BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Sekitar abad ke-18 M Islam mengalami stagnasi pemikiran. Pada Umumnya umat
Islam disibukkan oleh asketisme.[[1]]
Di mana pintu ijtihad telah tertutup semakin gencar. Disamping itu, tradisi
yang bersifat bid’ah dan khurafat semakin merajalela. Hal tersebut
mengakibatkan butanya umat terhadap ajaran-ajaran yang termakstub dalam al-
Quran dan sunnah Nabi. Di negara-negara Islam terdapat banyak kuburan syekh
tarekat bertebaran. Tiap kota, bahkan kampung-kampung mempunyai kuburan syekh
atau wali yang dikuburkan di dalamnya untuk menyelasaikan problema hidup mereka
sehari-hari. Ada yang meminta supaya diberi anak, ada pula yang meminta supaya
diberi jodoh, ada lagi yang meminta supaya disembuhkan dari penyakitnya. Syekh
atau wali yang telah meninggal dunia itu di pandang sebagai orang yang berkuasa
untuk menyelsaikan segala persoalan yang dihadapi di alam ini.
Melihat kondisi semacam ini, ternyata menimbulkan inspirasi dan motivasi
bagi Muhammad bin abd Wahab untuk merespon dengan mencoba menggagas kembali
semangat rujuk kepada ajaran Islam murni, sebagaimana yang pernah dilakukan
oleh pendukungnya Ahmad ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Dalam melakukan
dakwahnya selain melalui lisan dan tulisan, juga melalui sebuah gerakan
keagaman yang cukup terorganisir dan sukses, baik dalam aspek keagamaan maupun
politik.
Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab memiliki nilai-nilai yang
bermanfaat dalam dunia pendidikan karena pendidikan itu luas cakupannya, tidak
terbatas hanya pengajaran di kelas.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Muhammad bin Abdul Wahhab
2.
Gerakan Wahhabi
3.
Kehidupan Syeikh Muhammad di Madinah
4.
Belajar dan berdakwah di Basrah
5.
Syeikh Muhammad di Dariyah
C.
MAKSUD DAN TUJUAN
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini untuk
memenuhi salah satu tugas kelomok dalam menempuh mata kulian Pemikiran Modern
Dalam Islam, selain itu tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
“Mahasiswa mengetahui dan memahami
bagaimana yang dimaksud Gerakan Pembaharu Muhammad Bin Abdul Wahab”
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab (1115 – 1206 H/1701 – 1793 M).
Muhammad bin Abdul Wahab bernama
lengkap Abu Abdullah bin Abd. Al-Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin
Rasyid at-Tamimi. Dia dilahirkan pada tahun 1703 M/1115 H di Uyainah,
Najd, Saudi Arabia. Dia adalah pendiri kelompok ”wahabi”. Dia dan
pengikut-pengikutnya menamakan kelompoknya dengan al-Muwahidun (pendukung
tauhid). Sedangkan wahabi adalah julukan yang diberikan musuh-musuh mereka,
yang juga dipakai oleh orang-orang Eropa dan akhirnya menjadi biasa. sejak
kecil Muhammad bin Abd. Wahab telah mendapatkan pendidikan keagamaan yang cukup
kuat. Dibawah asuhan ayahnya, Muhammad bin Abd. Wahab mendapatkan pelajaran
yang pertama. Ia termasuk anak yang cerdas, hafal al-Quran dan banyak hadits
Nabi sejak berusia dibawah 10 tahun. Dengan ayahnya ia belajar fiqh mazhab
Hambali, tafsir dan hadits. Ia juga banyak mempelajari kitab-kitab karangan
Ibnu Taimiyah dan Qayyim al-Jauziyyah.
Setelah beberapa lama menetap di
Mekah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih
lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang haditsdan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya,
serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga
berdakwah di kota ini.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab
memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu
ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui
banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di
kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat
tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau
meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan
ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, beliau
lalu kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini
belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan
kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/1726M, bapanya
berpindah dari 'Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan bapanya dan
belajar kepada bapanya. Tetapi beliau masih meneruskan tentangannya yang kuat
terhadap amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya pertentangan
dan perselisihan yang hebat antara beliau dengan bapanya yang Ahlussunnah wal
jama'ah (serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga
ke tahun 1153H/1740M, saat bapanya meninggal dunia.
Pada tahun 1738 ayahnya wafat,
akhirnya ia kembali ke Uyainah. Selang setahun di sana ia menghabiskan waktunya
untuk merenung dan baru setelah ia mengajukan doktrin ke masyarakat. Pada masa
awal dakwahnya ia banyak mendapat tantangan. Pandangannya mendapat perhatian
dari luar Uyainah sehingga ia pergi ke Dar’iyah dan mendapatkan pengikut hampir
seluruh penduduk kota dan membangun masjid di sana.
