Kebijakan Sosial Dan Pengembangan Masyarakaat: Perspektif Pekerjaan Sosial


ABSTRACT
This paper discusses relation between social policy and community development. It basically addresses three paramount questions: Why community development needs to involve social policy? What are the roles of policy makers in community empowerment programmes? What capacities needed by the policy actors in performing their mandate? After highlighting concepts of community development and community organisations, this article then identifies community development tragedies delineating the importance of social policy. Finally, roles and competencies of policy actors conclude this paper.

Key words: social policy, community development, social work

PENDAHULUAN
Banyak disiplin mengklaim memiliki keahlian dalam bekerja dengan individu, keluarga dan kelompok. Namun, hanya sedikit profesi yang memfokuskan pada keberfungsian klien dalam konteks organisasi, masyarakat dan kebijakan, salah satunya adalah pekerjaan sosial (Social Work). Sebagaimana dinyatakan Netting et al. (2004), dalam perspektif pekerjaan sosial konsep “orang-dalam-lingkungan” bukan sekadar slogan yang membuat para pekerja sosial perlu menyadari pengaruh-pengaruh lingkungan, melainkan, memberi pesan jelas bahwa dalam kondisi tertentu perubahan sosial hanya bisa dicapai melalui pengubahan lingkungan dan bukan pengubahan orangnya.
Oleh karena itu, meskipun pengembangan masyarakat (PM) seringkali didasari oleh kebutuhan dan isu-isu yang berkaitan dengan kehidupan individu dan kelompok pada area lokal, PM yang berkelanjutan menekankan pentingnya strategi-strategi kebijakan sosial yang beroperasi melebihi pendekatan-pendekatan individu dan kelompok.

PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Disiplin pekerjaan sosial menetapkan bahwa PM adalah bagian dari strategi praktik pekerjaan sosial makro. Beberapa frase lain yang sering dipertukarkan dengan PM antara lain: Community Organizing (CO), Community Work, Community Building, Community Capacity Building, Community Empowerment, Community Participation, Ecologically Sustainable Development, Community Economic Development, Asset-Based Community Development, Faith-Based Community Development, Political Participatory Development, Social Capital Formation, dst. (Suharto 2006; 2007).
Di jagat pekerjaan sosial, PM seringkali didefinisikan sebagai proses penguatan masyarakat yang dilakukan secara aktif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip keadilan sosial, partisipasi dan kerjasama yang setara (Suharto 2008; Suharto 2006; Ife 1995; Netting et al. 1993; DuBois dan Milley 1992). PM adalah strategi pekerjaan sosial dengan mana anggota masyarakat didorong agar memiliki kepercayaan diri dan kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya. Target utama PM pada umumnya adalah kelompok miskin dan lemah yang tidak memiliki akses kepada sumber pembangunan, meskipun tidak menafikan kelompok lain untuk berpartisipasi.
Tujuan utama PM adalah memberdayakan individu-individu dan kelompok-kelompok orang melalui penguatan kapasitas (termasuk kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan) yang diperlukan untuk mengubah kualitas kehidupan komunitas mereka. Kapasitas tersebut seringkali berkaitan dengan penguatan aspek ekonomi dan politik melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial besar yang bekerja berdasarkan agenda bersama.
PM bukanlah pendekatan “cetak biru” (blueprint), sekali jadi. Melainkan proses yang partisipatif dan berkelanjutan; anggota-anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok-kelompok formal dan informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta mencapai tujuan bersama. Dalam proses ini masyarakat dibantu untuk mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan kesempatan hidup; difasilitasi dalam merancang solusi-solusi yang tepat; serta dilatih agar memiliki kapasitas agar mampu mengakses sumber-sumber yang ada di dalam maupun di luar komunitasnya.
PM mengekspresikan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, akuntabilitas, kesempatan, pilihan, partisipasi, kerjasama dan proses belajar yang berkelanjutan. Pendidikan, pendampingan dan pemberdayaan adalah inti PM. PM berkenaan dengan bagaimana mempengaruhi struktur dan relasi kekuasaan untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang mencegah orang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama Pekerjaan Sosial adalah “making the best of the client’s resources.” Payne (1986: 26) menyatakan:

Whenever a social worker tries to help someone, he or she is starting from a position in which there are some useful, positive things in the client’s life and surroundings which will help them move forward, as well as the problems or blocks which they are trying to overcome. Part of social work is finding the good things, and helping the client to take advantage of them.

