Kata pengantar
Sungguh manusia yang hidup di dunia modern diberkati karena diberikan akses yang
luar biasa pada tersedianya informasi di berbagai tempat. Baik yang tercetak, maupun
yang online di internet maupun ebook semacam ini yang hanya bisa dibaca di
komputer. Dua puluh tahun yang lalu, tidaklah demikian mudah mencari suatu informasi yang
kita butuhkan, karena minimnya sumber bahan bacaan yang ada di sekitar kita.
Banjir informasi yang sedemikian hebat ini lantas juga menyisakan suatu kebutuhan baru bagi
kita untuk mampu mencerap dan mengolah informasi tersebut. Seiring dengan banjirnya
informasi tersebut, ternyata waktu yang tersedia untuk membaca tetaplah 24 jam sehari bagi
setiap manusia. Jadi, yang dapat kita lakukan hanyalah meningkatkan kemampuan membaca
sehingga dalam waktu yang sama, mampu menyedot informasi yang jauh lebih banyak.
Diperlukan cara alternatif untuk membuat kita mampu -secara sengaja- menginput informasi
yang sekaligus dalam jumlah banyak ke dalam pikiran kita. Sebab cara membaca yang biasa
tidaklah menjanjikan suatu kecepatan yang cukup.
Duapuluh tahun yang lalu tantangan ini di jawab dengan hadirnya ilmu yang disebut sebagai
speed reading. Yakni teknik membaca cepat, dengan mengandalkan kemampuan pikiran kita
mengenali frasa-frasa kata dan pola dalam kalimat. Cara ini sudah termasuk cepat, namun
kekurangannya adalah, masih belum mengoptimalkan potensi otak manusia secara
keseluruhan. Sebab, dalam cara speed reading, kita masih harus “membaca” huruf / kata /
kalimat, sekalipun dengan kecepatan yang tinggi.
BAB I
PENDAHULUAN
Globalisasi menandai sebuah era baru dalam hidup manusia. Batas-batas teritorial, kepercayaan, poltik, ataupun budaya, yang semula begitu kokoh membatasi ruang lingkup hidup manusia, menjadi runtuh digilas oleh arus globalisasi. Globalisasi, dengan demikian, membuka sebuah ruang keterbukaan dan kebebasan yang melimpah ruah. Ekses kelimpahruahan ini, dalam hidup sehari-hari, bisa kita temukan dalam bentuk teknologi informasi. Arus deras teknologi informasi memungkinkan setiap oramg untuk membaca, mendengar, atau menonton apa saja yang ia mau. Beragam pilihan informasi pun akhirnya menyeruak dan berserakan di hadapan manusia. Apalagi, dengan menjamurnya beragam media komunikasi sosial, kelimpahruahan arus informasi tersebut semakin menemukan bentuknya.
Media komunikasi sosial tersebut hadir untuk menjajakan serta memanjakan tiap orang dengan beragam bentuk dan pilihan informasi yang serba cepat, murah, lagi beragam. Dalam praksisnya, media komunikasi sosial ternyata tidak hanya hadir sebagai penyedia jasa informasi, tapi juga menaruh andil dalam tiap perubahan sosial yang ada lewat pengaruh mimetisnya. Misalnya: generasi muda di Indonesia pernah diatribusikan dengan sebutan “generasi MTV” lantaran gaya, selera, dan bahkan pola pikir mereka amat dipengaruhi oleh program siaran tersebut. Berhadapan dengan situasi semacam itu, melalui paper ini hendak digali apa dan bagaimana gagasan dari ajaran sosial Gereja berkenanan dengan peranan dan pengaruh media komunikasi sosial dalam masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
1. Realitas Media Komunikasi Sosial Peranan dan Pengaruhnya
Perkembangan media komunikasi sosial dewasa ini terasa begitu mencengangkan. Beragam bentuk media komunikasi sosial seakan-akan menjamur dan hadir di tengah-tengah publik dengan kekhasannya masing-masing, misalnya: surat kabar, majalah, radio, televisi, atau juga internet. Meski demikian, beragam media komunikasi sosial itu sejatinya hadir sebagai pemberi informasi pada publik. Melalui media komunikasi, fakta-fakta yang ada di dalam masyarakat dikonstruksi dan dirpresentasi dalam bentuk informasi yang padat, memikat, serta cepat. Misalnya, berita mengenai korban lumpur lapindo, direkonstruksi dan direpresentasikan sedemikian rupa oleh media, sampai-sampai membuat si penerima informasi yang trenyuh dibuatnya. Disamping sebagai sarana penyebar informasi, secara positif, media komunikasi sosial sejatinya juga berperan dalam perluasan cakrawala pengetahuan; kontinuitas nilai-nilai budaya dan religiositas dalam masyarakat; pemberi hiburan; juga merangsang publik untuk bereaksi atas peristiwa-peristiwa aktual dalam masyarakat (solidaritas dalam penanganan bencana, misalnya).
Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa bayang-bayang kapitalisme ikut mewarnai gerak langkah media komunikasi sosial dalam masyarakat. Dalam bayangan kapital ini, dinamisme komersial seakan-akan menjadi kekuatan penentu pesan/informasi yang disampaikan oleh media komunikasi sosial. Dinamisme komersial tersebut pada akhirnya menjebak media komunikasi sosial pada apa yang disebut sebagai “logika pasar.” Dalam logika pasar ini, penghidangan informasi tidak lagi didasarkan atas pertimbangan baik-buruk atau perlu-tidak, melainkan informasi apa yang bisa memberikan keuntungan berlebih pada media, informasi itulah yang akan terus dikejar dan disuguhkan pada publik. Misalnya, berita mengenai skandal Maria Eva yang selama beberapa hari menghiasi head line koran-koran lokal (dan bahkan nasional) seakan-akan tidak ada berita lain yang lebih penting, atau juga penayangan cerita-cerita mistis yang banyak bertebaran di program siaran pertelevisian Indonesia. Lebih jauh, secara negatif, media komunikasi sosial mampu untuk mengubah mentalitas seseorang seturut dengan apa yang dicitrakan dalam media komunikasi sosial, pun pula menciptakan kebutuhan palsu pada publik. Melalui iklan, misalnya.
Beragam bentuk dominasi pengaruh tersebut adalah bentuk-bentuk kekerasan simbolis yang terhidang dalam jamuan informasi media komunikasi sosial. Bagai dua keping mata uang, kekerasan-kekerasan simbolis tersebut tampil sebagai oposan negatif dalam setiap peran konstrukstif media komunikasi sosial bagi masyarakat/publik.
2. Gambaran Umum Octogesima Adveniens
Octogesima Adveniens merupakan surat apostolik yang ditulis oleh Paus Paulus VI kepada kardinal Maurice Roy, Presiden Dewan Kaum Awam dan Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian. Surat apostolik ini dikeluarkan pada tahun 1971 sebagai peringatan 80 tahun Ensiklik Rerum Novarum. Dalam surat apostolik ini, Paus Paulus VI kerap mengutip berberapa artikel yang tertuang dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes (1965) atau juga Ensiklik Populorum Progressio (1967). Meski demikian, dibanding dengan dua dokumen tersebut, Octogesima Adveniens memiliki beberapa kekhususan dalam hal sumber, metode, dan tujuan penulisannya.
Surat apostolik Octogesima Adveniens ini pertama-tama memang bersumber pada kontak langsung Paus Paulus VI dengan umat Allah, sebagaimana Ensiklik Populorum Progressio. Namun, di sini, Paus Paulus VI mengakui bahwa situasi hidup manusia itu sangat berbeda-beda. Oleh karena itu, ia tidak berani memberikan suatu ajaran umum yang berlaku untuk semua. Selanjutnya, Octogesima Adveniens juga memakai metode yang digunakan oleh Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, yakni keterlibatan dan refleksi umat dibawah pimpinan kuasa mengajar Gereja atas masalah-masalah praksis sosial. Namun, dalam surat apostolik ini, Paus Paulus VI menambahkan bahwa fungsi Ajaran Sosial Gereja adalah sebagai kritik sosial demi kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, tujuan penulisan surat apostolik ini, menurut Paus Paulus VI, bukan hanya memberikan ajaran sosial yang melulu bersifat ekonomis, tapi juga ajaran teologis. Sebab, jawaban Gereja terhadap masalah-masalah sosial sejatinya berakar dalam iman.
