BAB I
PENDAHULUAN
Dakwah adalah upaya merubah dan mentranformasi manusia dari dzulumat (non Islam) kepada nur (Islam) agar mereka menjadi hamba Allah dalam ranah kehidupan individual dan komunalnya (keluarga, masyarakat dan negara). Tentu hal ini merupakan pekerjaan yang cukup berat sehingga wajar jika pahala orang yang berdakwah di jalan Allah sangat istimewa1 dibanding dengan amal- amal lain karena memang dakwah merupakan amal yang memerlukan ilmu dan amal sekaligus ijtihad dalam menentukan arah dakwah agar tetap berada di atas jalan kebenaran.
Terlebih tantangan dakwah dari masa ke masa semakin akseleratif, baik dari sisi kualitas ataupun kuantitasnya, masih kurang sepadan dengan para da’iyah yang terjun ke medan dakwah dengan segala kapasitas ilmu yang dimilikinya dimana jika saja dihadapkan dengan problematika dakwah maka sikap yang muncul seringkali mengedepankantasahul dantathorruf, kurang mempertimbangkan fiqh wahyi (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan atau
Sikaptasahul dalam dakwah artinya menganggap gampang segala permasalahan dakwah tanpa mengindahkan niali-nilai kemaslahatan sebagai tujuan dari syari’at agama Islam, dilakukan sambil lalu tanpa managemen sama sekali. Sementaratathorruf artinya sikap berlebihan dalam melihat permasalahan dakwah sehingga kemaslahatan syari’atpun menjadi sempit maknanya. Hal ini terjadi karena para da’iyah tidak memahami fiqh wahyi atau fiqh waqi’ dengan baik. Upaya memadukan fiqh wahyidan fiqh waqi’ inilah sebenarnya yang dalam lapangan dakwah disebut fiqh dakwah3 dimana kaidah-kaidahnya dapat ditarik dari ushul fiqh sebagai kaidah yang menjadi rambu-rambu dalam fiqih sebagai amaliah praktis.
Bertolak dari hal inilah, penulis melihat bahwa para da’i perlu untuk mengembangkan kaidah-kaidah fiqh yang menjadi acuan para ahli fiqh (fuqaha) dalam berijtihad dapat diselaraskan dengan lapangan amal dakwah karena keduanya merupakan dua sisi yang ekleptis satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan yang erat.
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Kaidah Dakwah
Kaidah dakwah terdiri dari dua kata yaituk a ida h danda k wa h. Menurut bahasa kaidah adalah serapan dari bahasa Arab yang artinya “al-asas” (dasar dan asal, baik bersifat materil ataupun immateril)4. Ia adalah ism mufrad (kata benda tunggal) dan bentuk jamaknya adalahqawa’id. Pengertian ini dapat kita lihat dalam firman Allah Swt :
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“ Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar- dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui"5.
Sedangkan menurut istilah al-Jurjani menjelaskan bahwa kaidah adalah hukum-hukum umum yang berlaku pada bagian- bagiannya6. Hukum umum tersebut diletakan untuk membatasi hukum-hukum pada bagian-bagian khususnya agar tidak terlepas dan keluar darinya. Batasan ini hampir sama seperti yang disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendefinisikan kaidah sebagai rumusan asas yg menjadi hukum atau aturan, patokan dan dalil yg sudah pasti7.
Sementara dakwah, menurut bahasa adalah masdar marroh dari kata da’a yad’u da’watan yang artinya berkutat seputar permohonan, ajakan, seruan serta anjuran terhadap suatu perkara8. Dalam al-Qur’an kata “dakwah” disebutkan untuk ajakan kepada kebaikan (haq) dan keburukan(batil). Dakwah yang digunakan untuk ajakan kepada kebaikan kita dapatkan dalam ayat al-Qur’an yang artinya:
“ Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka”9.
Sedangkan kata dakwah yang digunakan untuk ajakan kepada keburukan adalah :
“ Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku Termasuk orang-orang yang bodoh10."
Penggunaan kata dakwah dalam dua pengertian ini juga kita dapatkan dalam sabda Rasulullah Saw yang artinya:
“ Barang siapa menyeru kepada petunjuk (Allah), maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikutinya, pahala tersebut sedikitpun tidak mengurangi pahala mereka, dan barang siapa menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, dosanya tersebut sedikitpun tidak mengurangi dosa-dosa mereka “11.
Sedangkan menurut istilah, dakwah adalah upaya seorang da’iyah atau beberapa da’iyah dalam mengajak manusia kepada Islam dengan cara-cara tertentu sehingga mereka mengingkari thagut dan beriman kepada Allah12.