Banyak tantangan yang dihadapi
oleh Muhammad bin Abd. Wahab pada saat di Dar’iyah, namun hal tersebut dapat
dihadapi berkat dukungan politik sepenuhnya dari Muhammad bin Saud. Pada tahun
1795, Universitas Islam Muhammad bin Saud berhasil mengumpulkan karya-karyanya
dan membukukannya menjadi 12 jilid, yang meliputi bidang tauhid, fiqh, hadits
dan tafsir.
Muhammad bin `Abdul Wahab telah
menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya
diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi
sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdul wahab
berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H,
bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di
Dar’iyah (Najd).
Ajarannya diteruskan oleh
murid-muridnya dan misi ini menjadi gerakan reformis yang sangat kuat selama
abad ke-18 hingga abad ke-20 M.
2.
Pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab
Kerangka pemikrian Muhammad bin Abd. Wahab berangkat dari pemahaman
ketauhidan kepada Allah. Ia membagi ketauhidan menjadi dua, yaitu tauhid
uluhiyah dan tauhid rububiyah. Tauhid uluhiyah artinya
tauhid untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu hanya milik Allah, dengan
penyaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allalh, yang dilahirkan dengan
mengucapkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”. Selain itu hanya
berbakti kepada-Nya saja. Dengan kata lain, kepercayaan bahwa Tuhan yang
menciptakan alam ini adalah Allah dan hanya berbakti kepadanya. Sedangkan tauhid
rububiyah artinya kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah,
tapi tidak dengan mengabdi kepada Allah.
Dalam pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab, tauhid uluhiyah inilah
yang dibawa oleh para nabi dan rasul, sementara tauhid rububiyah hanyalah
bentuk penyelewengan pengabdian manusia kepada selain Allah. Dengan demikian ia
berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan manusia dari
kemusyrikan dan kegelapan adalah kembali kepada kitabullah. Menurutnya, tauhid
telah dirasuki berbagai hal yang hampir menyamai syirik. Seperti mengunjungi
makam para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu
mendatangkan keuntungan atau kesusahan. Seakan-akan Allah sama dengan penguasa
dunia yang dapat didekati melalui para tokoh mereka.
Menurut Muhammad bin Abd. Wahab, pemurnian akidah merupakan pondasi utama
dalam pendidikan Islam. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan melalui teladan
atau contoh merupakan metode pendidikan yang paling efektif. Hal ini sejalan
dengan pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab agar umat manusia kembali kepada
Rasulullah dan para sahabatnya sebagai suri tauladan yang sangat baik bagi
manusia.
Prinsip-prinsip dasar ajaran Muhammad bin Abd. Wahab didasarkan atas ajaran
Ibn Taimiyah dan Mazhab Hambali, yaitu:
a)
Ketuhanan Yang Esa yang mutlak
b)
Kembali kepada ajaran Islam sejati, seperti termaktub dalam Al-Quran dan
Hadits
c)
Tidak dapat dipisahkannya kepercayaan dari tindakan, seperti shalat dan
pemberian amal
d)
Percaya bahwa al-Quran itu bukan ciptaan manusia
e)
Kepercayaan nyata terhadap al-Quran dan hadits
f)
Percaya akan takdir
g)
Mengutuk segenap pandangan dan tindakan yang tidak benar
Menurutnya, manusia bebas berpikir dalam batas-batas yang telah ditetapkan
oleh al-Quran dan Sunnah. Dia memerangi segala macam bentuk bid’ah dan
mengarahkan agar orang beribahad dan berdoa hanya kepada Allah, bukan untuk
para wali, syekh atau kuburan. Jika akidah mereka bersih seperti akidah para
pandahulunya yang menjunjung tinggi kalimat “Laa Ilaaha Illallah” yang
berarti tidak menganggap hal-hal lain sebagai Tuhan selain Allah, tidak takut
mati, maka kaum muslimin pasti dapat meraih kembali kemuliaan dan kehormatan
yang pernah diraih.
Pemikiran-pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab mempunyai pengaruh pada
perkembangan pemikiran pembaharuan pada periode modern,[[2]] diantaranya:
a)
Hanya al-Quran dan al-hadits yang merupakan sumber asli dari ajaran-ajaran
Islam, pendapat ulama tidak merupakan sumber
b)
Taqlid kepada ulama tidak diperbolehkan
c)
Pintu ijtihad tidak tertutup tetapi terbuka
3.