Dalam surat apostolik ini, Paus Paulus VI membagi pokok-pokok gagasannya ke dalam tiga bagian besar. Pada bagian pertama, Paus paulus VI mulai dengan menginventaris beberapa tema sosial baru yang patut mendapat perhatian lebih, yakni: urbanisasi, kesetaraan perempuan, hak asasi manusiawi, marginalisasi kaum miskin, diskriminasi, penganguran, media komunikasi, pendidikan, dan eksploitasi lingkungan hidup. Dalam bagian ini, ia juga mengingatkan akan bahaya dari ideologi-ideologi sosialis, markis, serta liberalis.Pada bagian kedua, Paus Paulus VI mencoba untuk meneropong masalah-masalah sosial tersebut dengan kacamata kritis. Dalam bagian ini, ia menyebut setidaknya dua aspirasi yang urgen untuk diketengahkan, yakni kesamaan dan partisipasi tiap orang, baik dalam hal ekonomi maupun politik. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa kedua aspirasi urgen tersebut bisa terwujud dalam sistem demokrasi, dan bukannya teknokrasi. Selanjutnya, pada bagian ketiga, Paus Paulus VI memanggil setiap orang Kristen, baik secara individual maupun secara organisatoris, untuk merefleksikan situasi sosial, ekonomi, dan politik yang mereka hadapi, dengan berlandaskan prinsip-prinsip Injil, dan kemudian mengambil tindakan dalam bentuk-bentuk yang konkret.
3. Octogesima Adveniens
3.1. Kedudukan dalam Octogesima Adveniens
Diskusi seputar media komunikasi sosial yang tertuang dalam Octogesima Adveniens # 20, dimasukkan oleh Paus Paulus VI dalam bagian II dari surat apostoliknya. Dengan demikian, media komunikasi sosial dipandang oleh Paus Paulus VI sebagai salah satu bentuk permasalahan sosial baru – selain urbanisasi, marginalisasi kaum miskin, kerusakan lingkungan, dsb – dalam dunia modern. Melalui artikel ini, Paus Paulus VI mendengungkan perubahan-perubahan sosial yang tak terhindarkan akibat perkembangan media komunikasi yang begitu cepat, apalagi dengan jangka pengaruh yang semakin luas! Di satu sisi, media komunikasi sosial memang bisa merubah mentalitas seseorang dan menyebarluaskan budaya serta pendidikan, tapi di sisi lain, jika tidak disikapi secara bijak, media komunikasis sosial juga bisa berubah menjadi salah satu bentuk kekuasaan baru yang merugikan masyarakat. Dampak positif dan negatif dari media komunikasi sosial itulah yang menjadi evaluasi Paus Paulus VI dalam Octogesima Adveniens i# 20 ini.
3.2. Sistematika dan Analisa Gagasan Octogesima Adveniens
3.2.1. Dampak Positif Media Komunikasi Sosial
“Di antara perubahan-perubahan yang agak besar masa kini, kami tidak ingin lupa menekankan meningkatnya peranan media komunikasi sosial serta dampak-pengaruhnya atas perubahan mentalitas, pengetahuan, organisasi-organisasi, dan masyarakat sendiri. Jelas media itu mempunyai banyak segi positf. Oleh karenanya, berita dari seluruh dunia praktis segera mencapai kita, dan menjalin hubungan-hubungan yang menjembatani jarak-jarak jauh, serta menciptakan unsur-unsur kesatuan antara semua orang. Terbuka peluang-peluang untuk makin menyebarluaskan pendidikan dan kebudayaan.”
