KEBERAGAMAN BUDAYA INDONESIA DALAM KE-BHINEKA TUNGGAL IKAAN


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki keberagaman suku,agama,ras,budaya dan bahasa daerah. Indonesia meliliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Suku bangsa merupakan bagian dari suatu negara. Dalam setiap suku bangsa terdapat kebudayaan yang berbeda-beda.selain itu masing-masing suku bangsa juga memiliki norma sosial yang mengikat masyarakat di dalamnya agar ta’at dan melakukan segala yang tertera didalamnya. Setiap suku bangsa di indonesia memiliki norma-norma sosial yang berbeda-beda.

2.      Rumusan Masalah
1)      Keberagaman Budaya Indonesia
2)      Pentingnya Persatuan Dalam Keragaman

3.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu agar kita dapat lebih mengenal dan mengetahui keragaman budaya yang ada di Indonesia. Meskipun kita berbeda dalam hal kebudayaan kita tetap lah satu Indonesia. Seperti semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan  semboyan bangsa kita yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman. Walaupun kita terdiri atas berbagai suku yang beranekaragam budaya daerah, namun kita tetap satu bangsa Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia adalah potret sebuah negara yang memiliki keragaman budaya yang lengkap dan bervariasi. Bangsa indonesia mempunyai bermacam-macam suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai ciri-ciri kebudayaannya tersendiri yang sesuai dengan latar belakang masing-masing.
Pada setiap daerah, Indonesia mempunyai corak dan budaya masing-masing yang memperlihatkan ciri khasnya. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai bentuk kegiatan sehari-hari, misalnya upacara ritual, pakaian adat, bentuk rumah, kesenian, bahasa, dan tradisi lainnya. Contohnya adalah pemakaman daerah Toraja, mayat tidak dikubur dalam tanah tetapi diletakkan dalam goa. Di daerah Bali, mayat dibakar(ngaben).
Kebudayaan daerah adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat suatu daerah. Pada umumnya, kebudayaan daerah merupakan budaya asli dan telah lama ada serta diwariskan turun-temurun kepada generasi berikutnya. Kebudayaan kita sekarang ini sebenarnya merupakan hasil pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan masa lampau.
Indonesia sebagai Negara Kesatuan yang berdaulat, telah memiliki sejarah budaya yang cukup panjang dan membanggakan, sejak proklamasi kemerdekaan tangal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia dikenal di masyarakat dunia sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan budaya luhur.
Bangsa kita terdiri dari bermacam - macam suku bangsa. Di Indonesia ini terdapat lebih dari 300 kelompok suku bangsa. .Berikut ini contoh suku bangsa yang ada di Indonesia.
Suku Bangsa Aceh , Suku Bangsa Batak , Suku Bangsa Minangkabau , Suku Bangsa Melayu , Suku Bangsa Kubu , Suku Bangsa Betawi , Suku Bangsa Sunda , Suku Bangsa Banten , Suku Bangsa Baduy , Suku Bangsa Jawa , Suku Bangsa Madura ,Suku Bangsa Bali , Suku Bangsa Sasak,Suku Bangsa Sumba ,Suku Bangsa Bima, Suku Bangsa Manggarai , Suku Bangsa Bajawa, Suku Bangsa Ende, Suku Bangsa Rote, Suku Bangsa Dayak, Suku Bangsa Banjar ,Suku Bangsa Minahasa, Suku Bangsa Bugis, Suku Bangsa Toraja, Suku Bangsa Ambon, Suku Bangsa Ternate ,Suku Bangsa Papua.
suku - suku bangsa yang disebutkan di atas baru sebagian kecil saja. Masih banyak suku bangsa lain yang belum disebut.