Muhammad bin Abd. Wahab dan
Pengembangan Intelektual dalam Pendidikan Islam
Pengembangan akal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia yang dapat
menunjang keberhasilan i’tikad karena dengan pengetahuan akan menjadikan
“paham” atas sesuatu yang diyakini. Seorang muslim harus mempunyai bukti-bukti
tentang Tuhannya untuk mendapatkan keyakinan yang kuat. Islam tidak membenarkan
penganutnya muqallid, berpikir dengan akal orang lain yang
diikutinya tanpa memakai akal sendiri. Dalam menemukan iman, seseorang harus
berpikir sendiri, merenung dan memahami yang selanjutnya dapat memperkuat
keyakinannya.
Oleh karena itu pendidikan Islam hendaknya menempatkan pembentukan akal
sebagai prinsip utama pendidikan dengan didasarkan pada pemahaman al-Quran dan
hadits yang menempatkan akal pada tempat yang mulia. pendidikan Islam
berkewajiban untuk menghidupkan kembali tradisi keilmuan masyarakat Islam serta
berusaha meletakan sistem sempurna berdasarkan sumber-sumber Islam yang murni
serta berusaha membebaskan akal kaum muslimin dari belenggu khurafat (Kepercayaan
karut yang diada-adakan berpandukan kepada perbuatan-perbuatan dan
kejadian-kejadian alam yang berlaku)[[3]],
jumud (beku; statis)[[4]], dan taklid (mengikuti
perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah). Sebagai media
untuk membangun akal dan membangkitkan kembali tradisi keilmuan, umat Islam
dapat menggunakan madrasah, universitas, masjid, halaqah, majalah,
perpustakaan, dan lain-lain.
Dari usaha untuk mengembangkan akal tersebut diharapkan akan bermunculan
kaum intelektual muslim, yakni mereka yang mempunyai akal, daya pikir, daya
tanggap yang peka, daya banding yang tajam, daya analisis yang tepat.
Karakteristik intelektual muslim yang menonjol dan sesuai dengan pemikiran
Muhammad bin Abd. Wahab adalah bahwa ia menyaksikan, memikirkan, dan
merenungkan fenomena yang ada disekelilingnya sebagai tanda kebesaran Ilahi.
Disinilah fungsi tauhid yang tidak boleh dilepaskan dalam pengembangan akal.
Dengan kata lain, kesimpulan dan rumusan-rumusan yang telah diperoleh terhadap
alam, dijadikan dasar ilmu dan manfaat, dan itulah yang akan menjadi dasar
keimanan kepada Allah SWT.
4.
Gerakan Wahhabi
Muhammad bin Abdul Wahab berusaha
membangkitkan kembali pergerakan perjuangan Islam, para pendukung pergerakan
ini sering disebut Wahabbi, tetapi mereka menolak istilah ini
karena pada dasarnya ajaran bin Wahhab adalah ajaran Nabi Muhammad, bukan
ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka
sebagai Salafis atau Muwahhiddun, yang bererti”satu Tuhan”.
Istilah Wahhabi sering
menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal–usul dan kemunculannya dalam
dunia Islam. Umat Islam umunya keliru dengan mereka karena mereka mendakwah mazhab
mereka menuruti pemikiran Ahmad bin Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau
al-Hanabilah yang merupakan salah Mazhab dalam al-Sunnah wa al-Jama’ah. Nama
Wahhabi atau al- Wahabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama ‘Abd al-Wahhab,
al-Syeikh Muhammad bin ‘Abd al- Wahab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi
dikatakan tolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri
mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (Unitarians) karena mereka mendakwah
ingin mengembalikan jaran – jara tawhid kedalam Islam dan kehidupan murni
menurut sunnah Rasululllah. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud.
Sesuai kesepakatan, sampai saat ini gelar “keluarga kerajaan” Negara Arab Saudi
dipegang oleh keluarga Saud.
Muhammad Bin Abdul Wahab menamakan
gerakannya, “Gerakan Muwahidin yaitu suatu gerakan yang bertujuan untuk
mensucikan dan meng-Esakan Allah dengan semurni-murninya yang mudah, gampang
dipahami, dan diamalkan persis seperti Islam pada masa permulaan sejarahnya.
Gerakan yang dipimpin Muhammad bin
Abdul Wahab ini dinamakan “Gerakan Wahabi” sebagai ejek-ejekan oleh
lawan-lawannya. Hal-hal yang ditekankan oleh gerakan ini adalah:
1)
Penyembahan kepada selain Allah adalah salah,
dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2)
Orang yang mencari ampunan Allah dengan
mengunjungi kuburan orang-orang sholeh, termasuk golongan musyrikin.