Media komunikasi sosial, dalam perikop ini, disebut sebagai salah satu “perubahan-perubahan yang agak besar di masa kini.” Penyebutan semacam ini bukannya tanpa alasan, mengingat luasnya daya jangkau serta besarnya daya pengaruh media komunikasi sosial terhadap masyarakat penerimanya. Dengan mudah, media komunikasi sosial bisa membentuk opini publik serta memengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang terhadap dirinya ataupun realitas di luar dirinya. Lebih jauh, media komunikasi sosial menyempitkan ruang lingkup dunia dan menjadikannya serupa “dusun global,” dimana tiada sekat yang bisa membatasi interaksi seseorang dengan pribadi atau realitas-informasi di luar batas negaranya sekalipun. Hilangnya sekat-sekat pembatas itu pun akhirnya memungkinkan arus informasi mengalir cepat lagi deras di hadapan tiap orang. Di tengah arus deras penyebarluasan informasi semacam ini, sejatinya media komunikasi sosial berpeluang besar untuk memperluas cakrawala pengetahuan, menanamkan nilai-nilai kebudayaan, ataupun merubah mentalitas masyarakat secara positif.
3.2.2. Dampak Negatif Media Komunikasi Sosial
“Akan tetapi, justru karena jangkauan pengaruhnya, media komunikasi sosial seakan-akan mencapai titik penampilan kekuasaan yang baru. Mau tak mau, muncullah pertanyaan: siapa sajakah sebenarnya yang memiliki kekuasaan itu, manakah sasaran-sasaran yang ingin mereka capai dan upaya-upaya yang mereka gunakan, dan akhirnya: manakah efek kegiatan mereka atas pengalaman kebebasan perseorangan, di bidang politik maupun ideologi, dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya.”
Perikop ini menampilkan wajah buruk media komunikasi sosial. Justru karena daya pengaruhnya yang begitu luas, media komunikasi tampil menjadi sebentuk kekuasaan yang baru. Kesadaran kritis masyarakat bisa saja dilumpuhkan oleh gencarnya informasi yang disebarluaskan oleh media komunikasi sosial, walau informasi tersebut berisi realitas yang palsu. Tiap orang lantas menjadi pribadi-pribadi yang anonim di tengah pusaran informasi yang ada. Dengan mudah, tiap orang dibentuk dan dipengaruhi pola pikir serta tindakannya seturut dengan apa yang dicitrakan atau diinformasikan oleh media. Sementara itu, di tengah kehausan publik akan informasi, media komunikasi sosial justru bergerak ke arah industrialisasi. Dalam cara berpikir industri, informasi pertama-tama dianggap sebagai barang jualan. Industrialisasi ini pada akhirnya mendorong terbentuknya monopoli kekuasaan melalui pengumpulan dan pendistribusian informasi.Akibat yang tak terhindarkan di sini adalah pemboncengan kepentingan-kepentingan dari sekelompok tertentu yang punya kuasa dalam penyebarluasan informasi!
3.2.3. Tanggung Jawab Moril Media Komunikasi Sosial
“Mereka yang memiliki kekuasaan itu mempunyai tanggung jawab moril yang berat atas kebenaran informasi yang mereka siarkan, kebutuhan-kebutuhan dan reaksi-reaksi yang mereka timbulkan, dan nilai-nilai yang mereka tawarkan. Lagi pula perihal televisi, yang sekarang ini muncul ialah cara pengetahuan yang original dan peradaban yang baru, yakni: pengetahuan melalui gambaran.”
Media komunikasi sosial memiliki sebuah idealisme, yakni memberi informasi yang benar. Setiap bentuk disinformasi atau juga distorsi isi informasi merupakan penyelewengan dari idealisme media tersebut. Lebih jauh, mengingat daya jangkau pengaruhnya yang begitu besar, media komunikasi sosial mengemban tanggung jawab moril yang besar atas informasi yang ia suguhkan pada publik. Sebab, dalam pusaran arus informasi, tempat publik adalah sebagai objek (penerima informasi), sementara media komunikasi sosial berperan sebagai subjek (pemberi informasi). Dalam dikotomi semacam ini, publik lantas dianggap sebagai khalayak yang pasif. Apa yang ditampilkan atau diinformasikan oleh media, itulah yang akan dicerap dan dikonsumsi oleh publik! Sementara itu, secara amat menarik, dalam perikop ini, Octogesima Adveniens memberi perhatian lebih soal televisi. Berbeda dengan media komunikasi sosial lainnya, televisi rupanya dapat menjelajah ruang-ruang kesadaran publik dengan perpaduan tampilan gambar serta suara yang hidup dan memikat.
