Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengungkap makna
yang terkandung dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Istilah “Bhinneka
Tunggal Ika” dipetik dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Semula istilah tersebut menunjukkan pada
semangat toleransi keagamaan, khususnya antara agama Hindu dan Buddha. Setelah
diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia konteks permasalahannya menjadi
lebih luas yang meliputi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Bhinneka
Tunggal Ika merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa Indonesia yang
mengakui realitas bangsa yang majemuk, namun tetap menjunjung tinggi kesatuan.
Bhinneka Tunggal Ika adalah cerminan keseimbangan antara unsur perbedaan yang
menjadi ciri keanekaan dengan unsur kesamaan yang menjadi ciri kesatuan.
Bhinneka Tunggal Ika merumuskan dengan tegas adanya harmoni antara kebhinnekaan
dan ketunggalikaan, antara keanekaan dan keekaan, antara kepelbagaian dan
kesatuan, antara hal banyak dan hal satu, atau antara pluralisme dan monisme.
Abstract: This article this was aimed at exploring the
meaning contain in the symbol of “unity in diversity” (Bhinneka Tunggal Ika).
The term of "unity in diversity” (Bhinneka Tunggal Ika) was derived from
the story of Sutasoma by Mpu Tantular. Firstly the term as the religious
tolerance between Hindu and Budhist. After being the symbol for Indonesia the
meaning be come complex the diversity of not just as the religion tolerance,
but also for tribal, race, religion, interest groups, and so on. Unity in
diversity means that Indonesia people the respect fir the diversity of
Indonesia society as the plural society, but also admit the so important of
unity. The unity in diversity also mean that there is a check and balance
between the aspect of differences as the characteristic of diversity an the
aspect of sumlarityes as the characteristic of unity. The unity in diversity
formulate the harmony between diversity and unity, between differences and
sumlarityes, between the variance and the meds, an between the pluralism and
monism.
Kata kunci :
bhinneka, tunggal, dan ika
Bhinneka
Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Indonesia. Semboyan ini tertulis di dalam lambang negara Indonesia, Burung
Garuda Pancasila. Pada kaki Burung Garuda itulah terpampang dengan jelas tulisan Bhinneka Tunggal Ika. Secara konstitusio-nal,
hal tersebut telah diatur dalam pasal 36A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang
berbunyi “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika”.
Dalam suatu perkuliahan
tatap muka program penyetaraan yang diikuti oleh guru-guru SD, ada salah
seorang peserta yang bertanya tentang makna “Bhinneka Tunggal Ika”. Sebenarnya dia sudah tahu, bahwa Bhinneka Tunggal Ika itu merupakan semboyan bangsa Indonesia. Dia juga tahu kalau “Bhinneka
Tunggal Ika” itu berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”. Tetapi dia
mengatakan masih bingung tatkala menyaksikan adanya barisan Bhinneka Tung- gal Ika pada perayaan Proklamasi Kemerdekaan
setiap tanggal 17 Agustus, sehingga dia mengaju-kan pertanyaan, “apa sebenarnya
makna Bhinneka Tunggal Ika itu” ?
Semboyan “Bhinneka
Tunggal Ika” memuat dua konsep yang berbeda, bahkan kedua konsep tersebut
seolah-olah bersifat kontradiktif. Kedua konsep itu adalah “Bhinneka” dan
“Tunggal Ika”. Konsep “Bhinneka” mengakui adanya keanekaan atau keragaman,
sedangkan konsep “Tunggal Ika” menginginkan adanya kesatuan. Keanekaan diciri-kan
oleh adanya perbedaan, sedangkan kesatuan dicirikan oleh adanya kesamaan. Jika
kedua hal tersebut
dipahami dan dilaksanakan dengan tekanan yang berbeda (tidak seimbang), maka akan dapat menimbulkan kondisi yang
berbeda pula. Manakala segi keanekaan
yang menonjolkan unsur perbedaan itu ditampilkan secara berlebihan, maka kemung-kinan
munculnya konflik tak terhindarkan. Sebalik-nya, manakala segi kesatuan yang
menonjolkan kesamaan itu ditampilkan secara berlebihan, maka tindakan itu
tergolong melanggar kodrat perbedaan, karena perbedaan adalah kodrat sekaligus
berkah yang tak
terelakkan. Adanya dua konsep yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” mengandung
problem metafisika, yaitu problem
antara kepelbagaian dan kesatuan, pro-blem antara hal banyak (the many)
dan hal satu (the one). Berdasarkan problema tersebut tampak bahwa untuk mencari makna “Bhinneka Tunggal Ika” di-perlukan adanya perenungan
mendalam yang bersifat filosofis
metafisis.