3)
Termasuk perbuatan musyrik memberikan
pengantar dalam sholat terhadap nama Nabi-nabi atau wali atau Malaikat (
seperti sayidina Muhammad).
4)
Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang
tidak didasarkan atas Alqur’an dan Sunnah, atau ilmu yang bersumber kepada akal
pikiran semata-mata.
5)
Termasuk kufur dan ilhad yang menginkari
“Qadar” dalam semua perbuatan dan penafsiran Qur’an dengan jalan ta’wil.
6)
Dilarang memaki buah tasbih dalam mengucapkan
nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid) cukup menghitung dengan jari.
7)
Sumber syariat Islam dalam soal halal dan
haram hanya Alqur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul.
Perkataan ulama mutakallimin dan fuqaha tentang haram-halal tidak menjadi
pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8)
Pintu Ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga
boleh melakukan Ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.
Sifat gerakan Wahabi yang keras,
lugas, dan sederhana benar-benar tenaga yang sanggup mengoncangkan dan
membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin yang sedang lelap tidur dalam
kegelapan. Bersama dengan Ibnu Su’ud, pendiri Dinasti Su’udiyah ( Saudi Arabia)
berjuang dengan sikap pantang menyerah. Ibnu Su’ud dalam menjalankan roda
pemerintahannya dilhami oleh syaikh Muhammad.
5.
Perjuangan memurnikan aqidah
Islam
Sejak dari itu, Syeikh Muhammad
tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya,
menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat
itu dengan sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat.
Melihat keadaan umat islam yang
sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan
ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan
mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut
dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai
pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh
seorang Amir (penguasa)
bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide
dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung
perjuangan tersebut.
Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan
yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara
kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat
menjurus kepada kemusyrikan.
Amir menjawab "Silakan...
tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini."
Tetapi beliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk
yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara
untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang
dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut
sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai
syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab)
di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka.
Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa
jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap
makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena
masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah makam
beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya.
Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas
bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak
berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang
dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk
mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat
Islam setempat.
Berita tentang pergerakan ini
akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa'
mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat, dan
pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka kemudian memberikan peringatan dan
ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini rupanya berhasil mengubah pikiran
Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh Muhammad untuk membicarakan tentang
cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam
posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin mendukung perjuangan syeikh
tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir al-Ihsa. Akhirnya,
setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di capailah suatu
keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan mengungsi ke
daerah lain.
Dalam bukunya yang berjudul
Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab, Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi
menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi pilihan lain, di
samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh meninggalkan
negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan
kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri
Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam
hari." (Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22).
Tetapi ada juga tulisan lainnya
yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh
dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api
pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan
pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari
kedudukannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian,
tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk
meneruskan dakwahnya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar
dari negeri itu oleh pemerintahnya.
6.
Tantangan Dakwah dan Pemecahannya
Sebagaimana lazimnya, seorang
pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan, maka Syeikh Muhammad bin `Abdul
Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik
dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah
dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun
surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap
penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh
pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau
dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq
dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini
tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh
Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang
sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang
dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua
bentuk: Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama, Atas nama
politik yang berselubung agama. Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan
golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah
Wahabiyah.
Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi
menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’
ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang,
sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa
memedulikan celaan orang yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
1.
Golongan ulama khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil
dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas
kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana
dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta
syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang
yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi
nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan
orang-orang soleh yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
2.
Golongan ulama taashub yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid
belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang
disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam
perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat
kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap
Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan
memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka
mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
3.
Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan.
Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh
Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh
suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api
gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini yang mana akhirnya terjadilah
perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu
pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya
kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa
hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di
mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.
Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin
`Abdul Wahab yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya.
Demikianlah perjuangan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan
seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin
Saud, penguasa Dar’iyah.
Beliau pertama kali yang mengumandangkan jihadnya dengan pedang pada tahun
1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da’i ilallah, apabila tidak
didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada
tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan
secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan
dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena
masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan
dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata,
maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.
Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: " Sesungguhnya
Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya
Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah
tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa."
(al-Hadid:25).
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para
RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan
menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang
di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan
penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk
serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah
umat manusia.
Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa
ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur’an
al-Hadid fihi basun syadid yaitu, besi baja yang mempunyai kekuatan dahsyat.
yaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapan, meriam, kapal perang,
nuklir dan lain-lain lagi yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.
Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang
mana al-Qur’an menyatakan dengan Wamanafiu linnasi yaitu dan banyak manfaatnya
bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan
menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.