1.      KERAGAMAN BUDAYA
Kita sudah mempelajari keragaman suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa memiliki adat istiadat dan budaya sendiri. Budaya dan adat istiadat daerah dapat kita jumpai dalam hidup sehari - hari. Maka terbentuklah bermacam - macam adat istiadat dan budaya sendiri. Mari kita bahas bentuk - bentuk keragaman budaya bangsa Indonesia dalam aspek - aspek berikut.
a.      Bahasa Daerah
Setiap suku bangsa mempunyai bahasa daerah yang khas. Ada bahasa Jawa, bahasa Minangkabau, bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Madura, dan sebagainya.
b.      Adat Istiadatnya
Ada bermacam - macam adat istiadat. Contohnya upacara adat yang dipakai waktu orang menikah, waktu orang melahirkan, waktu orang meninggal, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kadang - kadang, upacara - upacara ini dipadukan dalam agama yang dianut masyarakat. Meskipun berbeda - beda, adat istiadat ini menunjukkan kekayaan budaya yang sangat indah yang dimiliki bangsa Indonesia.
c.       Bentuk Rumah Adat
Bentuk rumah suku - suku bangsa yang ada di Indonesia juga bermacam - macam. Misalnya:
  • Rumah adat Sumatera Barat disebut Rumah Gadang.
  • Rumah adat Jawa Tengah dan Yogyakarta disebut Rumah Joglo.
  • Rumah adat Sulawesi Utara disebut Rumah Pewaris.
  • Rumah adat suku Toraja disebut Rumah Tongkanan.
  • Rumah Betang di Kalimantan Tengah.
  • Rumah Lobo di Sulawesi Tengah.
d.      Kesenian Daerah
Ada bermacam-macam kesenian daerah, misalnya alat musik, tarian, lagu, dan seni pertunjukan. Berikut ini beberapa contoh alat musik daerah.
  • Alat musik Gamelan (Jawa).
  • Alat musik Kolintang (Minahasa).
  • Alat musik Calung dan Angklung (Jawa Barat).
  • Alat musik Sasando (Kupang).
  • Alat musik Gambang Kromong (Betawi).
e.       Pakaian Adat
Selain fungsi utamanya sebagai penutup tubuh, pakaian juga menunjukkan budaya suatu daerah. Berbagai suku bangsa memiliki pakaian tradisionalnya sendiri.
f.       Senjata Tradisional
Setiap daerah mempunyai senjata tradisionalnya sendiri - sendiri. Misalnya:
  • Badik, Golok, Trisula, Keris, dan Tombak sering dipakai orang Betawi
  • Rencong adalah senjata tradisional dari Aceh
  • Kujang adalah senjata tradisional dari Jawa Barat
  • Keris adalah senjata tradisional dari Jawa
g.      Makanan Khas Daerah
  • Makanan khas orang Betawi antara lain Gado - gado, Ketoprak, Nasi Uduk, dan Kerak Telor.
  • Masyarakat Maluku memiliki makanan khas yang disebut Dabudabu Sesi.
  • Masyarakat Yogyakarta memiliki makanan khas yang disebut Gudeg.
  • Masyarakat Palembang memiliki makanan khas yang disebut Pempek.
  • Masyarakat Sumatera Barat memiliki makanan khas yang disebut Rendang.
h.      Lagu - Lagu Daerah
Setiap daerah di nusantara ini memiliki berbagai lagu tradisional. Misalnya:
  • Gambang Suling dan Ilir - ilir dari Jawa Tengah.
  • Bubuy Bulan adalah lagu tradisional dari Jawa Barat.
  • Injit - injit Semut adalah lagu tradisional dari Jambi.
  • Sapu Tangan Bapuncu adalah lagu tradisional dari Kalimantan Selatan.
  • Soleram adalah lagu tradisional dari Riau.
  • Ampar - ampar Pisang dari Kalimantan Selatan.
  • Kalayar dan Tumpi Wayu dari Kalimantan Tengah.
  • Angin Mamiri dari Sulawesi Selatan.
  • Apuse dan Yamko Rambe Yamko dari Papua
  • Bungeng Jeumpa dari Nangroe Aceh Darussalam.
  • Burung Tentiana dan O Ulate dari Maluku.