Sejalan dengan perspektif kekuatan (strengths perspective), para pekerjasosial tidak boleh memandang klien dan lingkungannya sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa. Melainkan sebagai aktor dan sistem sosial yang memiliki kekuatan positif dan bermanfaat bagi proses pemecahan masalah. Bagian dari pendekatan pekerjaan sosial adalah menemukan sesuatu yang baik dan membantu klien memanfaatkan hal itu.

PENGORGANISASIAN MASYARAKAT
Pengorganisasian masyarakat (Community Organizing/CO) adalah nama lain dari pengembangan masyarakat (Community Development/CD). Saat ini, di negara asal pekerjaan sosial, seperti Inggris dan Amerika Serikat, mata kuliah ini umumnya dinamakan Social Work Macro PracticeCommunity Work,  CD atau CO saja.
Selama puluhan tahun para pendidik dan praktisi pekerjaan sosial diIndonesia selalu menggabungkan konsep CO dan CD secara tandem. Mata kuliah inti pekerjaan sosial di banyak sekolah pekerjaan sosial di Indonesia hingga kini masih menggunakan nama COCD: Community Organization/Organizing and Community Development. Karena demikian populernya maka frase ini nyaris tidak diterjemahkan lagi ke dalam Bahasa Indonesia. Para pengajar pekerjaan sosial di Indonesia seakan merasa berdosa jika tidak menggunakan istilah COCD atau CO/CD secara terintegrasi.
CO pada hakikatnya merupakan sebuah proses dimana warga masyarakat didorong agar bekerjasama untuk bertindak berdasarkan kepentingan bersama. Makna “pengorganisasian” menegaskan segala kegiatan yang melibatkan orang berinteraksi dengan orang lain secara formal. Karenanya, tujuan utama CO adalah mencapai tujuan bersama berdasarkan cara-cara dan penggunaan sumber daya yang disepakati bersama. Banyak program CO yang menggunakan cara-cara populis dan tujuan-tujuan ideal demokrasi partisipatoris. Para aktivis CO atau COworkers biasanya menciptakan gerakan-gerakan dan aksi-aksi sosial melalui pembentukan kelompok massa, dan kemudian memobilisasi para anggotanya untuk bertindak, mengembangkan kepemimpinan, serta relasi di antara mereka yang terlibat.
Meskipun identik, CO sejatinya dapat dibedakan dengan CD. Dalam sejarahnya, CD lebih sering diterapkan pada masyarakat perdesaan di negara-negara berkembang. Karena permasalahan sosial utama di negara ini adalah kemiskinan massal dan struktural, maka dalam praktiknya CD lebih sering diwujudkan dalam bentuk “pengembangan ekonomi masyarakat” atau Community Economic Development (lihat Suharto 2008; 2006; Ife, 1995)PM biasanya difokuskan pada kegiatan-kegiatan pembangunan lokal (locality development) di sebuah permukiman atau wilayah yang relatif kecil. Program-programnya biasanya berbentuk usaha ekonomi mikro atau perawatan kesehatan dasar, pemberantasan buta aksara, peningkatan kesadaran dan partisipasi politik warga yang bersifat langsung dirasakan oleh penduduk setempat.
Sebaliknya, CO lebih sering diterapkan pada masyarakat perkotaan yang relatif sudah maju. CO lebih banyak bersentuhan dengan aspek politik warga, seperti penyadaran hak-hak sipil (civil rights), pembentukan forum warga, penguatan demokrasi, pendidikan warga yang merayakan pluralisme, kesetaraan dan partisipasi publik. PM seringkali melibatkan kegiatan-kegiatan advokasi atau aksi sosial yang melibatkan pengorganisasian masyarakat (CO) dan menuntut adanya perubahan kebijakan publik dan menyentuh konteks politik. Program-programnya bisa berupa perumusan dan pengusulan naskah kebijakan (policy paper) mengenai pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis, pengusulan draft Peraturan Daerah tentang perlindungan sosial warga miskin, advokasi upah buruh yang manusiawi, peningkatan kesadaran akan bahaya HIV/AIDS, pengarusutamaan jender dan kesetaraan sosial, perlindungan anak, penanganan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) dan sebagainya.  
Sebagai ilustrasi, jika CD menanggulangi kemiskinan melalui pemberian kredit dan pelatihan ekonomi mikro, maka, CO menanggulangi kemiskinan dengan mendidik warga agar membentuk organisasi massa atau forum warga, sehingga mereka mampu bertindak melawan status quo, kaum pemodal, rentenir, atau kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak adil dan menindas. Tentu saja, pembedaan antara CD dan CO tidak bersifat absolut. Dalam kenyataan dan pada kasus-kasus tertentu, percampuran pendekatan keduanya sangat mungkin terjadi di antara berbagai kategori masyarakat. Pendekatan CO dan CD akan digabungkan dan hanya akan dipakai istilah PM saja. Selain konsep ini lebih populer, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, konsep PM lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik mereka.