Merujuk kepada dua pengertian di atas, dapat didefinisikan bahwa kaidah dakwah adalah hukum atau aturan yang menjadi pedoman bagi da’i dalam mengajak manusia melakukan kebaikan dan menjauhkan dari keburukan.
B. Urgensi kaidah Dakwah
Karena objek dakwah itu manusia, tentu selaiknya ia dipahami secara utuh dikarenakan dakwah adalah aktifitas mengajak manusia baik umat istijabah (umat seagama) ataupun umat dakwah (umat beda agama)13. Dengan dakwah diharapkan umat istijabah dapat berubah dari kondisi buruk kepada baik atau dari baik kepada yang lebih baik. Sedangkan dakwah kepada umat dakwah diharapkan mereka dapat mengimani Allah Swt dengan sebanar-benar iman dan meninggalkan unsur-unsur syirik yang akan dapat membatalkan keimananannya .
Memahami dakwah dengan utuh ini tidak akan tercapai jika para da’i tidak mengetahui rambu-rambu yang harus dipatuhi selama berlangsungnya aktifitas dakwah tersebut. Dakwah yang dilakukan setiap da’i sejatinya dibatasi dengan kaidah-kaidah agar tercipta keselarasanwasilah (perantara) danghoyah (tujuannya), jangan sampai dakwah yang dilakukan termasuk kategori “al- Ghoyah tubarrir al-Wasilah” sebagai derivasi kaidah ushul fiqh “lil wasa’il hukm al-maqashid”14, yang dalam bahasa dakwah artinya demi tujuan dakwah segala perantara menjadi sah dilakukan meski secara hukum dilarang. Hal ini menuntut upaya penyelarasan antara kaidah-kaidah ushul fiqh dengan lapangan dakwah. Seluruh upaya dakwah harus dikoridori kaidah-kaidah dakwah yang secara substansial dapat ditarik derivasinya dari kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai kumpulan kaidah-kaidah umum yang digunakan untuk melakukanistinbath (mengambil kesimpulan) hukum-hukum syari’at dari dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang terperinci.
Sebagaimana seorang Ulama Fiqih tidak dapat berijtihad dalam beberapa amaliah praktis yang dihadapinya jika ia tidak memiliki kecakapan khusus terkait dengan kaidah-kaidah ushul fiqh, begitupun dengan seorang da’iyah tidak dapat melakukan dakwah dengan baik jika seandainya ia tidak memiliki ilmu tentang kaidah- kaidah dakwah yang dapat menyelamatkan perahu dakwahnya kepada tujuan yang dikehendakinya. Syaikh Jum’ah Amin berkata : “Kita harus mengembangkan kaidah-kaidah ushul fiqh dari lingkup hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliah ke lingkup dakwah secara umum, agar setiap da’i mampu membekali diri dengan kaidah-kaidah dan tolok ukur yang menentukan dakwahnya, sehingga tidak menyimpang dari manhaj yang benar”15.
Singkatnya, urgensi kaidah-kaidah dakwah adalah sebagai batasan atau rambu-rambu baku yang dapat menjadi pedoman dakwah bagi setiap da’i agar dakwahnya tetap berada dalam manhaj yang benar tidak “tasahul” dan atau “tathoruf” apalagi masuk pada kategori “dakwah ‘ala bab jahanam” yang disebut dalam hadis Khudzaifah ibn Yaman16 yang terkadang tidak disadari bahwa dakwahnya justru akan merugikan Islam yang berujung pada dakwah yang gagal dan tidak menuai hasil gemilang17.
C. Kaidah-Kaidah Dakwah
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kaidah-kaidah dakwah dibangun di atas kaidah-kaidah ushul fiqh agar dapat bersesuaian dengan tuntutan-tuntutan amal ibadah praktis, karena dakwah dilakukan agar madl’u dapat melakukan tuntutan-tuntutan agama di atas dasar pemahaman aqidah yang benar.Tuntutan-tuntutan agama (takalif syar’iyah) tersebut tujuan akhirnya adalah terwujudnya kemaslahatan (hayatan thoyyibah), yaitu kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dharuriyah) dan memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyah) serta kebutuhan pelengkap ( tahsiniyah)18. Kemaslahatan ta hs iniy a h tidak dipelihara jika dalam pemeliharaannya terdapat kerusakan bagihajiyah.Hajiyah dan tahsiniyah tidak berarti dipelihara jika dalam pemeliharaan salah satunya terdapat kerusakan bagi dha ruriy a h. Kemaslahatan inilah yang menjadi tujuan syariat-syari’at Islam secara keseluruhan, dan fatwa-fatwa hukum yang mucul dari para mufti pun harus selalu mengacu kepada konsep masalahat ketiganya, dengan tetap memperhatikan ketepatan dalam menghukumi suatu perkara amaliah praktis tersebut19. Ada beberapa kaidah Ushul fiqih20 yang dapat di- implementasikan dalam lapangan dakwah yaitu sebagai berikut:
1. Al-Dhararu Yuzalu Syar’an (bahaya itu menurut syara harus dilenyapkan).
2. Al-Dhararu La Yuzalu Bi Al-Dharari ( Suatu bahaya tidak boleh dilenyapkan dengan bahaya yang sama).
3. Yuhtamalu al-Dhararu Al-Khash li Daf’i al-Dharar al-‘Am (bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk mencegah bahaya yang bersifat umum) .
4. Yurtakabu Akhoff al-Dhararain li Ittiqa’i Asyaddihima ( Yang lebih ringan diantara dua bahaya boleh dilakukan untuk menjaga dari yang lebih membahayakan).
5. Daf’u al-Madharri Muqaddamun ‘ala Jalb al-Manafi’ (menolak bahaya itu harus didahulukan dari pada menarik manfaat).
6. Al-Dharuratu Tubihu al-Mahdhurat (keterpaksaan membolehkan dilakukannya hal-hal yang dilarang).
7. Al-Dharuratu Tuqaddaru Biqadariha ( keterpaksaan diukur dengan tingkat keadaannya). direspon madl’u tidak berarti gagal. Berbeda jika dakwah yang dilakukan kurang maksimal dalam mempertimbangkan wasa’il dan maqashidnya maka kegagalan dakwah dapat terjadi karenanya.
8. Al-Masyaqqatu Tajlib al-Taisir ( Kesulitan membawa kemudahan).
9. Al-Haraju Syar’an Marfu’ ( menurut syara’ kesulitan itu harus dihilangkan).
10. Al-Hajatu Tanzilu Manzilat al-Dharurati Fi Ibahat Mahdhurat ( Kebutuhan-kebutuhan dapat menempati posisi keterpaksaan dalam kebolehan melakukan yang haram). Dan kaidah-kaidah lain yang dapat kita baca dalam buku-buku ushul fiqih dimana semuanya dapat kita kembangkan untuk kemudian menjadi pedoman atau standar dalam berdakwah.
Syaikh Jum’ah Amin mencoba mengembangkan kaidah-kaidah ushul fiqih tersebut dalam kerangka dakwah setelah sebelumnya mengaplikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam lapangan dakwah, beliau merumuskan sepuluh (10) kaidah yang dapat kita pedomani saat berdakwah sebagai berikut :
- Al-Qudwah Qabl al-Dakwah (Menjadi Teladan Sebelum Berdakwah) Pepatah Arab mengatakan “Lisan al-Hal Afshah Min Lisan Al-Maqal” (bahasa kenyataan lebih fasih daripada bahasa lisan)21. Dalam lingkup dakwah kenyataan ini benar adanya, hal itu dikarenakan dakwah adalah upaya mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan sesuai petunjuk agama. Tentu hal ini akan cepat mendapatkan respon atau pengaruh besar ketika kepribadian positif seorang da’i dan keluarganya lebih dulu mewujud sebelum orang lain.
Untuk itulah al-Qur’an menyindir setiap da’i yang sering mengajak orang lain untuk berbuat baik, namun dirinya tidak melakukan kebaikan tersebut sebagai sesuatu yang aneh, bahkan Allah menyebut orang tersebut sebagai tidak berakal. Allah berfirman yang artinya:
(mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?22.
Oleh karena itu, Allah Swt sangat benci terhadap orang- orang seperti ini, Allah berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”23.
Berkaca kepada da’i pertama, Nabi Saw, sebelum berdakwah ia telah menunjukkan kepribadian baik kepada orang-orang kafir quraisy sehingga dikenal sebagaial-Amin (jujur dan terpercaya), termasuk kepribadian baik istri dan anak-anaknya, sehingga wajarlah jika dakwahnya mendapatkan sambutan bagus dari banyak pihak dalam jangka waktu yang relatif singkat, Beliau mampu merubah kiblat peradaban manusia yang sebelumnya kepada Romawi dan Persia menjadi berkiblat ke Arab. Untuk itulah Al-Qur’an menyuruh kita untuk mengambil qudwah (teladan) kepada Nabi Saw :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”24.