  • Sinanggar Tulo dari Sumatera Utara.
  • Kicir-kicir dan Keroncong Kemayoran dari Jakarta.
i.        Cerita rakyat
Cerita rakyat merupakan cerita yang berkembang turun temurun di masyarakat. Cerita rakyat ada yang merupakan sejarah ada pula yang merupakan karangan. Cerita rakyat yang merupakan karangan biasanya tidak diketahui pengarangnya. Contoh cerita rakyat antara lain Sangkuriang (Jawa Barat), Malinkundang (Minangkabau), Putri Cendana (Nusa Tenggara), Kleting Kuning dan Keong Emas (Jawa).
2.      PENTINGNYA PERSATUAN DALAM KERAGAMAN
Banyaknya perbedaan kebudayaan dalam suku bangsa bisa menjadi sunber-sunber untuk dapat menyebabkan terjadinya konflik antara suku-suku bangsa dan golongan pada umumnya dalam negara-negara yang berkembang seperti negara Indonesia, ada paling sedikit lima macam:
1.      Konflik bisa terjadi kalo warga dari dua suku-bangsa masing-masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama.
2.      Konflik bisa terjadi kalo warga dari satu suku-bangsa mencoba memaksakan unsur-unsur dari kebudayaannya kepada warga dari suatu suku-bangsa lain.
3.      Konflik yang sama dasrnya, tetapi lebih fanatik dalam wujudnya, bisa terjadi kalo warga dari satu suku bangsa mencoba memaksakan konsep-konsep agamanya terhadap warga dari suku-bangsa lain yang berbeda agama.
4.      Konflik terang akan terjadi kalau satu suku-bangsa berusaha mendominasi suatu suku-bangsa lain secara politis.
5.      Potensi konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat.
Potensi untuk bersatu atau paling sedikit untuk bekerjasama tentu ada dalam tiap-tiap hubungan antara suku bangsa dan golongan. Potensi itu ada dua, yaitu:
1.      Warga dari dua suku-bangsa yang berbeda dapat saling bekerjasama secara sosial-ekonomis, kalu mereka masing-masing bisa mendapatkan lapangan-lapangan mata pencaharian hidup yang berbeda-beda dan yang saling lenglap-melengkapi. Dalam keadaan saling butuh-membutuhkan itu, akan berkembang suatu hubungan , yang di dalam ilmu antropologi sering disebut dengan hubungan simbiotik. Dalam hal itu sikap warga dari satu suku-bangsa terhadap yang lain dijiwai oleh suasana toleransi.
2.      Warga dari dua suku-bangsa yang berbeda dapat juga hidup berdampingan tanpa konflik, kalau ada orientasi ke arah suatu golongan ketiga, yang dapat menetralisasi hubungan antara kedua suku-bangsa tadi.
Realitas suatu bangsa yang menunjukkan adanya kondisi keanekaragaman budaya, menga­rahkan pada pilihan untuk menganut asas multi­kulturalisme. Dalam asas multikultu­ralisme ada kesadaran bahwa bangsa itu tidak tunggal, tetapi terdiri atas sekian banyak komponen yang berbeda. Multikluturalisme menekankan prinsip tidak ada kebudayaan yang tinggi dan tidak ada kebudayaan yang rendah di antara keragaman budaya tersebut. Semua kebudayaan pada prinsipnya sama-sama ada dan karena itu harus diperlakukan dalam konteks duduk sama rendah dan berdiri  sama tinggi
Asas itu pulalah yang diambil oleh Indonesia, yang kemudian dirumuskan dalam semboyan yaitu “bhineka tunggal ika.
“Bhinneka Tunggal Ika” merupakan alat pemersatu bangsa.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa kita yang mengungkapkan persatuan dan kesatuan yang berasal dari keanekaragaman. Walaupun kita terdiri atas berbagai suku yang beranekaragam budaya daerah, namun kita tetap satu bangsa Indonesia, memiliki bahasa dan tanah air yang sama, yaitu bahasa Indonesia dan tanah air Indonesia. Begitu juga bendera kebangsaan merah putih sebagai lambang identitas bangsa dan kita bersatu padu di bawah falsafah dan dasar negara Pancasila.
