata-kata dalam Pancasila yang digunakan saat ini adalah seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD’45 yakni:
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia,
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, Pancasila dapat diterima sebagai ideologi nasional karena sifatnya yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat, memberi arah dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadi prosedur penyelesaian konflik.
Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia digali dari nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama bangsa Indonesia. Menurut Prof. Dr. Notonagoro, S.H., Pancasila jika ditinjau dari mulanya atau sebab terjadinya maka Pancasila memenuhi syarat empat sebab (kausalitas) menurut Aristoteles, yaitu:
1.) Causa Meterialis (asal mula bahan)
Sebelum Pancasila dirumuskan sebagai asas kehidupan kenegaraan, unsur-unsurnya telah terdapat pada Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu, terdapat dalam istiadat, kebudayaan dan dalam agama-agama.
2.)Causa Formalis (asal mula bentuk)
Hal ini dimaksudkan bagaimana asal mula benuk, atau bagaimana bentuk Pancasila itu dirumuskan. Hal ini yang dimaksudkan adalah Pembentuk Negara dalam hal ini Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai anggota BPUPKI dan bersama-sama anggota BPUPKI. Dimana pada sidang BPUPKI pertama dirumuskan dan dibahas Pancasila. Disamping itu sekaligus juga merupakan asal mula tujuan.
3.) Causa Effisien (asal mula karya)
Dalam rangka sejak mulai dirumuskannya, dibahas dalam sidang BPUPKI pertama dan kedua, juga dalam rangka proses pengesahan Pancasila Dasar Filsafat Negara oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai asal mula karya. Juga di dalam Panitia Sembilan 22 Juni 1945 yang merumuskan Piagam Jakarta yang memuat calon ruusan Dasar Negar Pancasila sebagai asal mula sambungan.
4.)Causa Finalis (asal mula tujuan)
Asal mula dalam hubungannya dengan tujuan dirumuskannya Pancasila sebgai Dasar Negara Republik Indonesia. Hal ini diwujudkan oleh Panitia Sembilan termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, di mana semuanya sebagai anggota BPUPKI yang menyusun Piagam Jakarta (Pembukaan UUD 1945) pertama kali dibentuk dan memuat Pancasila. Kemudian BPUPKI menerima rancangan tersebut dengan segala perubahannya, hal ini dimaksudkannya dengan Pancasila dengan tujuan untuk dijadikan Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia.
1.2.2.2 Pengertian Asal Mula Pancasila
Pancasila mamiliki dua pengertian yang pokok, yaitu Pancasila sebagai
Dasar Negara Republik Indonesia dan Pancasila sebagai Pandangan Hidup
Bangsa.
Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk kehidupan sehari-hari (Pancasila diamalkan dalam kehidupan sehari-hari). Dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan didalam segala bidang. Pancasila sebagai norma fundamental, berfungsi sebagai suatu cita-cita atau ide yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan. Adapun wujud Pancasila secara konkret merupakan perwujudan Pancasila itu dalam setiap perbuatan. Dilihat dari kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi, yakni sebagai cita-cita dan pandangan hidup bangsa dan negara republik Indonesia.
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila dalam pengertian ini sering disebut Dasar Falsafat Negara. Dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai dasar negara untuk mengatur penyelenggaraan Negara. Fungsi pokok daripada Pancasila adalah sebagai dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945, dan yang pada hakikatnya adalah sebagai sumber dari segal sumber hukum atau sumber dari tertib hukum. Pengertian tersebut adalah pengertian Pancasila yang bersifat yudiris kenegaraan.
1.2.2.3 Metodologi Pancasila
Metodologi adalah upaya seseorang untuk mencari jalan atau cara yang tepat dalam suatu kegiatan. Dengan analogi terhadap hal itu, maka kita pun dapat memiliki cara atau pendekatan yang dianggap tepat dan benar dalam memahami Pancasila khususnya yang berkaitan dengan nilai yang muncul dari Pancasila itu.
Metode itu antara lain, observasi, verstenhen (pemahaman), interpretasi, teori kritis, dialog, pembaruan multikultural, integrasi, adapatasi, sosialisasi dan seni budaya.
