(Tadabur QS Ali Imron Ayat 146)
Dakwah adalah sebuah perjalanan panjang yang takkan pernah sepi dari rintangan dan cobaan bagi mereka yang melaluinya. Usianya lebih panjang dari penyeru dakwah itu sendiri. Para Rosul dan Nabi yang telah merintis dan melaluinya telah memberikan banyak pelajaran bagi mereka yang meneruskan estafet dakwah ini. Al-Quranpun telah mengabadikan risalah panjang ini.
Rintangan dan ujian dalam berjuang di jalan dakwah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari bahkan lari darinya. Ia pasti akan menghampiri, jangan pernah berhenti, karena para nabi dan pengikutnya tak pernah berhenti ataupun lemah karena rintangan ini.
Nabi Nuh telah menghadapi cacian kaumnya, nabi Ibrahim dibakar dalam nyala api, nabi Isa dimusuhi, bahkan nabi Muhammad SAW mendapat ancaman dibunuh setelah sering kali mendapat cacian, hinaan dan penyiksaan. Tak ada satupun dari mereka yang bergeming, ataupun lemah lalu berhenti dalam dakwahnya kecuali tetap kokoh dan semakin gigih dalam mengajak untuk menyembah Allah SWT semata.
Allah swt berfirman :
وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
Di dalam ayat yang saat ini kita tadaburi memberikan sebuah pelajaran dalam sebuah perjuangan. Dalam perjuang para rasul dan para pengikutnya, mereka tidak pernah berputus asa, menjadi lemah ataupun berhenti dalam dakwah atas cobaan yang menimpah mereka. Di dalam ayat ini ada 3 sifat yang menjadi duri di jalan dakwah, sifat yang mesti diwaspadai oleh para dai penyeruh kebenaran sehingga mereka tidak terjatuh dalam golongan orang-orang yang berjatuhan di jalan dakwah.
Sifat pertama adalah: sifat wahn (Famaa wahanu). Sifat wahn dapat diartikan seperti dalam sebuah hadist ketika para sahabat bertanya kepada Rosulullah tentang sebuah penyakit wahn: “Wama al-wahn ya Rosulallah?” Rasulullah menjawab :”Hubbuddunya wa karohiyatul maut”. Wahn adalah sifat cinta dunia dan takut mati. Sifat wahn banyak membuat para penyeruh dakwah berguguran, boleh jadi karena tidak kuat atas siksaan, ataupun godaan dunia yang melenahkan. Seorang yang telah memasuki arena dakwah dalam pertarungan hak dan kebatilan akan dihadapkan dengan hal ini. Sekali lagi sejarah telah menceritakan itu. Bukankah Rasulullah juga ditawari harta yang bergelimang? Tawaran untuk menjadi penguasa di jazirah arab? Serta dijanjikan wanita arab yang paling mempesona (ajmalu nisail ‘arob)? Asalkan Rasul meninggalkan dakwahnya. Namun jawaban yang Rasulullah katakan: “Kalaupun sekiranya mereka meletakkan matahari ditangan kananku dan rembulan ditangan kiriku niscaya aku tidak akan meninggalkan dakwah ini”.
Sifat kedua adalah: (Wama dho’ufu) atau sifat dho’f yaitu sifat lemah. Tentulah sebuah keharusan ketika sebuah kebenaran berteriak lantang dan mulai menyadarkan kebisuan dan keterlenaan banyak orang, dakwah akan berhadapan dengan sebuah kekuatan yang akan menghadangnya. Begitulah ketika Fir’aun menghadang dakwah nabi Musa, begitulah ketika Abu Jahal dan Abu Lahab menghalang-halangi dakwah Rosulullah. Begitulah Gamal Abdul Naser menghalangi dakwah Al-Banna dan Ikhwan. Namun mereka tidak pernah merasa lemah atas apa yang menimpa mereka. Inilah pelajaran penting dari dakwah bahwa sifat tsabat adalah sebuah keharusan yang harus dimiliki bagi pengembannya.
Sifat ketiga adalah: (Wamastakanu) adalah sifat istikan, yaitu sifat berdiam diri. Wamastkaanu: Mereka tidak pernah berdiam diri, para dai terus bergerak di tengah kesulitan dan cobaan. Seorang dai sejati tidak pernah menunggu panggilan untuk berdakwah. Bagaimana mungkin ia akan bisa berdiam sedangkan kemungkaran berada di sekelilingnya. Ketika dakwah belum juga menampakkan hasilnya, maka tidaklah membuat dai kemudian berdiam diri, karena yang dituntut darinya bukanlah hasil. Namun yang dipinta darinya hanyalah amal, sedangkan hasil adalah urusan Allah semata.
Ketiga hal di atas : Wahn, dho’f dan istikan hendaklah mesti dihindari dan dibuang jauh-jauh dari kamus para dai. Maka dari itu untuk menjaga kualitas ruhiyah agar tetap tsabat para pejuang dakwah hendaklah tidak bosan-bosan untuk mengulang-ulang sebuah doa yang juga diucapkan oleh para nabi dan pengikutnya, dalam ayat selanjutnya, ayat 147 disebutkan : Robbanaa ighfir lana dzunubanaa wa isrofanaa fii amrinaa wa tsabbit aqdaamanaa wanshurna ‘alal qoumil kafiriin”. Artinya: Wahai Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami, dan sikap berlebihan kami dalam urusan kami, kuatkanlah langkah kaki kami, dan tolonglah kami atas orang-orang yang kafir”.
Semoga Allah menguatkan langkah kita dalam menapaki jalan dakwah ini. Tsabat atas ujian dan rintangan yang menghadang di atas jalan ini. Amiin. Wallahu a’lam bishowab.
Washolallhu ‘ala muhammadin wa ‘ala alihi wa shohbihi wasallam
Posting Komentar