2. Al-Ta’lif Qabla al-Ta’rif (Mengikat Hati Sebelum Mengenalkan)
Objek dakwah adalah manusia dimana sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk dapat bergerak merespon pihak luar. Nabi Saw bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya pada setiap jasad terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh jasad itu. Tapi jika segumpal daging itu buruk, maka buruk pulalah seluruh jasad itu. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati”25.
Ustadz Hidayat Nurwahid berkata : Da’watuna Hubb, Wa bihi naftah al-Qulub. Idza Fatah al-Qulub fatah al-Uqul wa al-Juyub ( landasan dakwah kita cinta, dengan cinta itulah kita membuka hati manusia, jika hati manusia itu telah terbuka maka terbukalah akal pikiran dan kantong-kantong)26. Artinya seorang da’i harus berusaha menumbuhkan simpati, empati dan selalu menjalin hubungan saling mencintai dengan mad’unya, bahkan hal ini merupakan keniscayaan dakwah.
Jika kita amati dakwah Nabi Saw akan kita dapati bahwa beliau selalu mengedepankan empati, simpati, persuasi, lemah lembut dan tidak kasar dalam berinteraksi dengan orang-orang beriman. Allah berfirman yang artinya:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin”27.
Al-Qur’an menjelaskan bahwa keberhasilan dakwah Nabi Saw adalah karena sikap empati yang cukup besar dari Nabi kepada orang-orang kafir, sehingga mereka sangat familiar dengannya. Al-Qur’an menggambarkannya dalam firman-Nya yang artinya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.28
3. Al- Ta’rif Qabla Al-Taklif (Mengenalkan Sebelum Membebani)
Kesalahan dakwah terbesar adalah membebankan suatu amalan kepada madh’u sebelum diajarkan dengan baik. Baik beban suatu amal yang hukumnya wajib ataupun sunat. Karena dakwah itu tegak di atas landasan ilmu dan dalil yang jelas, dan bukan doktrin-doktrin yang membabi buta. Allah berfirman yang artinya:
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik"29.
Ketika seorang da’i membebankan suatu amalan sebelum dipahamkan, maka akan muncul konsekuensi penolakan terhadap dakwahnya dan atau menjadikan madh’u selalu ta qlid, menerima apa adanya meski mereka belum mengetahui dasar amalan tersebut hingga akhirnya mereka menjadi orang yang taqlid buta (muqallid a’ma).
Di samping itu, mengenalkan Islam secara utuh akan menangkal setiap kesalahan ajaran yang dikembangkan oleh orang-orang yang fobi terhadap Islam dan akan menjadikan madh’lu selalu beramal atas dasar ilmu, sbegaimana disebut imam Al-Bukhari al-ilmu qabla al-qauli wa al-amal30.
4. Al-Tadarruj fi Al-Taklif(Bertahap Dalam Membebankan Suatu Amal)
Manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda, baik dari sudut latar belakang pendidikan ataupun kondisi sosial yang melahirkannya. Oleh karena itu, dakwah kepada manusia dengan ragam tipologinya itu tentu mengonsekuensikan perbedaan dakwah yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw :
Karena manusia itu bertingkat dan berkelas-kelas, maka dakwah yang dilakukan kepada masing-masing kelas itu juga harus sesuai, dengan cara itu maka tidak ada dakwah yang disajikan kepada semua orang dengan cara dan model yang hantam kromo (disamaratakan) karena hal itu akan membuat madh’u menjadi malas dan bahkan kemudian ia tidak lagi tertarik dengan Islam.
Dasar yang menjadi dalil kaidah ini adalah bahwa al- Qur’an turun kepada Nabi Saw dengan bertahap (tadarruj)32, disesuaikan dengan kondisi madh’u yang belum memiliki kesiapan penuh untuk menerima ajaran Islam. Di samping itu, tadarruj dalam suatu gerak kehidupan adalah sunnatullah pada semua mahluk33.
5. Al-Taisir La al-Ta’sir (Memudahkan Bukan Menyulitkan)
Salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah, tidak menyulitkan. Demikian firman Allah Swt yang artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”34.
Di samping itu Nabi Saw bersabda :
Setiap da’i harus mengetahui bahwa setiap hukum dalam syari’at Islam – baik perintah ataupun larangan- bertingkat-tingkat. Ada perintah ibadah yang hukumnya wajib ‘ain yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu dan ada juga perintah yang hukumnya wajib kifayah dimana cukuplah sebagian orang untuk melakukan kewajiban tersebut36. Di samping itu ada perintah lain tapi tidak sampai kepada batasan wajib yaitu sunnat saja. Sunnat pun ada yangmu’akadah yang ditekankan untuk dapat dilakukan, menyerupai hukum wajib, dan ada pula yang ghoir mu’akkadah yang tidak terlalu ditekankan. Demikian juga terkait dengan larangan, ada yang hukumnya haram sebagai larangan keras, ada pula larangan yang tidak terlalu keras yang disebut dengan ma k ruh37.