Metode observasi digunakan untuk mengamati berbagai gejala yang dialami manusia, khususnya dalam melakukan berbagai tindakan dalam kapasitas dia sebagai makhluk individu, sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Metode verstenhen atau metode pemahaman adalah metode yang lazim digunakan dalam bidang humaniora dan ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk mencari makna tentang berbagai hal yang berkaitan dengan bidang humaniora, sosial, seperti perilaku manusia, peristiwa sejarah, interaksi masyarakat dengan lembaga, interaksi individu dengan individu lainnya, benda artefak yang masih ada, ritual masyarakat, kehidupan beragama, dan sebagainya.
Metode interpretasi adalah metode untuk melakukan penafsiran atau tafsir terhadap pemahaman suatu fenomena tertentu. Fenomena tersebut dapat berupa kehidupan masyarakat Indonesia dalam konteks bernegara dan berbangsa.
Teori kritis yang dimaksudkan ini adalah upaya metodologis atau metode yang mencoba menggabungkan antara pemahaman filsafat dengan kehidupan sosial.Metode teori kritis ini berusaha malihat bahwa realitas sosial sebagai fakta sosiologis dapat dipahami sebagai kegiatan yang sifatnya konseptual.
Metode dialog adalah metode yang menekan komunikasi atau alih informasi melalui sifat yang dinamis dan dua arah. Hal ini diperlukan agar pesan dapat diterima dengan baik dan tak terjadi salah paham antara yang satu dengan yang lain.
Metodelogi yang tepat juga akan mengarahkan bagaimana Pancasila itu terintegrasi dengan baik. Artinya melalui masyarakat yang plural dan heterogen, juga generasi mudanya Pancasila dapat diterima, diadaptasi, disesuaikan dengan kebutuhan yang ada.
1.2.2.4 Nilai Pancasila
Adapun rumusan Pancasila di dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut, Ketuhan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hkmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
a.) Nilai Religius
Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung. Dalam kehidupan sosial dan budaya maka keterkaitannya seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan beragama. Butir Pansila yang pertama berbunyi, Ketuhanan yang Maha Esa. Disini dimaksudkan hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan leluasa. Seganap rakyat hendaknya ber Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya “egoisme agama” dan hendaknya Nagara Indonesia satu negara yang ber Tuhan.
b.) Nilai Moral
Nilai moral yang dimaksudkan adalah nilai tentang kebaikan yang muncul akibat perilaku orang baik dia sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain atau masyarakat. Hal ini terdpat pada sila kedua Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.” Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan kemanusiaan yang adil dan beradab dan bermartabat luhur.
c.) Nilai Kebangsaan
Nilai kebangsaan adalah nilai tentang manusia yang secara kodrat memiliki hak dan kewajiban, kebebasan yang bertanggung jawab, serta identitas yang membentuk eksistensi manusia atau jati diri dalam kehidupan beragama. Bagi bangsa Indonesia terutama generasi mudanya, jati dirinya akan tampil dengan baik apabila dapat menampilkan nilai kebangsaan dengan optimal dalam kehidupan bernegara. Bangsa Indonesia terbentuk dalam proses sejarah yang penjang dan terdiri dari bermacam-macam kelompok suku bangsa. Perbedaan tersebut tidak untuk dipertentangkan tetapi justru dijadikan persatuan Indonesia, yang dituangkan dalam suatu asas kerohanian yang merupakan satu kepribadian yang bersifat majemuk tunggal yang disimbolkan dalam Lambang Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
d.) Nilai Keadilan
Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakkan, keseimbangan, pemerataan terhadap suatu hal. Setiap individu berhak untuk mendapatkan keadilan. Baik itu keadilan pada individu itu sendiri maupun keadilan terhadap negaranya.
e.) Nilai Kebersamaan dan Toleransi
Nilai Kebersamaan dan Toleransi adalah dua nilai yang saling melengkapi. Nilai kebersamaan adalah nilai yang dimiliki manusia dalam interaksinya dengan sesama berkaitan dengan tujuan dan kepentinagan tertentu. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hidup berdampingan dengan orang lain dalam situasi tertentu. Dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain atas dasar tujuan kepentingan tertentu. Sedangkan toleransi adalah nilai yang menghargai berbagai pendapat, keyakinan orang lain tentang sesuatu hal dan dalam situasi tertentu. Menghargai pendapat dan keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita menjadi hal yang penting dalam toleransi dengan orang lain. Itulah sebabnya nilai kebersamaan dan toleransi yang saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya.