Pembahasan
Makna “Bhinneka Tunggal Ika”
Istilah “Bhinneka
Tunggal Ika” dipetik dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Istilah tersebut
ter-cantum dalam bait 5 pupuh 139. Bait ini secara lengkap seperti di bawah
ini:
Rwāneka dhātu winuwus
Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring
apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa
kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal
ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan
Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang
berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran
Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah
belahlah itu, tetapi satu jualah itu. Tidak ada kerancuan dalamkebenaran.
Kitab Sutasoma
mengajarkan toleransi kehi-dupan beragama, yang menempatkan agama Hindu dan
agama Buddha hidup bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama itu hidup
beriringan di bawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk.
Meskipun agama Hindu dan Buddha merupakan dua substansi yang berbeda, namun
perbedaan itu tidak menimbulkan perpe-cahan, karena kebenaran Hindu dan Buddha
ber-muara
pada hal “Satu”. Hindu dan Buddha memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam
kebenaran.
Istilah
“Bhinneka Tunggal Ika” yang semula menunjukkan semangat toleransi keagamaan, ke-mudian diangkat
menjadi semboyan bangsa Indonesia. Sebagai semboyan bangsa konteks permasalahan-nya bukan hanya menyangkut
toleransi beragama tetapi jauh lebih luas seperti yang umum disebut dengan
istilah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Semboyan itu dilukiskan di
bawah lam-bang negara Indonesia yang dikenal dengan nama Garuda Pancasila. Lambang
negara Indonesia lengkap
dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” telah ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah No. 66 tahun 1951
tentang Lambang Negara.
Jika dianalisis, semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika” yang berasal dari bahasa Sansekerta itu terdiri dari kata “Bhinneka”,
“Tunggal”, dan “Ika”. Kata “Bhinneka” berasal dari kata “Bhinna” dan “Ika”. “Bhinna” artinya berbeda-beda
dan “Ika” artinya itu. Jadi, kata “Bhinneka” berarti “yang berbeda-beda itu”.
Analisa lain menunjukkan bahwa kata “bhinneka” terdiri dari unsur kata
“bhinn-a-eka”. Unsur “a” artinya tidak, dan “eka” artinya satu. Jadi, kata
“bhinneka” juga dapat berarti “yang tidak satu”. Sedangkan kata “Tunggal”
artinya satu, dan “Ika”
artinya itu. Berdasarkan analisa tersebut dapat
disimpulkan bahwa semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” berarti “yang berbeda-beda
itu dalam yang satu itu” atau “beranekaragam namun satu jua”. Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika hampir sama artinya dengan semboyan negara Amerika Serikat, E Pluribus Unum yang artinya bersatu walaupun
berbeda-beda, berjenis-jenis tetapi tunggal.
Kebhinnekaan atau yang berbeda-beda itu
menunjuk pada realitas objektif masyarakat Indo-nesia yang memiliki keanekaragaman
yang tinggi. Keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat dite-mukan dalam berbagai bidang kehidupan.
Keaneka-ragaman di bidang politik diwarnai oleh adanya kepentingan yang berbeda-beda antara
individu atau kelompok yang satu dengan individu atau kelompok
yang lainnya. Di bidang ekonomi, keanekaragaman dapat dilihat dari adanya
perbedaan kebutuhan hidup, yang akhirnya berimplikasi terhadap mun-culnya
keanekaragaman pada pola produksi. Di bidang sosial, keberagaman itu tercermin dari adanya perbedaan peran dan status sosial. Selain itu, ke-anekaragaman juga dapat dilihat dari segi
geografis, budaya, agama, etnis, dan sebagainya. Keaneka-ragaman
itu pun masih dikukuhkan lagi oleh kebhinnekaan perseorangan masing-masing anak
negeri yang kini berjumlah lebih dari 200 juta jiwa. Dengan adanya
keanekaragaman dalam berbagai bidang tersebut menyebabkan Indonesia dijuluki
sebagai masyarakat yang multi etnik, multi agama (multi religi), multi budaya
(multikultural), dan sebagainya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Indonesia
merupakan masyarakat yang majemuk (Plural Society).