3.2.4. Peranan Pemerintah
“Tentu saja pemerintah tidak dapat menganggap sepi meningkatnya kekuasaan dan pengaruh media komunikasi sosial, serta keuntungan-keuntungan maupun resiko-resiko yang terletak pada pemakaiannya bagi masyarakat luas dan bagi perkembangan serta penyempurnaannya yang sesungguhnya. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan menjalankan fungsi positifnya sendiri demi kepentingan umum, dengan mendorong setiap siaran atau tayangan konstruktif, dengan mendukung para warga masyarakat dan kelompok-kelompok dalam mempertahankan nilai-nilai asasi pribadi serta masyarakat, pun juga dengan menempuh langkah-langkah yang semestinya, untuk mencegah penyebaran apa pun yang akan merugikan warisan bersama berupa nilai-nilai, yang melandasi kemajuan masyarakat yang serba teratur.”
Perikop ini menggaris bawahi soal campur tangan pemerintah menyangkut keberadaan, peranan, serta pengaruh media komunikasi sosial di tengah masyarakat. Di sini, pemerintrah diharapkan menetapkan regulasi-regulasi yang perlu bagi pengembangan fungsi positif media komunikasi sosial, yakni untuk mendukung kepentingan umum, memberi tayangan yang konstruktif, serta juga melestarikan nilai-nilai dalam masyarakat. Regulasi tersebut merupakan organ administrasi negara yang berfungsi menjaga agar hukum dihormati. Dengan demikian, regulasi dari pemerintah ini sesungguhnya bertujuan untuk mengoptimalkan peran serta fungsi media komunikasi sosial sebagai corong informasi publik!
4. Octogesima Adveniens dan Aplikasinya bagi Media Komunikasi Sosial di Indonesia
4.1. Memperluas Peranan
Octogesima Adveniens tidak menyangkal sumbangsih dan peranan media komunikasi sosial dalam kehidupan masyarakat. Malahan, Octogesima Adveniens merespons secara positif peranan media komunikasi sosial dalam pengembangan kualitas hidup masyarakat. Yang patut digaris bawahi adalah seruan Octogesima Adveniens bagi media komunikasi sosial untuk memberi perhatian lebih pada pendidikan dan kebudayaan. Sampai sejauh ini, dua bidang kehidupan tersebut rupanya tidak menjadi fokus perhatian yang menarik bagi industri media komunikasi sosial di Indonesia. Mengikuti logika pasar, media komunikasi di Indonesia cenderung untuk mencari komersialisasi informasi. Dalam dunia media elektronik, misalnya, komersialisasi siaran tersebut dilihat dari tingginya rating dan banyaknya jumlah iklan yang masuk. Dengan demikian, tayangan-tayangan yang menggali soal pendidikan dan kebudayaan pun kalah dengan tayangan-tayangan lain yang lebih komersil.
Meski demikian, kita patut menyambut gembira hadirnya beberapa media komunikasi yang punya perhatian khusus terhadap masalah pendidikan dan kebudayaan. Di ranah media cetak, kita bisa menyebut nama-nama seperti: Basis, Trubus, Jurnal-jurnal studi, dll. Sementara di media elektronik, kita bisa menyebut judul-judul siaran seperti: Horison, Jejak Petualang, dsb. Masih di ranah media elektronik, beberapa tahun terakhir, kita juga menjumpai munculnya program-program televisi untuk pendidikan, baik yang diselenggarakan untuk konsumsi publik maupun non-publik yang ruang lingkup siarannya terbatas, di sekolah, misalnya.
5.1. Menangkal Pengaruh
Octogesima Adveniens # 20 telah mengingatkan kita bahwa media komunikasi sosial bisa beralih fungsi sebagai bentuk kekuasaan yang baru, dimana tiap informasi disetir untuk meluaskan pengaruh-pengaruh yang melenceng dari tujuan penyampaian informasi itu sendiri. Misalnya, membentuk mentalitas konsumeris. Berhadapan dengan hal ini, kiranya ada dua hal yang mesti kita gagas ulang, yakni soal formasi pendidikan kritis dan intervensi konstruktif pemerintah dalam penyebarluasan informasi.