1.2.2.5 Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Nasional
Paradigma adalah sebuah atau kerangka dasar yang menjadi landasan suatu kegiatan pemikiran sehingga menentukan metode. Sedangkan pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan menbangun masyarakat Indonesia seluruhnya. Paradigma pembangunan nasional sangatlah penting dan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedomannya. Pembangunan mencerminkan rangkaian gerak gerak perubahan menuju kepada kemajuan dan kehidupan yang lebih baik. Pembaharuan dilakukan dengan mengembangkan kepribadian bangsa Indonesia sendiri sehingga tidak kehilangan identitas diri bangsa dengan tetap membuka diri terhadap kemajuan yang positif dari bangsa lain terutama kemajuan ilmu pengetehuan dan teknologi. Dengan demikian, pembangunan nasional bertitik tolak pada kemampuan, kemandirian, kebersamaan, keadilan dan kemanfaatan bagi bangsa Indonesia. Kerjasama dengan bangsa atau negara lain dalam tatanan global tetap diperlukan sepanjang tidak menimbulkan ketergantungan dan tetap menjaga identitas diri bangsa, kebebasan dan kemandirian sebagai sebuah bangsa yang merdeka.
1.2.2.6 Hambatan dan Tantangan dalam Berideologi Pancasila
Dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia, terdapat potensi konflik yang besar mengingat adanya berbagai nilai-nilai yang dianut oleh berbagai kelompok masyarakat, dan hal ini dapat pula bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Untuk itu perlu diketengahkan di sini hambatan dan tantangan, baik itu dari negar sendiri maupun dari luar negeri.
A.) Hambatan
Hambatan muncul karena adanya perbedaan aliran pemikiran, misalnya:
- Paham individualistis. Negara adalah masyarakat hukum yang disusun atas kontrak semua individu dalam masyarakat. Disini kepentingan harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi. Hak kebebasan individu hanya dibatasi oleh hak yang sama yang dimiliki individu lain, bukan oleh kepentingan masyarakat.
- Paham golongan (Class Theory). Negara adalah suatu susunan golongan (kelas) untuk menindas kelas lain. Paham ini berhubungan dengan paham materialisme sejarah (suatu ajaran yang bertitik tolak pada hubungan-hubungan produksi dan kepemilikan sarana produksi serta berakibat pada munculnya dua kelas yang bertentangan, kelas buruh dan kelas majikan dan semua itu terjadi dan berada dalam sejarah kehidupan manusia).
B.) Bentuk-Bentuk Ancaman
a.) Isu, penyebaran berita bohong dan fitnah atau desas desus dengan
tujuan tertentu.
b.) Gejala-gejala negative, antara lain pola hidup konsumtif, sikap
mental individualistis, pemaksaan kehendak, kemalasan, penurunan
disiplin dan lain lain.
c.) Perbuatan dan tingkah laku yang mengganggu dan melanggar
hukum.
d.) Subversi (sabotase, spionase, dan lain-lain).
1.2.2.7 Tantangan
A.) Tantangan dari dalam negeri
a.) Tantangan disintegrasi, adanya perpecahan-perpecahan yang
disebabkan tidak puasnya sikap daerah menimbulkan
permasalahan-permasalahan yang dapat menghancurkan persatuan
dan kesatuan NKRI, seperti lepasnya Timor Timur pada tahun
1999.
b.) Permesta dan pemberontakan-pemberontakan lainnya sejak jaman
Revolusi.
c.) Tantangan dari masalah agama: adanya usaha-usaha yang timbul
karena keinginan untuk mengganti Pancasila dengan simbol-simbol
keagamaan, antara lain: Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS),
Pemberontakan DI/TII dan lain-lain.
d.) Tantangan dari masalah SARA: adanya perpecahan yang mengatas
namakan SARA menyebabkan beberapa peristiwa yang dapat
menghancurkan Pancasila antara lain: Peristiwa Poso, Peristiwa
Tanjung Periok, Peristiwa Mei 1998, dan masih banyak lagi.