Jika dilihat dari struktur sosialnya,
keaneka-ragaman atau kemajemukan masyarakat Indonesia berdimensi ganda, karena
memiliki kemajemukan secara
horizontal dan vertikal. Kemajemukan secara horizontal
dalam sosiologi dikenal dengan istilah deferensiasi sosial. Diferensiasi sosial merupakan
suatu sistem kelas sosial dengan sistem linear atau tanpa membeda-bedakan
tinggi-rendahnya kelas sosial itu sendiri. Misalnya, perbedaan agama, ras,
etnis, clan (klan), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin. Kemajemukan secara
vertikal melahirkan stratifikasi sosial. Dalam Sosiologi, stratifikasi
sosial dapat
diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas
secara bertingkat. Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam
masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya,
seperti lapisan kaya dan miskin, penguasa dan jelata.
Makna kesatuan (tunggal ika) dalam Bhinneka Tunggal Ika merupakan cerminan rasionalitas
yang lebih menekankan kesamaan daripada perbedaan. Kesatuan merupakan sebuah
gambaran ideal. Di-katakan ideal karena kesatuan merupakan suatu harapan atau
cita-cita untuk mengangkat atau menempatkan unsur perbedaan yang terkandung
dalam keanekaragaman bangsa Indonesia ke dalam suatu wadah, yakni Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kesatuan adalah upaya untuk mencipta-kan wadah
yang mampu menyatukan kepelbagaian atau keanekaragaman.
Berdasarkan
uraian di atas dapat dikatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa
Indonesia yang menga-kui realitas bangsa yang majemuk, namun tetap menjunjung
tinggi kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika merumuskan dengan tegas adanya harmoni
antara kebhinnekaan dan ketunggalikaan, antara keaneka-an dan keekaan, antara
kepelbagaian dan kesatuan, antara hal banyak dan hal satu, atau antara plu-ralisme
dan monisme.
Bhinneka
Tunggal Ika adalah cerminan kese-imbangan antara unsur perbedaan yang menjadi
ciri keanekaan dengan unsur kesamaan yang menjadi ciri kesatuan (Rizal
Mustansyir, 1995 : 52). Kese-imbangan itu sendiri merupakan konsep filsafati
yang selalu terletak pada ketegangan di antara dua titik ekstrim, yaitu
keanekaan mutlak di satu pihak dan kesatuan mutlak di pihak lain. Setiap kali
segi keanekaan yang menonjolkan perbedaan itu memuncak akan membawa kemungkinan
munculnya konflik, maka kesatuanlah yang akan meredakan atas dasar kesadaran
nasional. Demikian pula sebaliknya, mana-kala segi kesatuan yang menonjolkan kesamaan
itu tampil secara berlebihan, maka keanekaan selalu mengingatkan bahwa
perbedaan adalah kodrat se-kaligus berkah yang tak terelakkan.
Mensinergikan “Kebhinnekaan” untuk Me-wujudkan “Ketunggalikaan”
Semboyan
Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan yang mengakui realitas bangsa Indo-nesia
yang majemuk (berbhinneka), namun selalu mencita-citakan terwujudnya kesatuan
(ketunggal-ikaan). Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika berarti Indonesia
selain mengakui adanya kepelba-gaian juga mengakui adanya kesatuan.