Perintah dan larangan ibadah dalam Islam dapat dipastikan mudah untuk dilakukan, dan jika berada dalam kondisi yang sulit maka perintah tersebut menetapkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan sebagai penggantinya. Namun, bukan berarti perintah ibadah tersebut dapat se- enaknya diganti dan dirubah atas dasar kaidah ini, karena yang dimaksud adalah bahwa agama ini meski ia sebagai perintah ibadah namun tetap didasarkan kepada kemampuan manusia sebagai mukallafnya. Allah berfirman yang artinya:
Da’i yang tidak mengetahui tingkatan hukum syari’ah dapat dipastikan dakwahnya akan membuat mad’u lari dan merasa sulit untuk dapat melakukan suatu amalan, karena semuanya dianggap sama dalam tingkatan hukum.
6. Al-Ushul Qabla Al-Furu’ ( Perkara Pokok Sebelum Perkara Cabang)
Yang dimaksud dengan a l-Us hul dalam Islam adalah masalah-masalah pokok yang terkait dengan keimanan dan komitmen dengan “syahadatain” (Laa Ilaaha Illa Allah, Muhammad Rasulullah) yang akan merubah cara pandang dan sikap hidup seorang muslim secara total. Masalah ushul inilah yang menjadi sentral bahasan Nabi pada peroide dakwah di Mekah selama + 13 tahun39. Dan tugas pokok setiap Nabi dan Rasul yang diutus Allah kepada manusia adalah untuk memahamkan ushul ini, demikian Allah berfirman:
“ Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang- orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)40.
Sedangkan yang dimaksud dengan a l-furu’ adalah masalah-masalah cabang yang bersifat amaliah praktis dimana ikhtilaf seringkali terjadi karena terdapat pandangan fiqih yang berbeda terhadap nash, baik dari sisi kualitas ataupun kuantitas orang yang memahaminya. Berbeda dengan ushul, ia adalah masalah-masalah pokok agama yang sebagian besar temanya tidak diperselisihkan41.
Rasulullah Saw ketika mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah kepada penduduk Yaman, Nabi Saw bersabda :
“Hendaklah materi pertama yang disampaikan kepada mereka adalah syahadatain”42
Dakwah yang dilakukan mesti memegang kaidah ini, jangan sampai isu-isu agama yang sifatnya furu’ menjadi ushul, atau yang sifatnya furu’ merusak ushul hanya karena perbedaan pandangan. Inilah yang dimaksud dengan fiqh aulawiyat dalam dakwah dimana seorang da’i harus selalu memahami masalah-masalah ushul dan furu’ dalam agama agar ia mampu mengarahkan umat secara proporsional.
Da’i yang tidak memahami masalah-masalah ushul dan furu’ ini akan menjadikan dakwah tidak lagi menuai maslahat, bahkan ia akan melahirkan kontra produktif bagi dakwah itu sendiri. Karena ushul harus lebih didahulukan dari pada furu’ karena furu’ akan dapat dilaksanakan dengan baik dan benar ketika ia berpijak pada ushul yang baik dan benar pula.
7. Al-Targhib Qabla Al-Tarhib (Memberi Harapan Sebelum Ancaman)
Islam memuatta rghib (harapan) danta rhib (ancaman), hanya saja ada beberapa madh’u yang bisa lari dari dakwah ketika selalu dihadapkan oleh da’i kepada t a rhib, sehingga dakwahnya terlihat menakutkan. Padahal dakwah itu selaiknya menjadikan mad’u akrab dengan Islam, dan salah satu pedoman untuk dapat mengakrabkan da’i kepada Islam adalah mengarahkan mad’u untuk dapat memahami hal-hal targhib (kabar gembira dan harapan) sebelum tarhib. Mengambil teladan dari dakwah Nabi Saw yang selalu mempedomani kaidah ini secara proporsional, memperlakukan para sahabat dengan penuh kasih sayang dan memberikan motivasi kuat agar bersemangat dalam beramal dan tidak berputus asa karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Seperti cerita seorang pembunuh yang telah membunuh 99 manusia yang ingin bertaubat yang cerita hidupnya diakhiri dengan kesalehan meski ia belum sempat beramal43.
Seorang da’i harus selalu memberikan semangat kepada mad’unya untuk dapat beramal, dan jika ia melakukan dosa harus diberi harapan besar bahwa Allah selalu membuka pintu tobat bagi siapa saja, dengan cara itu dakwah – insya Allah- akan menuai hasil yang diharapkan.