5.1.1. Formasi Pendidikan Kritis
Formasi pendidikan kritis merupakan usaha penanaman pola pikir kritis dalam menyikapi serbuan arus informasi yang cukup mencengangkan dewasa ini. Melalui formasi pendidikan semacam ini, tiap orang diajak untuk memilah-milah secara tepat mana informasi yang berguna dan yang tidak, pun juga untuk tidak sekadar menerima tiap informasi yang datang sebagai sebuah kebenaran yang mutlak.
Bagaimana formasi pendidikan ini dijalankan? Pertama-tama, formasi pendidikan ini kiranya patut dijalankan dalam sel terkecil masyarakat, yakni keluarga. Melalui pendampingan serta pemilihan program siaran televisi yang tepat, misalnya, masing-masing keluarga menjadi benteng moral terdepan bagi anggota keluarganya yang belum cukup dewasa. Berkaitan dengan hal ini, Paus Paulus Yohanes II, dalam pesannya untuk hari komunikasi dunia ke-38, memberi beberapa catatan kritis: (1) orangtua dipanggil untuk mendidik keturunannya dalam “menggunakan media secara moderat, kritis, waspada, dan bijaksana” dalam keluarga; (2) orangtua juga perlu mengatur penggunaan media dalam keluarga; (3) orangtua hendaknya memberi contoh yang baik kepada anak-anak dengan cara mereka menggunakan media secara selektif dan bijaksana.
Selain kelurga, formasi pendidikan kritis juga bisa dilangsungkan di sekolah, dimana tiap orang dimungkinkan untuk berdiskusi dan berdialektika dengan gagasan-gagasan aposteriori mereka.
5.1.2. Regulasi Pemerintah
Octogesima Adveniens dalam perikop terakhirnya, menggaris bawahi soal peranan pemerintah dalam penyelenggaraan dan pendayagunaan media komunikasi sosial. Peranan pemerintah ini hendaknya tidak diartikan sebagai upaya intervensi untuk membatasi ruang gerak media komunikasi sosial dalam penyebarluasan pesan, melainkan sebuah upaya pendayagunaan demi pencapaian tujuan yang optimal. Di Indonesia, peranan pemerintah tersebut terumus dalam regulasi yang biasa kita kenal sebagai UU Penyiaran/Pers. Lebih jauh, mengingat dampak yang luar biasa lagi kompleks dari media komunikasi sosial, maka perlu juga dipikirkan soal pembentukan komisi mandiri nonpemerintah, yang bertujuan sebagai pengawas cara kerja media-media komunikasi sosial, juga sebagai penjamin kualitas pelayanan publik dalam hak pemenuhan informasi yang benar.
BAB II
PENUTUP
Diskusi mengenai media komunikasi sosial dalam perspektif Octogesima Adveniens pada akhirnya membawa kita pada dikotomi fungsi media komunikasi sosial itu sendiri, yakni fungsi posistif dan fungsi negatif. Kedua hal tersebut seolah-olah tak terpisahkan, bagaikan dua sisi mata uang, dalam realitas media komunikasi sosial. Di samping itu, mengingat bahwa media komunikasi sosial memiliki daya jangkau yang luas dan daya pengaruh yang besar, maka dibutuhkan sebuah usaha bersama, baik dari publik (penerima informasi), pemerintah, ataupun juga si penguasa media (pemberi informasi) untuk mengusahakan media komunikasi menjadi sarana pemenuhan kesejahteraan manusia (bonum commune) serta pengembangan kemajuan masyarakat.
Daftar Pustaka
Tondowidjojo, Dr. John, MA. Perkembangan dan Pengembangan Komunikasi Dewasa Ini. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, 1989.
Danim, Sudarbuan, 1995, Media Komunikasi Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara.
Setijadi 1994 Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran, Rajawali Pers, Jakarta.
Dedi Supriadi, (1997), Kontraversial tentang Dampak Kekerasan Siaran Televisi terhadap Perilaku pemirsanya; Remaja Rosda Karya, Bandung.
isi blognya sangat bermanfaat
oriflame.co.id