TRAGEDI PM
Dalam buku “Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat” (Suharto, 2006), penulis berargumen bahwa satu tragedi dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah bahwa pendekatan yang diterapkan seringkali terlalu terkesima oleh, untuk tidak menyatakan sangat mengagungkan, konteks lokal. Sistem sosial yang lebih luas yang menyangkut pembangunan sosial, Kebijakan Sosial, relasi kekuasaan, ketidakadilan jender, ekslusifisme, pembelaan hak-hak publik dan kesetaraan sosial seringkali kurang mendapat perhatian.
Seakan-akan komunitas lokal merupakan entitas sosial yang vacuum dan terpisah dari dinamika dan pengaruh sistem sosial yang mengitarinya. Penyempitan makna pemberdayaan masyarakat semacam ini, antara lain, bisa dilihat dari dominannya program-program PM yang bermatra usaha ekonomi produktif berskala mikro, seperti “warungisasi” (setiap kelompok sasaran atau warga binaan dilatih atau diberi modal agar dapat membuka warung) atau “kambingisasi” (pemberian kambing kepada kelompok miskin untuk dikelola secara kelompok). Suharto (2006) menyatakan:
Tidak ada yang salah dengan pendekatan lokalisme seperti itu. Hanya saja, tanpa perspektif holistik yang memadukan kegiatan-kegiatan lokal dengan analisis kelembagaan dan kebijakan sosial secara terintegrasi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bukan saja akan kurang efektif, melainkan pula tidak akan berkelanjutan. Diibaratkan dengan analogi “ikan dan pancing”, maka meskipun kelompok sasaran (target group) diberi ikan dan pancing sekalipun, mereka tidak akan berdaya jika seandainya kolam dan sungai yang ada di seputar mereka telah dikuasai oleh elit atau kelompok kuat.