Orang yang mempunyai akal yang sehat dan fikiran yang bersih akan mudah
menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, mahupun oleh para
ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan yang
diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau
menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya
telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum
Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan
terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti,
yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali
bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-
Tamimi al-Hambali an- Najdi adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang
tokoh pemimpin gerakan salafiah yang pernah menjabat sebagai menteri penerangan
Kerajaan Arab Saudi. Muhammad bin Abdul Wahab berusaha membangkitkan kembali
pergerakan perjuangan Islam, para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, tetapi
mereka menolak istilah ini karena pada dasarnya ajaran bin Wahhab adalah ajaran
Nabi Muhammad, bukan ajarannya sendiri. Karenanya, mereka lebih memilih untuk
menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhiddun, yang bererti”satu
Tuhan”.
Dalam konsep pemahaman keagamaan Muhammad bin Abd. Wahab, persoalan tauhid
merupakan ajaran yang paling mendasar dalam Islam. Oleh karena itu, fokus
perhatian Muhammad bin Abd. Wahab adalah mencoba merespon persoalan-persoalan
tersebut. Dengan perhatian terhadap aspek inilah, kemudian ia menulis kitab
pertamanya yang berjudul “Kitab At-Tauhid”. Di dalamnya
menyoroti tentang khufarat, bid’ah, tawasub, ziarah ke kubur
para wali dan sebagainya.
Dari pemikiran tentang pemurnian tauhid, terkandung di dalamnya nilai-nilai
pendidikan yang sangat penting, diantaranya:
1)
Mengajar manusia untuk bebas berpikir, berijtihad, berkreasi ddan tidak
boleh taklid kepada para ulama atau syekh. Hal ini mendidik kita untuk
senantiasa mengembangkan segala potensi yang ada, terutama potensi intelektual.
2)
Mengajarakan manusia untuk mencontoh orang-ornga saleh. Hal ini dikemukakan
oleh Muhammad bin Abd. Wahab agar umat Islam mencontoh perilaku Rasulullah,
sahabat, dan para tabi’in yang memiliki akidah yang murni.
Akal pikiran adalah anugerah Tuhan yang paling tinggi yang diberikan hanya
kepada manusia. Dengan akal dan pikiran yang dimilikinya itu pulalah manusia
menempati tempat tertinggi di antara mahluk-mahluk lain, baik malaikat, jin,
binatang dan sebagainya.
Pemikiran-pemikiran Muhammad Ibn Abd Al-Wahab
yang mempunyai pengaruh pada perkembangan pemikiran pembaharuan di abad ke-19,
yaitu :
- Hanya al-Qur’an dan hadislah yang merupakan sumber asli dari
ajaran-ajaran Islam
- Taklid kepada ulama tidak dibenarkan
- Pintu ijtihad terbuka
Ada 2 pengaruh gerakan Wahabiyah
terhadap dunia Islam yaitu pertama, ajaran-ajaran kaum Wahabiyah terutama paham
tauhid kembali mempengaruhi pemikiran dan usaha-usaha pembaharuan pada periode
modern dari sejarah Islam, kedua, sikap teokratik-revolusioner yang ditunjukkan
oleh gerakan Wahabiyah banyak mempengaruhi gerakan militansi yang ada pada abad
ke-19. Contoh gerakan militansi tersebut adalah di India, gerakan yang di
pimpin oleh Syariatullah dan Sayyid Ahmad melawan kesultanan Mughal yang tengah
mengalami kemunduran, kelompok-kelompok Sikh, dan penjajah Inggris.
2.
Saran
Islam memberikan pengharagaan
yang tinggi terhadap akal. Tidak sedikit ayat Al-Quran dan hadits yang
menganjurkan dan mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya dan banyak
berpikir untuk mengembangkan intelektualnya. Dengan penggunaan akal itulah,
manusia dapat mengasah intelektualnya untuk kemudian menumbuhkan sifat
kecendikiawanan dan kearifan, baik terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan, maupun terhadap Allah sebagai pencipta. Itulah yang menjadi inti
pemikiran Muhammad bin Abd. Wahab dalam memberantas kejumudan yang telah
melanda umat Islam pada waktu itu.
Perkembangan Islam merupakan
sejarah yang dapat dijadikan tauladan, dipelajari dengan mengambil hikmahnya
dan menegakkan Syariah Islam jangan sampai terjadi kemunduran.
DAFTAR PUSTAKA
Mufakirin.2000.ENSIKLOPEDIA
ISLAM.Bumi Aksara:Jakarta
Suwitno dan Fauzan,
2003. Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa
Suntiah, Ratu dan Maslani. Sejarah Peradaban Islam. 2010.
Bandung : CV. Insan Mandiri
Parlindungan,Mangaradja Onggang , Tuanku Rao. Yogyakarta :
LliS, 2007.
Posting Komentar