Realitas historis menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berdiri tegak di antara keragaman budaya yang ada. Salah satu contoh nyata yaitu dengan dipilihnya bahasa Melayu sebagai akar bahasa persatuan yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia. Dengan kesadaran yang tinggi semua komponen bangsa menyepakati sebuah konsensus bersama untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang dapat mengatasi sekaligus menjembatani jalinan antarkomponen bangsa.
Adat istiadat, kesenian, kekerabatan, bahasa, dan bentuk fisik yang dimiliki oleh suku-suku bangsa yang ada di Indonesia memang berbeda, namun selain perbedaan suku-suku itu juga memiliki persamaan antara lain hukum, hak milik tanah, persekutuan, dan kehidupan sosialnya yang berasaskan kekeluargaan.
Untuk dapat bersatu kita harus memiliki pedoman yang dapat menyeragamkan pandangan kita dan tingkah laku kita dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, akan terjadi persamaan langkah dan tingkah laku bangsa Indonesia. Pedoman tersebut adalah Pancasila, kita harus dapat meningkatkan rasa persaudaraan dengan berbagai suku bangsa di Indonesia.
Membiasakan bersahabat dan saling membantu dengan sesama warga yang ada di lingkungan kita, seperti gotong royong akan dapat memudahkan tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan sehati dalam kekuatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah.
Dalam pandangan Koentjaraningrat (1993:5) Indonesia dapat disebut sebagai negara plural terlengkap  di dunia di samping negara Amerika. Di Amerika dikenal semboyan et pluribus unum, yang mirip dengan bhineka tunggal ika, yang berarti  banyak namun hakikatnya satu.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika memang menjadi sangat penting ditengah beragamnya adat dan budaya Indonesia. Menjadi barang percuma, apabila semboyan penuh makna tersebut hanya menjadi pelengkap burung garuda penghias dinding. Bhineka Tunggal Ika bermakna berbeda beda tetapi tetap satu jua, sebuah semboyan jitu yang terbukti berhasil menyatukan bangsa dengan sejuta suku, bangsa yang kaya akan ideologi, menjadi sebuah bangsa yang utuh dan merdeka.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan alat pemersatu bangsa. Untuk itu kita harus benar-benar memahami maknanya. Negara kita juga memiliki alat-alat pemersatu bangsa yang lain, yakni:
1. Dasar Negara Pancasila
2. Bendera Merah Putih sebagai bendera kebangsaan
3. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan
4. Lambang Negara Burung Garuda
5. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
6. Lagu-lagu perjuangan
Masih banyak alat-alat pemersatu bangsa yang sengaja diciptakan agar persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga. Bisakah kamu menyebutkan yang lainnya? Persatuan dalam keragaman memiliki arti yang sangat penting. Persatuan dalam keragaman harus dipahami oleh setiap warga masyarakat agar dapat mewujudkan hal-hal sebagai berikut :
1. Kehidupan yang serasi, selaras dan seimbang
2. Pergaulan antarsesama yang lebih akrab
3. Perbedaan yang ada tidak menjadi sumber masalah
4. Pembangunan berjalan lancar
Adapun sikap yang perlu dikembangkan untuk mewujudkan persatuan dalam keragaman antara lain:
1. Tidak memandang rendah suku atau budaya yang lain
2. Tidak menganggap suku dan budayanya paling tinggi dan paling baik
3. Menerima keragaman suku bangsa dan budaya sebagai kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya
4. Lebih mengutamakan negara daripada kepentingan daerah atau suku masing-masing
Kita mesti bangga, memiliki suku dan budaya yang beragam. Keragaman suku dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya. Bangsa asing saja banyak yang berebut belajar budaya daerah kita. Bahkan kita pun sempat kecolongan, budaya asli daerah kita diklaim atau diakui sebagai budaya asli bangsa lain. Karya-karya putra daerah pun juga banyak yang diklaim oleh bangsa lain.