Selain karena “jebakan lokalitas” di atas, kegagalan PM juga bisa disebabkan oleh adanya bias-bias yang menghinggapi perencanaan dan pelaksanaan PM. Merujuk pada pengalaman Robert Chambers di beberapa negara berkembang yang dikemas dalam bukunya Rural Development: Putting the Last First (1985) dan pengalaman penulis yang dibukukan dalam “Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia” (Suharto 2004), ditemukan sedikitnya 10 bias dalam PM, yaitu:
1.       Bias perkotaan. PM cenderung banyak dilaksanakan di wilayah perkotaan. Sementara itu daerah-daerah perdesaan seringkali terabaikan.
2.       Bias jalan utama. PM lebih banyak dilakukan di wilayah-wilayah yang dekat dengan jalan utama. Daerah-daerah terpencil yang jauh dari jalan raya kurang menarik perhatian karena sulit dijangkau dan kurang terekspos media massa.
3.       Bias musim kering. Masyarakat seringkali mengalami masalah kekurangan pangan dan penyebaran penyakit pada saat musim hujan dan banjir. Namun, program-program PM kerap dilakukan pada saat musim kering ketika mobil para “development tourist” mudah menjangkau lokasi dan sepatu mengkilat mereka tidak mudah terperosok lumpur.
4.       Bias pembangunan fisik. Donor dan aktivis PM lebih menyukai melaksanakan program pembangunan fisik yang mudah terukur dari pada pembangunan manusia.
5.       Bias modal finansial. Saat melakukan needs assessment dan Participatory Rural Appraissal (PRA), baik anggota masyarakat maupun para aktivis PM tidak jarang terjebak pada pemberian prioritas yang tinggi pada perlunya penguatan modal finansial (kredit mikro, simpan pinjam). Padahal dalam kondisi modal sosial yang tipis, kemungkinan terjadinya korupsi, pemotongan dana dan pemalsuan nama orang-orang miskin, sangat besar.
6.       Bias aktivis. Program PM seringkali diberikan pada “orang-orang itu saja” yang relatif lebih menonjol dan aktif dalam menghadiri pertemuan, mengemukakan pendapat dan mengikuti berbagai kegiatan di wilayahnya. Kecenderungan kepada “good persons” ini menyebabkan “silent majority” menjadi terabaikan.
7.       Bias proyek. Program PM diterapkan berulangkali pada wilayah-wilayah yang sering menerima proyek, karena dianggap telah mampu menjalankan kegiatan dengan baik. Daerah-daerah yang dikategorikan “good locations” ini biasanya menjadi target rutin pelaksanaan proyek-proyek percontohan.
8.       Bias orang dewasa. Anak-anak dan kelompok lanjut usia yang pada umumnya dianggap kelompok “minoritas” jarang tersentuh program PM. Mereka jarang dilibatkan dalam identifikasi kebutuhan dan perencanaan program, apalagi dimasukan sebagai penerima program.
9.       Bias laki-laki. Di daerah-daerah terpencil di Indonesia, laki-laki pada umumnya lebih sering terlibat dalam kegiatan PM ketimbang perempuan.
10.   Bias orang “normal”Para penyandang cacat, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus jarang tersentuh program PM. Mereka dipandang kelompok yang tidak “normal”.

KEBIJAKAN SOSIAL DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Mengatasi tragedi PM tidak bisa dilakukan melalui perbaikan-perbaikan PM secara parsial. Melainkan, memerlukan perumusan dan pengembanganflatform kebijakan dalam tataran yang lebih luas dan holistik. Perumusan Kebijakan Sosial yang tepat merupakan strateginya. Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.
Menurut Bessant et al. (2006): “In short, social policy refers to what governments do when they attempt to improve the quality of people’s life by providing a range of income support, community services and support programs.” Artinya, Kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya (lihat Suharto 2008).
Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan (lihat Midgley 2000; Suharto 2008). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan. Dalam perspektif yang lain, hukum bisa juga dipisahkan dari kebi jakan. Hukum dipandang sebagai fondasi atau landasan konstitusional bagi kebijakan sosial. Dalam konteks ini, kebijakan dirumuskan berdasarkan amanat konstitusi. Di Indonesia, sebagai ilustrasi, kebijakan sosial yang berka itan dengan program-program pembangunan kesejahteraan, seperti rehabilitasi sosial, jaminan sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan sosial dirumuskan dengan merujuk pada UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Meskipun tidak harus berlaku di setiap konteks, Gambar 1 memberi petunjuk bahwa kebijakan sosial bisa pula dibedakan dengan kebijakan lembaga dan praktik aktual. Kebijakan sosial bisa dijadikan rujukan oleh sebuah lembaga untuk merumuskan kebijakan lembaga yang kemudian dioperasionalkan da lam bentuk praktik aktual yang diterapkan di lembaga tersebut. Program-program PM bisa dilihat sebagai luaran (output) dari kebijakan lembaga, kebijakan sosial atau pun perundang-undangan.