B.) Tantangan dari Luar Negeri
a.) Adanya tantangan dari ideologi lain yang ingin mengganti ideologi
Pancasila dengan ideologi lainnya seperti ideologi Komunisme
yang berasal dari China dan Soviet. Atau ideologi Liberal dalam
Peristiwa Ratu Adil dan Pembantaian di Sulawesi oleh Westerling.
b.) Adanya intervensi dari negara lain untuk menghancurkan NKRI
contohnya privatisasi BUMN atau campur tangan Amerika dalam
penanganan hukum dan keamanan di Indonesia.
Oleh karena itu, Pancasila bagaimana pun juga akan berusaha untuk
Tetap mempertahankan diri dari segala macam tantangan tersebut demi kelangsungan negara Indonesia.
2.1 Pengertian UUD 1945
Yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Pembukaan terdiri atas 4 Alinea, yang di dalam Alinea keempat terdapat rumusan
dari Pancasila, dan Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 20 Bab (Bab I sampai dengan Bab XVI) dan 72 pasal (pasal 1 sampai dengan pasal 37), ditambah dengan 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Bab IV
tentang DPA dihapus, dalam amandemen keempat penjelasan tidak lagi merupakan kesatuan UUD 1945. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu kebulatan yang utuh, dengan kata lain merupakan bagian-bagian yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
Naskahnya yang resmi telah dimuat dan disiarkan dalam “Berita Republik Indonesia” Tahun II No. 7 yang terbit tanggal 15 Februari 1946, suatu penerbitan
resmi Pemerintah RI. Sebagaimana kita ketahui Undang-Undang Dasar 1945 itu
telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoneisa (PPKI) dan mulai
berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945. Rancangan UUD 1945 dipersiapkan oleh suatu badan yang bernama Badan Penyelidik Usaha-usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai, suatu badan bentukan Pemerintah Penjajah Jepang untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia.
2.2 Fungsi dan Kedudukan UUD 1945
Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan setiap tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan perundang-undangan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara
(Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004).
Dalam kedudukan yang demikian itu, UUD 1945 dalam kerangka tata urutan perundangan atau hierarki peraturan perundangan di Indonesia menempati kedudukan yang tertinggi. Dalam hubungan ini, UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD 1945 mengontrol apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan norma hukum yang lebih tinggi, dan pada akhirnya apakah norma-norma hukum tersebut bertentangan atau tidak dengan ketentuan UUD 1945.
Undang-Undang Dasar bukanlah satu-satunya atau keseluruhan hukum dasar, melainkan hanya merupakan sebagian dari hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Disamping itu masih ada hukum dasar yang lain, yaitu hukum dasar yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tidak tertulis tersebut merupakan aturanaturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara-meskipun tidak tertulis – yaitu yang biasa dikenal dengan nama ‘Konvensi’.
Meskipun Konvensi juga merupakan hukum dasar (tidak tertulis), ia tidaklah boleh bertentangan dengan UUD 1945. Konvensi merupakan aturan pelengkap atau pengisi kekosongan hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaaan, karena Konvensi tidak terdapat dalam UUD 1945.
Contoh : Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan yang masih dipelihara selama ini adalah setiap tanggal 16 Agustus, Presiden RI menyampaikan pidato pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Praktek yang demikian tidak diatur dalam UUD 1945, namun tetap dijaga dan dipelihara dalam praktek penyelenggaraan kenegaraan Republik Indonesia.
2.3 Sejarah Terbentuknya UUD 1945
Bahwasannya konstitusi atau Undang-Undang Dasar dianggap memegang peranan yang penting bagi kehidupan suatu negara, terbukti dari kenyataan sejarah ketika Pemerintah Militer Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Rakyat Indonesia. Sesuai janji Perdana Menteri Koiso yang diucapkan pada tanggal 7 September 1944, maka dibentuklah badan yang bernama Dokuritsu Zyunbi Choosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) pada tanggal 29 Arpil 1945 yang diketuai oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat dan Ketua Muda R.P. Soeroso, yang tugasnya menyusun Dasar Indonesia Merdeka (Undang-Undang Dasar). Niat Pemerintah Militer Jepang tersebut dilatarbelakangi kekalahan balatentara Jepang di berbagai front, sehingga akhir Perang Asia Timur Raya sudah berada di ambang pintu. Janji Jenderal Mc Arthur “I shall return” ketika meninggalkan Filipina (1942) rupanya akan menjadi kenyataan.