8. Al-Tafhim La al-Talqin(Memberikan Pemahaman Bukan Mendikte)
Dakwah adalah upaya merubah dan mentransformasi manusia untuk dapat melakukan tuntutan ajaran Islam. Untuk dapat merealisasikan itu, seorang da’i harus selalu memahamkan ajaran Islam itu secara baik agar dapat diamalkan atas dasar kepahaman dan bukan keterpaksaan. Itulah makna dakwah ‘ala bashirah” dan hujjah44.
Dakwah ini harus dapat memahamkan mad’u terlebih dahulu dengan ajaran Islam yang benar, memperhatikan kondisi mad’unya dengan baik dari sisi latarbelakang pemahamannya. Dakwah yang mendikte mad’u untuk melakukan suatu amalan tanpa ada proses pemahaman sebelumnya, akan menyebabkan dakwah menjadi kurang atau bahkan tidak direspon dengan baik. Hal itu dikarenakan Islam adalah ajaran yang memerintahkan umatnya untuk beramal atas dasar ilmu. Allah Swt berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”45.
9. Al-tarbiyah La Al-Ta’riyah (Mendidik Bukan Menelanjangi)
Menjaga kehormatan adalah termasuk dari tujuan syari’at Islam, oleh karena itu dakwah harus selalu berupaya memberikan didikan yang baik kepada mad’unya, tidak menelanjangi setiap ada hal-hal yang tidak bersesuaian dengan agamanya. Tapi bukan berarti seorang da’i diam di hadapan kemaksiatan mad’unya yang melakukan kemaksiatan, karena kemaksiatan harus selalu dihilangkan, hanya saja cara menghilangkan kemaskiatan itu tidak sampai menelanjangi mad’u, terlebih dilakukan dihadapan khalayak. Dalam hal ini Nabi Saw bersabda :
Al-Qur’an memberikan petunjuk cara meniadakan kemungkaran denganhikmah (arip dan bijaksana), mau’idzah hasanah (nasihat-nasihat yang baik) dan jika seandainya harus berdebat, maka ia dilakukan dengan cara yang baik (mujadalah bi al-husna), Allah Swt berfirman yang artinya:
“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk “47.
10.Tilmidzu Imam La Tilmidzu Kitab (muridnya Guru bukan Muridnya buku)
Guru adalah nara sumber ilmu pengetahuan yang menjadi ayah psikologis, syaikh dalam tarbiyah, komandan dalam hal kebijakan-kebijakan dalam lapangan dakwah48.
Ada banyak hal khusus yang dapat kita harapkan dari guru yang tidak didapatkan dari buku, yaitu berkah dan do’a. Berkah karena keikhlasan hubungan antara murid dan guru diikat dalam kebutuhan keilmuan dan akhlak. Di samping itu guru akan membentuk kepribadian murid secara maksimal. Tentu hal ini berbeda dengan buku yang hanya bersikap diam dengan orang yang membacanya.
Dalam bahasa Ulama Qiroat al-Qur’an dan Hadits “talaqqy” adalah salah satu cara belajar yang baik, karena pemahaman seseorang dibatasi oleh kondisi-kodisi tertentu sebelumnya, sementara buku yang telah dikaji sebelumnya oleh seseorang dihadapan guru, pasti lebih utuh dipahami. Cara belajar seperti ini, dapat dilihat dari cara yang dilakukan oleh para sahabat yang belajar al-Qur’an kepada Nabi Saw, meski mereka orang Arab asli yang bahasanya belum banyak terkontaminasi, namun tetap saja mereka berguru kepada Nabi untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dan cara yang benar dalam membacanya49.
BAB III
PENUTUP
Kaidah-kaidah dakwah di atas adalah merupakan ijtihad dari Syaikh Jum’ah Amin yang diambil dari kaidah-kaidah ushul fiqih, kemudian pemahaman terhadap kaidah ushul fiqih itu dipadukan dengan pengalaman dakwahnya di lapangan. Sebagai ijtihad seorang da’i tentu akan dihadapkan dengan ijtihad lain yang kontra terhadapnya.
Terlepas dari kaidah-kaidah yang antitesif dengannya, sesungguhnya dakwah yang dilakukan setiap da’i harus selalu mengacu kepada kaidah-kaidah dasar dakwah yang nilai-nilai dasarnya telah ditetapkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Hal itu dilakukan agar dakwah yang dilakukan tidak kabur dan malah menghantarkan dakwahnya menjadi ta t h orru f danta sa hul.