PEMAIN KEBIJAKAN
Di negara-negara Barat, kebijakan sosial sebagian besar menjadi tanggungjawab pemerintah (Suharto 2006; 2008). Ini dikarenakan sebagian besar dana untuk kebijakan sosial dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia dan Norwegia serta negara-negara Eropa Barat seperti Belanda, Jerman, Inggris dan Prancis, pelayanan-pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan medis untuk segala kelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orang kaya maupun miskin) (Suharto 2009).
Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh Tabel 1, terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government(pemerintahan) ke governance (tata kepemerintahan), kebijakan sosial dipandang bukan lagi sebagai urusan yang didominasi pemerintah (Suharto 2006; 2008). Makna publik juga bergeser dari ‘penguasa orang banyak’ yang diidentikkan dengan pemerintah, ke ‘bagi kepentingan orang banyak’ yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru dan aktor yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya kebijakan sosial dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikannnya demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi.

Tabel 1  Pergeseran paradigma dalam formulasi kebijakan publik
Aspek
Government
Governance
Proses Perumusan Kebijakan
Pemerintah
§    Pemerintah
§    Stakeholder
§    Analis Kebijakan
§    IndependentThinkThank
Penetapan Kebijakan
Pemerintah
Pemerintah
Analisis Kebijakan
§   Pemerintah
§   Public Contractor
§   Government Think Thank
§     Stakeholder
§     Analis kebijakan
§     Independent Think Thank
Sumber: Suharto (2006

Sebagai kebijakan negara, perumusan kebijakan publik pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik. Namun demikian, dalam beberapa aspek warga negara secara individu bisa berpartisipasi, terutama dalam memberikan masukan mengenai isu-isu publik yang perlu direspon oleh pemegang kebijakan.Para pemain kebijakan yang terlibat dalam perumusan kebijakan berbeda antara negara maju dan berkembang (Winarno 2004). Struktur pembuatan kebijakan di negara-negara maju, seperti Eropa Barat dan Amerika Serikat, relatif lebih kompleks dari pada di negara-negara berkembang (Suharto 2008). Proses perumusan kebijakan di negara-negara maju juga lebih responsif dalam merespon kebutuhan dan aspirasi warga negara. Selain karena prinsi-prinsip good governance telah berjalan efektif (KKN di kalangan pemerintah dan anggota dewan sangat rendah), setiap penduduk pada umumnya telah memiliki kesadaran tinggi terhadap hak-hak politik warga negara. Mereka mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik dan sedapat mungkin ambil bagian dalam proses perumusannya. Di Swiss dan negara bagian California, warga negara secara individu memiliki peran dalam pembuatan undang-undang dan suara mereka sangat menentukan dalam amandemen konstitusi (Winarno 2004). Di negara-negara berkembang, seperti Kuba, Korea Selatan dan Indonesia, perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat relatif kecil (Suharto 2008).
Kebijakan sosial memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan program PM (Suharto 2009). Sesuai dengan prinsip pemberdayaan, PM sangat perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik yang kuat. Dalam konteks ini, peranan perumus atau pembuat kebijakan seringkali diwujudkan bukan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Melainkan, sebagai aktor yang memungkinkan terciptanya lingkungan kondusif, sistem yang adil, dan program-program sosial yang holistik, termasuk memungkinkan terjadinya penguatan partisipasi rakyat dalam proses perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi program PM.
Para pembuat kebijakan biasanya terlibat dalam menciptakan situasi dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pembuat kebijakan juga berusaha untuk membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang lebih luas. Karenanya, mereka harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana mempengaruhi posisi-posisi masyarakat dalam konteks lembaga-lembaga sosial yang lebih luas.