TENTANG MAKALAH
Makalah ini membahas tentang keberagaman budaya Indonesia dalam satu kata yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Dalam pembahasan makalah ini, menurut saya sesuai dengan tema yang di berikan yaitu “Akumulasi Kebudayaan Masyarakat Indonesia”. Karena dalam suatu keragaman Indonesia itu sangat membutuhkan suatu ideologi pemersatu, atau suatu semboyan yang di sebut dengan “Bhineka Tunggal Ika” yang bermakna yaitu berbeda beda tetapi tetap satu jua .
Walaupun kita terdiri atas berbagai suku yang beranekaragam budaya daerah, namun kita tetap satu bangsa Indonesi. Bhineka tunggal ika menjadi sebuah semboyan jitu yang terbukti berhasil menyatukan bangsa dengan sejuta suku, bangsa yang kaya akan ideologi, menjadi sebuah bangsa yang utuh dan merdeka.
Makalah ini bisa dibaca dan dipelajari oleh semua kalangan masyarakat karena pembahasan dalam makalah ini menyangkut kepada seluruh masyarakat Indonesia, dan bahasanya juga mudah di mengerti .
Demikian pendapat penulis tentang makalah ini , semoga bermanfaat bagi yang membacanya .

DAFTAR PUSTAKA

·      Koentjaraningrat, 2004, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, jambatan
·      Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
·      Koentjaraningrat, 1970, Keseragaman dan Aneka Warna Masyarakat Irian Barat, Jakarta, Lembaga Research Kebudayaan Nasional.
·  Robert F. Murphy, 1986, Cultural and Social Anthropologi, London: Prentice-hal International. 

PENDEKATAN BAYANI, BURHANI DAN IRFANI DALAM RANAH IJTIHADI MUHAMMADIYAH



Pada dasarnya metodologi adalah alat untuk memperoleh kebenaran. Dalam rangka mencari kebenaran itulah diperlukan pendekatan (logic of explanation dan logic of discovery), berikut teknis-teknis operasionalnya. Sejalan dengan epistemologi yang dikembangkan Muhammadiyah, pemikiran keislaman membutuhkan pendekatan Bayani, Irfani dan Burhani, sesuai dengan obyek kajiannya --apakah teks, ilham atau realitas-- berikut seluruh masalah yang menyangkut aspek tranhistoris, transkultural dan transreligius. Pemikiran Islam Muhammadiyah merespon problem-problem kontemporer yang sangat kompleks, berikut rumusannya untuk aplikasi dalam praksis sosial, mempergunakan ketiga pendekatan di atas secara spiral-triadik.
Nama M Amin Abdullah patut diberi kredit karena cukup sukses dalam menggugah pemikiran kritis di Muhammadiyah. Sewaktu menjadi Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam (MTPPI), M Amin Abdullah selalu mengambil prakarsa melakukan kajian secara mendalam dan sistematis terhadap tema-tema krusial yang dihadapi umat Islam, katakanlah, seperti pengembangan manhaj atau metodologi pemikiran Islam dan pluralisme. Berkat prakarsa M Amin Abdullah pemikiran Islam, setidaknya di lingkungan Muhammadiyah, memperoleh sentuhan epistemologi baru seperti diadopsinya epistemologi bayani, burhani, dan irfani dalam manhaj tarjih Muhammadiyah.
Arifin Sepakat bahwa Muhammadiyah dalam Ijtihad dan Istinbath mengenai problem umat, sudah harus menggunakan metodologi sistematis yang secara ilmiah kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga metode tersebut dengan segala aturannya akan mampu mendekatkan produk Ijtihad Muhammdiyah ke arah tersebut. Berikut penulis mengulas ketiga pendekatan yang sampai sekarang masih dipedomani oleh Muhammadiyah.