Para anggota BPUPKI yang dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 bersidang dalam dua tahap: pertama, dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 untuk menetapkan dasar negara dan berhasil merumuskan Pancasila yang didasarkan pada pidato anggota Soekarno pada 1 Juni 1945, kedua, dari tanggal 10 sampai dengan 17 Juli 1945 yang berhasil membuat Undang-Undang Dasar (Harun Al Rasid, 2002). Pada akhir sidang pertama, ketua sidang membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 8 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang disebut Panitia Delapan. Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan pertemuan antara gabungan paham kebangsaan dan golongan agama yang mempersoalkan hubungan antara agama dengan negara. Dalam rapat tersebut dibentuk Panitia Sembilan, terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. A. Subardjo, Mr. A. A. Maramis, Ir. Soekarno, KH. Abdul Kahar Moezakir, Wachid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, dan Mr. Muh. Yamin. Panitia Sembilan berhasil membuat rancangan Preambule Hukum Dasar, yang oleh Mr. Muh. Yamin disebut dengan istilah Piagam Jakarta.
Pada tanggal 14 Juli 1945 pada sidang kedua BPUPKI, setelah melalui perdebatan dan perubahan, teks Pernyataan Indonesia Merdeka dan teks Pembukaan UUD 1945 diterima oleh sidang. Teks Pernyataan Indonesia Merdeka dan teks Pembukaan UUD 1945 adalah hasil kerja Panitia Perancang UUD yang diketuai oleh Prof. Soepomo. Setelah selesai melaksanakan tugasnya, BPUPKI melaporkan hasilnya kepada Pemerintah Militer Jepang disertai usulan dibentuknya suatu badan baru yakni Dokutsu Zyunbi Linkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI), yang bertugas mengatur pemindahan kekuasaan (transfer of authority) dari Pemerintah Jepang kepada Pemerintah Indonesia. Atas usulan tersebut maka dibentuklah PPKI dengan jumlah anggota 21 orang yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan Wakil Ketuanya Drs. Moh. Hatta. Anggota PPKI kemudian ditambah 6 orang. tetapi lebih kecil daripada jumlah anggota BPUPKI, yaitu 69 orang. Menurut rencana, Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Rakyat Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Namun terdapat rakhmat Allah yang tersembunyi (blessing in disguise) karena, sepuluh hari sebelum tibanya Hari-H tersebut, Jepang menyatakan kapitulasi kepada Sekutu tanpa syarat undconditional surrender).
Dalam tiga hari yang menentukan, yaitu pada tanggal 14, 15, dan 16 Agustus 1945 menjelang Hari Proklamasi, timbul konflik antara Soekarno-Hatta dengan kelompok pemuda dalam masalah pengambilan keputusan, yaitu mengenai cara bagaimana (how) dan kapan (when) kemerdekaan itu akan diumumkan. Soekarno-Hatta masih ingin berembuk dulu dengan Pemerintah Jepang sedangkan kelompok pemuda ingin mandiri dan lepas sama sekali dari campur tangan Pemerintah Jepang.
Pada hari Kamis pagi, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta dibawa (diculik) oleh para pemuda ke Rengasdengklok, namun pada malam harinya dibawa kembali ke Jakarta lalu mengadakan rapat di rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1 Jakarta. Pada malam itulah dicapai kata sepakat bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan di Jalan Pegangsaan Timur 56, yaitu rumah kediaman Bung Karno, pada hari Jum’at 17 Agustus 1945 (9 Ramadhan 1364), pukul 10.00 WIB.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 petang hari datanglah utusan dari Indonesia bagian Timur yang menghadap Drs. Moh. Hatta dan menyatakan bahwa rakyat di daerah itu sangat berkeberatan pada bagian kalimat dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dalam menghadapi masalah tersebut dengan disertai semangat persatuan, keesokan harinya menjelang sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dapat diselesaikan oleh Drs. Moh. Hatta bersama 4 anggota PPKI, yaitu K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan. Dengan demikian tujuh kata dalam pembukaan UUD 1945 tersebut dihilangkan.
Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut: bahwa badan yang merancang UUD 1945 termasuk di dalamnya rancangan dasar negara Pancasila adalah BPUPKI yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945. Setelah selesai melaksanakan tugasnya yaitu merancang UUD 1945 berikut rancangan dasar negara, dan rancangan pernyataan Indonesia merdeka, maka dibentuklah PPPKI pada tanggal 7 Agustus 1945.
Pada era Orde Baru, pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan. Meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh.
Di bidang politik, pemerintah Orde Baru memiliki cara tersendiri untuk menciptakan stabilitas yang diinginkan, salah satunya dengan menjadikan Golkar sebagai mesin politik. Di dalam tubuh Golkar terdapat tiga jalur yang menjadi tumpuan kekuatannya, yaitu ABRI, birokrat, dan Golkar (jalur ABG). Keberadaan Golkar yang sebenarnya diperlukan sabagai sarana dan arena penyaluran aspirasi rakyat, ternyata dijadikan sebagai alat kekuasaan atau alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Sistem perwakilan pun bersifat semu, bahkan hanya dijadikan sarana untuk melanggengkan sebuah kekuasaan seecra sepihak. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik, banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya karena demokratisasi yang dibangun melalui KKN.
Ketidakberesan juga dapat dilihat dari konsep Dwifungsi ABRI yang telah berkembang menjadi kekaryaan. Peran kekaryaan ABRI semakin masuk kedalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bahakan dunia bisnis pun tak lepas dari intervensi TNI/POLRI. Segala produk kebijkan ekonomi dan politik selama Orde Baru teramat birokratis, tidak demokratis, dan cenderung KKN. Kondisi kian diperparah oleh upaya penegakan hukum yang sangat lemah.
Kondisi sosial-politik tersebut semakin diperburuk oleh krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan Juli 1997. Di pasaran mata uang dunia nilai rupiah terus merosot terhadap dollar Amerika. Krisis moneter memicu terjadinya kemerosotan ekonomi secara meluas. Perbankan nasional terpuruk dan banyak bank beku operasi (BBO). Dunia usaha tidak berkutik dan banyak yang gulung tikar. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi di banyak tempat. Haraga sembako yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari melambung tinggi, bahkan sempat terjadi kelangkaan.
Berawal dari gerakan moral, aksi bergeser memasuki ranah politik, yaitu menuntut Soeharto mundur dari jabatan presiden. Semua ini merupakan puncak kekecewaan rakyat atas krisis yang melanda Indonesia. Aksi mahasiswa di sejumlah kota besar semakin berani dengan turun ke jalan. Pada tanggal 12 Mei 1998 petang, aksi mereka menimbulkan bentrok dengan pihak aparat keamanan hingga terjadi peristiwa tragis yaitu tragedi Trisakti. Dalam peristiwa itu, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas setelah bentrok dengan petugas yang berusaha membubarkan mimbar bebas dan aksi duduk di Jalan S. Parman, Grogol, Jakarta Barat dan puluhan orang lainnya luka parah. Keempat mahasiswa yang terbunuh adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan.
Akibat peristiwa Trisakti dan kerusuhan massal pada tanggal 13-14 Mei 1998, muncul tuntutan rakyat agar MPR segera mengadakan sidang istimewa dengan meminta pertanggungjawaban presiden atau pengunduran diri secara konstitusional. Para mahasiswa semakin gencar melakukan aksi menuntut diadakan reformasi menyeluruh termasuk penggantian kepemimpinan nasional. Mereka mengarahkan perhatian utama kepada wakil-wakil rakyat di DPR/MPR RI dengan mengadakan demonstrasi besar-besaran di gedung DPR/MPR RI.
Menanggapi hal tersebut Presiden Soeharto berupaya membentuk komite reformasi, perubahan kabinet, tetapi tidak mendapat tanggapan positif dari mahasiswa dan kelompok kritis. Oleh karena itu, pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.05 pagi, di Istana Merdeka Jakarta, Presiden menyatakan berhenti, setelah 32 tahun, 7 bulan, dan 3 minggu masa kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Selesai Presiden Soeharto mengumumkan pernyataan berhenti, B. J. Habibie mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden RI. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan dan menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, maka B. J. Habibie , mengucapkan sumpah jabatan Presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.