KOMPETENSI
Menurut perspektif pekerjaan sosial, PM sangat memperhatikan keterpaduan antara sistem klien dengan lingkungannya. Sistem klien dapat bervariasi, mulai dari individu, keluarga, kelompok kecil, organisasi, sampai masyarakat (Suharto 2009). Sementara itu sistem lingkungan dapat berupa keluarga, rukun tetangga, tempat kerja, rumah sakit dll. Dalam PM, pekerja sosial menempatkan masyarakat sebagai sistem klien dan sistem lingkungan sekaligus.
Karenanya, pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh perumus kebijakan yang terlibat dalam PM idealnya perlu mencakup pengetahuan tentang masyarakat, organisasi sosial, perkembangan dan perilaku manusia, dinamika kelompok, program sosial, dan pemasaran sosial (social marketing). Seperti diungkapkan oleh Mayo (1994), para pekerja sosial yang terlibat dalam perumusan kebijakan perlu memiliki pengetahuan mengenai latar belakang sosial, ekonomi dan politik dimana mereka bekerja:
The socio-economic and political backgrounds of the areas in which they are to work, including knowledge and understanding of political structures, and of relevant organisations and resources in the statutory, voluntary and community sectors. And they need to have knowledge and understanding of equal opportunities policies and practice, so that they can apply these effectively in every aspect of their work.
Perumus kebijakan juga memerlukan pengetahuan mengenai model-model analisis kebijakan sosial, sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktik pekerjaan sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktik perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan perumahan.
Keterampilan yang perlu dikuasai meliputi keterampilan interview, relasi sosial, studi sosial, pengumpulan dan pengorganisasian dana, pengembangan dan evaluasi program, serta identifikasi kebutuhan (needs assessment) (Suharto 2006). Dengan demikian, perumus kebijakan aosial perlu memiliki kompetensi profesional yang saling melengkapi (Suharto 2006) seperti:
1.       Engagement (cara melakukan kontak, kontrak dan pendekatan awal dengan beragam individu, kelompok dan organisasi).
2.       Assessment (cara memahami dan menganalisis masalah dan kebutuhan klien, termasuk assessment kebutuhan dan profile wilayah).
3.       Penelitian (cara mengumpulkan dan mengidentifikasi data sehingga menjadi informasi yang dapat dijadikan dasar dalam merencanakan pemecahan masalah atau mengembangkan kualitas program).
4.       Groupwork (bekerja dengan kelompok-kelompok yang dapat dijadikan sarana pemecahan masalah maupun dengan kelompok-kelompok kepentingan yang bisa menghambat atau mendukung pencapaian tujuan program pemecahan masalah).
5.       Negosiasi (bernegosiasi secara konstruktif dalam situasi-situasi konflik).
6.       Komunikasi (dengan berbagai pihak dan lembaga).
7.       Konseling (melakukan bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat dengan beragam latar kebudayaan)
8.       Manajemen sumber (memobilisasi sumber-sumber yang ada di masyarakat, termasuk manajemen waktu dan aplikasi-aplikasi untuk memperoleh bantuan).
9.       Pencatatan dan pelaporan terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan monitoring dan evaluasi program.

DAFTAR PUSTAKA
Barker RL. 1987The Social Work DictionarySilver SpringMD: National Association of Social Workers.
Chambers R. 1984Rural Development: Putting the Last First. Harlow: Longman.
Chambers R1985Rural Development: Putting the Last First. London: Longman.
DuBois B, Miley KK.  1992. Social Work: An Empowering ProfessionBoston: Allyn and Bacon.
Ife J1995Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice. Mellbourne: Longman.
Lee J dan Swenson C. 1986 “The Concept of Mutual Aid”, dalam A. Gitterman dan L. Schulman (eds), Mutual Aid and the Life CycleItasca: F. E. Peacock.
Mayo M. 1998. “Community Work”, dalam Adams, Dominelli dan Payne (eds),Social Work: Themes, Issues and Critical Debates. London: McMillan.
Netting  FE, Kettner PM, McMurtry SL. 2004Social Work Macro Practice (third edition). Boston: Allyn and Bacon.
Parsons RJorgensen JD, Hernandez SH. 1994The Integration of Social Work Practice. California: Brooks/Cole.
Payne M1986Social Care in The CommunityLondon: MacMillan.
Suharto E.  2007Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) (edisi ke-2).Bandung: Alfabeta.
Suharto E. 2004Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial: Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia. Bandung: STKS Press.
Suharto E. 2006Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (edisi ke-2). Bandung: Refika Aditama.
Suharto E. 2007Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (edisi ke-4). Bandung: Alfabeta.
Suharto E2008Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Suharto E. 2009Kemiskinan dan Perlindungan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Winarno B. 2004Teori dan Proses Kebijakan Publik (cetakan kedua).Yogyakarta: Media Pressindo.

0 komentar:

Posting Komentar