Dalam kehidupan
bersama kebhinnekaan bisa menjadi berkah atau sebaliknya sumber bencana
tergantung cara kita memandang dan mengelola-nya. Tirta N Mursita (http://www.sinarharapan. co.id/berita/0704/13/ipt02.html) mengatakan bahwa keberagaman itu given (berkah),
tak bisa dihindari di dunia ini. Siapa yang bisa mengelak
kalau ada kulit hitam, putih, kuning, dan cokelat di dunia ini. Siapa pula yang
menafikan, kalau ada ratusan, ribuan bahkan jutaan pemikiran baru di alam ini. Semua saling bertumpuk-tumpuk, memberikan
tesis dan antitesis baru. Kebhinnekaan merupakan ciri dasar bangsa Indonesia sejak Republik ini
dibentuk, kemudian diproklamasikan oleh para founding
fathers pada paruh kedua abad silam hingga kini. Sebagai suatu realitas
objektif, maka kebhinnekaan telah menjadi identitas bangsa Indonesia. Karena
itu, upaya-upaya untuk meniadakan keberagaman atau upaya penyeragaman merupakan
tindakan yang menentang kenyataan. Kalau keberagaman itu tidak boleh ada di
Indonesia, berarti identitas bangsa tidak ada lagi (Yeni Rosa Damayanti)
Untuk menjaga
keberlangsungan hidup berbangsa, kebhinnekaan sebaiknya
tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi kebhinnekaan harus dipandang se-bagai aset yang diharapkan mampu berperan
sebagai sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia. Kebhin-nekaan sebagai kekayaan serta
mendaya-gunakannya justeru dapat menjadi pondasi kokoh
persatuan dari sebuah imagined community yang bernama Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kesadaran sebagai masyarakat yang berbhinneka tetapi mencita-citakan
kesatuan yang dikukuhkan sebagai konsensus ber-sama dalam Soempah Pemuda 1928
telah menjadi modal sosial ampuh yang berhasil mempersatukan dan mengantar
negara-bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit dari dulu sampai sekarang,
bahkan juga nanti.
Masyarakat yang berbhinneka yang dicirikan
oleh adanya perbedaan memang sangat rawan ter-hadap konflik. Indonesia sebagai
masyarakat yang berbhinneka,
secara internal telah mengandung sumber-sumber ketegangan
dan pertentangan. Menurut Eka Dharmaputera (1997 : 40), baik keanekaragaman
maupun kesatuan Indonesia adalah kenyataan se-kaligus persoalan. Kebhinnekaan Indonesia sepintas lalu memang jauh lebih menonjol daripada kesatu-annya. Oleh karena
itu, bahaya disintegrasi selalu merupakan ancaman baik riil maupun potensial.
Jika bertumpu pada realitas bangsa yang berbhin-neka, bahaya disintegrasi memang merupakan ancaman yang amat nyata. Namun karena Indonesia tidak hanya berbhinneka,
tetapi juga tunggal ika, maka integrasi bukanlah sesuatu yang mustahil. Setiap
pembahasan tentang Indonesia yang mengabaikan kedua atau salah satu dimensi
tersebut, dapatlah dipastikan tidak akan mencapai sasaran.
Selanjutnya Eka
Darmaputera (1997 : 8-9) juga mengatakan, agar masyarakat dapat berfungsi dengan baik, masyarakat harus mampu mengatasi disinte-grasi potensial yang
ada di dalam dirinya sendiri. Seluruh masyarakat dapat berfungsi hanya apabila
anggota-anggotanya bersedia untuk mengintegrasi-kan diri, baik dalam bentuk
integrasi normatif mau-pun integrasi nilai. Integrasi normatif tercermin dari adanya kehidupan bersama di mana seluruh
anggota masyarakat
bersedia mematuhi dan mengikuti “aturan permainan” yang
telah ditentukan. Sedangkan inte-grasi nilai tercermin dari adanya nilai-nilai
funda-mental yang dijadikan sebagai pandangan hidup bersama.
Perbedaan dalam
kebhinekaan merupakan suatu realitas, karena itu perbedaan
tidak perlu lagi untuk dibeda-bedakan.
Membeda-bedakan perbedaan justeru akan dapat menimbulkan
bahaya disintegrasi. Per-bedaan dalam kebhinnekaan perlu disinergikan atau
dikelola dengan cara mendayagunakan aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk
membangun kebersamaan. Karena kesatuan dicirikan oleh ada-nya kesamaan, maka
untuk mewujudkan cita-cita kesatuan
di tengah-tengah kebhinnekaan diperlukan adanya kesadaran, kemauan, dan kemampuan
untuk melihat kesamaan pada sesuatu yang berbeda itu.
Secara individu, setiap manusia adalah berbeda, baik dilihat dari segi fisiknya
maupun mentalnya. Setiap manusia merupakan subjek yang otonom. Namun demikian,
setiap manusia memiliki kesa-maan, yaitu sama-sama manusia (sesama manusia).