Gerakan reformasi belum selesai, para pengunjuk rasa tetap menuntut diadakannya reformasi secara menyeluruh serta memberantas praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Untuk itu Presiden B. J. Habibie menyatakan akan mengadakan pemilu yang dipercepat, selambat-lambatnya pertengahan tahun 1999 (Sekretariat, 2001:26).
Pada era Presiden Habibie, Timor Timur yang menjadi provinsi ke-27 lepas dari NKRI. Terlepasnya Timor Timur menjadi faktor utama penolakan MPR atas pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie pada bulan Oktober 1999, B. J. Habibie akhirnya mengundurkan diri dari bursa calon presiden.
Selanjutnya, selama era Reformasi berlangsung telah terjadi empat kali pergantian presiden, yaitu B. J. Habibie (Mei 1998-Oktober 1999), Abdurrahman Wahid (Oktober 1999-Juli 2001), Megawati Soekarno Putri (Juli 2001-September 2004), Susilo Bambang Yudhoyono (September 2004-...).
2.4 Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Sebelum diuraikan tentang amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 perlu dipaparkan terlebih dahulu tentang kapan dan bagaimana Pasal 37 dibahas dan ditetapkan. Pasal tersebut yang masuk Bab XVI tentang Perubahan UUD, baru dibicarakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada rapat hari pertama tanggal 18 Agustus 1945. Dalam Rancangan UUD yang di buat oleh BPUPKI tidak tercantum pasal tentang perubahan UUD. Dalam rapat hari pertama itu, anggota Iwa Kusuma Sumantri mengusulkan agar ada pasal tentang perubahan undang-undang dasar.
Menanggapi usul Iwa Kusuma Sumantri, Ketua PPKI Sukarno mempersilahkan Prof. Supomo berbicara. Menurut Supomo memang harus ada Bab XVI tentang perubahan undang-undang dasar. Ia mengusulkan pasal baru ayat (1) Untuk mengubah undang-undang dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir dalam persidangan. Ayat (2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir (Sumantri,t.tahun: 133-134).
Setelah UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, undang-undang dasar tersebut berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Akan tetapi ketika negara Republik Indonesia berbentuk federal sejak tanggal 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950, UUD 1945 hanya berlaku di wilayah negara Republik Indonesia yang merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Mulai 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959 UUD 1945 tidak berlaku, yang berlaku adalah UUDS 1950. Baru mulai 5 Juli 1959 setelah keluar Dekrit Presiden, UUD 1945 berlaku kembali di seluruh wilayah negara RI.
Pada masa revolusi, Pasal 37 (Perubahan UUD) belum digunakan, demikian pula pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Melihat pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin telah melakukan penyelewengan dalam melaksanakan UUD 1945, maka Pemerintah Orde Baru menyatakan bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pada masa Orde Baru UUD 1945 disakralkan. Pembicaraan tentang amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945 merupakan hal yang tabu.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Prof. Dr. M. Habib Mustopo dkk. 2007. Sejarah SMA Kelas XII. Jakarta: Yudhistira
Soeprapto. 2003. Refleksi Proklamasi vs Reformasi. Jakarta: Taman Pustaka
Dr. Suhartono. 2008. Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Terintegrasi Buku Ajar I Logika, Filsafat Ilmu,
dan Pancasila. Depok: Universitas indonesia
UUD ’45 dan Amandemen. Jakarta: Srikandi, 2006
Notosusanto, Nugroho dan Marwati Djoened P. 1984.
Sejarah Nasional Indonesia IV, V, VI. Jakarta: PN Balai
Pustaka
Meliono, Irmayanti. 2008 Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Terintegrasi, Depok: Lembaga Penerbit FEUI
Tiga UUD Republik Indonesia. 2006. Jakarta: Asa Mandiri.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 2006. Badan Pekerja Pusat Majelis Tao Indonesia.
Hutauruk, M. Tentang dan Sekitar Hak-hak Azasi Manusia dan Warga Negara. Jakarta: Erlangga.
Posting Komentar