Kenyataan di lapangan dakwah, ada beberapa da’i yang melakukan dakwah dengan tidak memperhatikan kaidah-kaidah dakwah ini, dilakukan seadanya, saklek tanpa memadukan antara materi dakwahnya sebagai fiqih wahyu dengan materi lain yang secara substantif tidak kontradiksi dengan nilai-nilai yang ditetapkan dalam nash-nash aL-Qur’an dan al-Sunnah, yaitu fiqih al-waqi’. Karena dakwah yang dilakukan Nabi juga tidak terlepas dari perpaduan antara kebenaran wahyu dengan ketepatan strategi dalam melakukan transformasi individual dan sosial menuju keadaan yang lebih baik. Wallahu A’lam
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an dan Terjemahnya, DEPAG RI, 2000
2. Abu Abdullah al-Qazwiny, “Sunan Ibn Majah”, Beirut : Dar el-Fikr, 1424 H
3. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Mesir : Dar Thauq an-najah, 1422 H4. Ali al-Jurjani, “a l- Ta ’rifa t ”, Beirut : Dar al-Kitab al-Araby, cet. Ke-1
5. Al-Nawawi, Riyad al-Shalihin, Cairo : Dar al-Taqwa, 1428 H
6. Al-Syatibi,”a l-M uwa fa qa t” , tahqiq Abu Ubaidah Ali Salman, Dar Ibn Affan: Riyad, 1427/1997
7. Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an, hlm 406 dalam Maktabah Syamilah, versi 3.2
8. Hasan al-Atthor, “ Hasyiah al-‘Athhor ‘ala Jam’i al-Jawa’mi’”, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1420/1999
9. KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA dalam
10. Miswan Thahadi, Quantum Dakwah dan Tarbiyah, Jakarta: Al- I’Tishom, 2008
11. Misbach Malim,Lc.Msc, Shibghah Dakwah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indoensia,2008
12. Muhamad bin Abd al-Wahab, “al-Qaul al-Sadid Syarh Kitab al-Tauhid”, Saudi Arabia: Kementerian: Departemen Agama dan Dakwah Saudi, 1421H
13. Muhamad Rasyid Ridha, “Majalah Al-Manar “ (dalam Bab al-Mas’alah al-Syarqiyyah), Juz 14
14. Muhamad Fu’ad Abd Al-Baqy, al-Lu’lu’ Wa al-Marjan, Beirut : Dar el-Fikr, 2001,
15. Muhamad Amin Jum’ah,” Al-Dakwah Qawa’id Wa Ushul”, Cairo : Maktabah misriyah, 1997
16. Muhamad al-Jizani, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘Inda Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah, Madinah:Dar Ibn al-Jauzi, 1427 H
17.Muhamad Al-Razi, “Mukhtar al-Shihah”, Maktabah Libnan : Beirut, 1415/1995
18. Shafy al-Rahman al-Mubarakfury, al-Rahiq al-Makhtum, Madinah: Dar Ibn al-Jauzi, 1427 HTaj al-Din Al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadza’ir, Syria : Dar al-Kutub al-ilmiyah, 1411/1991
19. Zakaria al-Bakistany, “Min Ushul al-Fiqh ‘Ala manhaj ‘Ahl al-Hadits”, Madinah : Dar al-Kharraz, 1423/2002
1 Hadis tersebut adalah “ seseorang diberi hidayah oleh Allah karenanmu (pahalanya) lebih baik dari unta merah (unta terbaik dan termahal)”H.R. Bukhari. Lihat Muhamad Fu’ad Abd Al-Baqy, al-Lu’lu’ Wa al-Marjan, Beirut : Dar el-Fikr, 2001, Juz 1, hlm.757. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pahalanya adalah lebih baik dari dunia dan seisinya, Lihat dalam ‘Ala al-din Faury, Kanz al-Umal Fi Sunan Al-al-Aqwal wa al-‘Af’al, Mu’asasah al-Risalah: Damascus, 1401/1981,juz 15, hlm. 344
2 Terkait fiqh al-Waqi (fiqih realitas) dapat dibaca dalam Dr.Nashir bin Sulaiman al-Umar dengan judul Fiqh al-Waqi’ ; muqawwimatuh, atsaruh, mashadiruh.