Demikian juga dalam konteks ke-Indonesiaan, ter-dapat beragam suku, agama, ras, dan golongan yang masing-masing memiliki
karakteristik yang berbeda-beda, tetapi semuanya memiliki
kesamaan, yaitu sama-sama bangsa Indonesia (sesama bangsa Indo-nesia). Konsep
“sesama” tidak hanya terbatas pada manusia. Manusia dengan binatang juga
memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mahluk hidup (sesama mahluk hidup). Demikian
juga kesamaan bisa di-temukan dalam hubungannya dengan yang lain, sehingga
muncul adanya berbagai konsep sesama, seperi sesama ciptaan Tuhan, atau sesama
isi dunia, dan lain sebagainya. Inilah konsep “sesama” dalam arti luas
(Pursika, 2009 : 28).
Kadang-kadang kita kurang menyadari bahwa
kehidupan ini juga merupakan sinergi dari kekuat-an yang berbeda. Bahkan
perbedaan itu sering di-tempatkan pada posisi yang berlawanan dan kon-tradiktif,
seperti atas dan bawah, kiri dan kanan, positif dan negatif, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, dan sebagainya. Dalam ancangan
integrasi, perbedaan itu tidak dipandang sebagai sesuatu
yang berlawanan, melainkan sebagai sesuatu yang berpa-sangan. Yang satu
mengandaikan adanya yang lain. Ada “atas” karena ada “bawab”, ada “kiri” karena
ada “kanan”, demikian seterusnya, sehingga kita juga bisa mengatakan bahwa
kesatuan mengasum-sikan
adanya keanekaragaman. Diri kita ada merupakan hasil
sinergi dari dua kekuatan yang berbeda, yaitu kekuatan laki-laki dan perempuan.
Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa diri ini ada sebagai produk
perbedaan. Dalam dunia pendidikan juga penuh dengan warna-warni perbedaan. Ada
guru ada murid yang
masing-masing memiliki kedudukan dan fungsi yang berbeda.
Guru mengajar dan murid belajar. Selain itu, dalam pendidikan juga ada berbagai
sarana dan prasarana. Semua unsur pendi-dikan yang berbeda-beda itu bersinergi
sehingga terjadi proses pendidikan berupa proses belajar mengajar (PBM).
Hardono Hadi (1994: 73) juga mengatakan, “Kalau kita melihat suatu karya seni, kita akan melihat bahwa keindahannya tidak
pernah didasarkan kepada keseragaman. Keindahan justru
tercipta bila terdapat perbedaan-perbedaan antara bagian-bagiannya yang
dipersatukan dalam satu kesatuan
tema. Keragaman dari bagian-bagian mem-perkaya nilai keseluruhan dan juga saling
mengangkat nilai yang dimiliki oleh setiap bagian.
Penutup
Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan
bangsa Indonesia yang dipetik dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular semasa
kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Semula Bhinneka Tunggal Ika menunjukkan
pada semangat toleransi keagamaan, khususnya antara agama Hindu dan Buddha. Setelah
diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia kon-teks permasalahannya menjadi
lebih luas yang meliputi suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Bhinneka Tunggal Ika merupakan pernyataan
jiwa dan semangat bangsa Indonesia yang meng-akui realitas bangsa yang majemuk,
namun tetap menjunjung tinggi kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika merumuskan dengan
tegas adanya harmoni antara kebhinnekaan dan ketunggalikaan, antara keaneka-an
dan keekaan, antara kepelbagaian dan kesatuan, antara hal banyak dan hal satu,
atau antara plu-ralisme dan monisme. Bhinneka Tunggal Ika ada-lah cerminan
keseimbangan antara unsur perbedaan yang menjadi ciri keanekaan dengan unsur kesamaan
yang menjadi ciri kesatuan.
Mensinergikan perbedaan dalam kebhinekaan
perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya bahaya disintegrasi, sekaligus
untuk mewujudkan cita-cita integrasi. Kuncinya, harus ada kesadaran, kemauan,
dan kemampuan untuk melihat kesama-an pada sesuatu yang berbeda.
Perbedaan dalam
masyarakat majemuk seperti Indonesia merupakan suatu
kenyataan. Karena itu janganlah
membeda-bedakan kenyataan yang memang sudah berbeda.
Membeda-bedakan sesuatu yang berbeda hanya akan menimbulkan bahaya disinte-grasi. Perbedaan dalam kebhinnekaan perlu
disinergikan atau dikelola dengan cara mendayagunakan
aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk membangun kebersamaan. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran, kemauan, dan
kemampuan untuk melihat kesamaan pada sesuatu yang berbeda.