PENDEKATAN BAYANI
Pendekatan bayani sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Bayani adalah pendekatan untuk : a) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau diendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan b) Istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.
Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah khitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Makna yang dikandung dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan antara makna dan lafadl. Hubungan antara makna dan lafadz dapat dilihat dari segi : a) Makna wad'i, untuk apa makna teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, 'am dan mustarak; b) Makna isti'mali, makna apa yang digunakan oleh teks, meliputi makna haqiqah (sarihah dan mukniyah) dan makna majaz (sarih dan kinayah); c) Darajat al-wudhuh, sifat dan kualitas lafz, meliputi muhkam, mufassar, nas, zahir, khafi, mushkil, mujmal, dan mutasabih; dan d) Turuqu al-dalalah, penunjukan lafz terhadap makna, meliputi dalalah al-ibarah, dalalah al-isyarah, dalalah al-nass dan dalalah al-iqtida' (menurut khanafiyah), atau dalalah al-manzum dan dalalah al-mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut syafi'iyyah).
Untuk itu pendekatan bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu kebahasaan dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kuncu (keywords) yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asl - far' - lafz ma'na (mantuq al-fughah dan mushkilah al-dalalah; dan nizam al-kitab dan nizal al-aql), khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf). Dalam al-qiyas al-bayani, kita dapat membedakannya menjadi tiga macam : 1)al-qiyas berdasarkan ukuran kepantasan antara asl dan far' bagi hukum tertentu; yang meliputi al-qiyas al-jali; b) al-qiyas fi ma'na al-nass; dan c) al-qiyas al-khafi; 2)al-qiyas berdasarkan 'illat terbagi menajdi : a)qiyas al-'illat dan b) qiyas al-dalalah; dan 3) al-qiyas al-jama'i terhadap asl dan far'.
Dalam pendekatan bayani dikenal ada 4 macam bayan : 1) Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq; 2) Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil; 3) Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan 4) bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, dengan semboyan kurang lebih "right or wrong is my country" (dalam konteks ini tentu diterjemahkan : salah apa bener, yang penting agama gue bo!).

PENDEKATAN BURHANI
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum - hukum logika. Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini, pada akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai Hermaneutika Otoriter (Authoritharian Hermeneutic). Hermeneutika Otoriter terjadi ketika pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif dan selektif serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks.
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu ilmu al-lisan dan ilmu al-mantiq. Yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. Sedangkan yang terakhir membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inserawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.
'Ilmu al-mantiq juga merupakan alat (manahij al-adillah) yang menyamaikan kita pada pengetahuan tentang maujud baik yang wajib atau mumkin, dan maujud fi al-adhhan (rasionalisme) atau maujud fi al-a'yan (empirisme). Ilmu ini terbagi menjadi tiga; mantiq mafhum (mabhath al-tasawwur), mantiq al-hukm (mabhath al-qadaya), dan mantiq al-istidlal (mabhath al-qiyas). Dalam perkembangan modern, ilmu mantiq biasanya hanya terbagi dua, yaitu nazariyah al-hukm dan azariyah al-istidlal.
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-thani. Falsafat al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir (jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah, dan asbab yang terjadi pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia). Sedangkan falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada lam semesta (al-sunnah al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang bersifat plural (mutanawwi'ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah )berkembang atau berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pad manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science, al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora (humanities, al-'ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, keiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaan dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama. Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga pendekatan sejarah (tarikhiyyah). Hal ini agar konteks sejarah masa lalu, kini dan kan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ini bermanfaat agar pembahuruan pemikiran Islam Muhammadiyah tidak kehilangan jejak historis. Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam pengarusutamaan teks atau konteks. Masyarakat lebih banyak memenangkan teks daripada konteks, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.

PENDEKATAN 'IRFANI
'Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah
PENUTUP
Dari pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi bayani menekankan kajian dari teks (nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah).
Wa Allahu a’lamu bi al shawab