3 Demikian Ust Anis Mata Lc mengemukakan dalam beberapa tausiyahnya
4 Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodat fi Gharib al-Qur’an, hlm 406 dalam Maktabah Syamilah, versi 3.2
5 Q.S. al-Baqarah : 127. Kata “qawa’id” dalam bentuk jamak juga dapat dilihat dalam
Q.S.al-Nahl : 26
6 Lihat Ali al-Jurjani,“ al -Ta’ ri fat”, Beirut : Dar al-Kitab al-Araby, cet. Ke-1, hlm 171
7 Lihat KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA dalam http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
8 Lihat Muhamad Al-Razi, “Mukhtar al-Shihah”, Maktabah Libnan : Beirut, 1415/1995, hlm.218
9 Q.S.al-Ra’d : 14. Lihat juga firman-Nya dalam Q.S.al-Hajj : 67
10 Q.S. Yusuf : 33. Lihat juga dalam Q.S.al-Baqarah : 221
11 H.R.Muslim dari Abu Hurairah. Lihat dalam al-Nawawi, Riyad al-Shalihin dalam Bab fi al- Dalalah ala khoir wa al-Du’a ila Hudan au al-Dholalah, Cairo : Dar al-Taqwa, 2001
12 Miswan Thahadi, Quantum Dakwah dan Tarbiyah, Jakarta: Al-I’Tishom, 2008, hlm 12.
13 Drs.H. Misbach Malim,Lc.Msc, Shibghah Dakwah, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indoensia,2008, hlm 4
14 Lihat dalam Muhamad al-Jizani, Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘Inda Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah, Madinah:Dar Ibn al-Jauzi, 1427 H, cet.5.hlm.297
16 H.R. Bukhari, no. 7084. Lihat dalam Al-Bukhari, Al-Jami’ al-musnad al-Shahih al- mukhtashar Min Umur Rasulillah Wa Ayyamihi (Shahih Bukhari), Dar Thauq an-Najah : Mauqi al-Islam, 1422 H, juz 9 hlm 51.
17 Dalam batasan Islam selama dakwah dilakukan dengan baik dan benar, yakni berpedoman pada wasa’il dan maqashid yang benar, maka meski dakwah kurang
18 Al-Syatibi,” al -Muw afaq at” , tahqiq Abu Ubaidah Ali Salman, Dar Ibn Affan: Riyad, 1427/1997 M, Juz 2, hlm.17
20 Lihat dalam: Taj al-Din Al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadza’ir, Syria : Dar al-Kutub al- ilmiyah, 1411/1991, Juz 1 , hlm.57
21 Muhamad Rasyid Ridha, “Majalah Al-Manar “ (dalam Bab al-Mas’alah al-Syarqiyyah), Juz 14, hlm. 833
22 Q.S. Al-Baqarah : 44
23 Q.S.As-Shaff: 2-3
24 Q.S. Al-Ahzab : 21
25 H.R. Al-Bukhari no. 52. Lihat dalam “ Shahih Bukhari” Bab Fadhl Man Istabro’a Lidinihi, Mesir: Dar Thauq al-najat, 1422 H, Juz 1, hlm 20
27 Q.S.Al-Taubah : 128
28 Q.S. Ali imran: 159
31 H.R.Al-Dailami dari Ibnu Abbas. Lihat dalam al-Burhan Faury dalam “Kanz al-Ummal fi Sunan al-Aqwal wa Al-Af’al, Syria : Mu’asasah Al-Risalah, 1402/1981, Juz 10. hlm.242
33 Muhamad Amin Jum’ah, ibid, hlm. 34
36 Lihat dalam Zakaria al-Bakistany, “Min Ushul al-Fiqh ‘Ala manhaj ‘Ahl al-Hadits”, Madinah : Dar al-Kharraz, 1423/2002, Juz 1, hlm. 153
37 Lihat dalam Hasan al-Atthor, “ Hasyiah al-‘Athhor ‘ala Jam’i al-Jawa’mi’”, Beirut : Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1420/1999, Juz.1 hlm.116
41 Sebagian besar tema-tema pokok aqidah Islam tidak diperselisihkan, kecuali beberapa tema saja, seperti dalam masalah iman dan kufur antara beberapa madzhab dan takdir yang melahirkan beberapa sekte dalam Teologi Islam. Meski demikian, dalam masalah yang prinsif, yaitu syahadatain mereka sepakat.
42 H.R.Bukhari-Muslim, lihat dalam Muhamad bin Abd al-Wahab, “al-Qaul al-Sadid Syarh Kitab al-Tauhid”, Saudi Arabia: Kementerian: Departemen Agama dan Dakwah Saudi, 1421H. hlm. 31
46 H.R. Ibnu Majah, no. 2544, lihat dalam Abu Abdullah al-Qazwiny, “Sunan Ibn Majah”, Beirut:Dar el-Fikr, 1424
48 Miszan Thahadi, hlm 37
ijin share yah kak
free thinker indonesia