Ketahuilah
-semoga Allah merahmatimu- bahwa pembahasan masalah baiat merupakan
pembahasan yang luas dan panjang lebar. Dibutuhkan penjelasan tentang pengertian
baiat menurut istilah yang biasa dikenal, berapa macam-macamnya, apa arti
sebenarnya, apa yang dimaksud dengan baiat tersebut, apa hikmah yang terkandung
dengan meletakkannya di atas manhaj ini, dengan apa baiat itu wajib, atas siapa
baiat diwajibkan, syarat-syarat sempurnanya baiat, serta dengan apa baiat itu
rusak.[[1]]
Karena pembahasannya besar dan
pelik sekali, maka kami akan meringkasnya pada dua permasalahan penting yang
menjadikan kebingungan dan perselisihan yang dahsyat atas kaum muslimin, yaitu
: "Kepada siapakah baiat itu wajib ? Apakah baiat itu boleh kepada
setiap individu?". Adapun masalah-masalah yang lain bukan di sini
tempatnya untuk membahasnya.
Kami mulai pembahasan ini dengan
definisi baiat secara etimologi maupun terminologi. Baiat secara bahasa ialah
berjabat tangan atas terjadinya jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat.
Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat "qad tabaa
ya'uu 'ala al-amri" seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu
perkara). Dan mempunyai arti : "shofaquu 'alaihi" (membuat
perjanjian dengannya). Kata-kata "baaya'tahu" berasal
dari kata "al-baiy'u" dan "al-baiy'atu"
demikian pula kata "al-tabaaya'u". Dalam suatu hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
'ala tubaa yi'uunii 'ala
al-islami'
"Maukah kalian membaiatku di
atas Islam"
Hadits di atas seperti suatu
ungkapan dari suatu perjanjian. seakan-akan masing-masing dari keduanya menjual
apa yang ada padanya dari saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa, ketaatan
dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan
telah berulang-ulang penyebutan kata baiat di dalam hadits.[[2]]
Bai'at Secara Istilah (Terminologi)
"Berjanji
untuk taat". Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian
kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan
urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu
mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam
keadaan suka atau terpaksa.
Jika
membaiat seorang amir dan mengikat tali perjanjian, maka manusia meletakkan
tangan-tangan mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat perjanjian, sehingga
menyerupai perbuatan penjual dan pembeli, maka dinamakanlah baiat yaitu isim
masdar dari kata baa 'a, dan jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan
syari'at.[[3]]
Dan
ba'iat itu secara syar'i maupun kebiasaan tidaklah diberikan kecuali kepada
amirul mukminin dan khalifah kaum muslimin. Karena orang yang meneliti dengan
cermat kenyataan yang ada baiat masyarakat kepada kepala negaranya, dia akan
mendapati bahwa baiat itu terjadi untuk kepala negara[[4]].
Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada musyawarah dari sebagian besar
kaum muslimin dan menurut pemilihan ahlul halli wal 'aqdi. Sedang baiat
selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti baiat mereka [[5]]
Banyak
sekali hadits-hadits yang menerangkan/membicarakan tentang baiat, baik yang
berisi aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang meninggalkannya.[[6]]
Berupa hadits-hadits yang sulit untuk menghitung maupun menelitinya. Tetapi
yang disepakati ialah bahwa baiat yang terdapat di dalam hadits-hadits ialah
baiat kolektif dan tidak diberikan kecuali kepada pemimpin muslim yang tinggal
di bumi dan menegakkan khilafah (pemerintah) Islam sesuai dengan manhaj kenabian
yang penuh dengan berkah [[7]]
Dibawah ini saya bawakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang baiat secara ringkas.
[I].
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang bejanji
setia kepadamu, mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan
mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya, niscaya akibat melanggar
janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada
Allah, maka Allah akan memberi pahala yang besar" [Al-Fath : 10]
[II]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap
orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka
Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas
mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat
(waktunya)" [Al-Fath : 18]
Di dalam as-Sunnah, diantaranya.
[I] "Artinya : Barangsiapa mati dan
dilehernya tidak ada baiat, maka sungguh dia telah melepas ikatan Islam dari
lehernya" [Dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu Umar]
[II] "Artinya : Barangsiapa berjanji setia
kepada seorang imam dan menyerahkan tangan dan yang disukai hatinya, maka
hendaknya dia menaati imam tersebut menurut kemampuannya. Maka jika datang
orang lain untuk menentangnya, maka putuslah ikatan yang lain tersebut"
[Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari Abdillah bin Amr bin Ash]
[III] "Artinya
: Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari
keduanya" [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Sa'id]
Dan
banyak lagi hadits-hadits yang lainnya.
Salah
seorang imam yang agung, Ahmad bin Hanbal, imam Ahlu Sunnah wal-Jama'ah ditanya
tentang riwayat dari hadits kedua yang tersebut di atas. Di dalamnya terdapat
kata imam. Beliau menjawab :"Tahukah kamu, apakah imam itu ? Yaitu kaum
muslimin berkumpul atasnya, dan semuanya mengatakan : "Inilah imam",
maka inilah makna imam"[[8]]
Al-Imam
Al-Qurthubi berkata [[9]]
:"Adapun menegakkan dua atau tiga imam dalam satu masa dan dalam satu
negeri, maka tidak diperbolehkan menurut ijma"
Kemudian
setelah hilangnya kekhalifahan, terjadilah perbedaan yang sangat tajam tentang
ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. Doktor Abdul Muta'al Muhammad Abdul Wahid
mengatakan : "Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab munculnya kelompok-kelompok
yang mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi imam.
Kelompok-kelompok ini bisa diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang
mendasar, yaitu :
1. Kelompok Pertama
Mengatakan
: "Sesungguhnya orang yang meninggalkan baiat adalah kafir". Lalu
mereka menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang tidak
membaiatnya adalah kafir menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar,
sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang yang diberi kabar akan masuk surga-
beliau tiadak membaiat Abu Bakar selama kurang lebih setengah tahun[[10]],
dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang kekafirannya selama beliau
meninggalkan baiat.
2. Kelompok Kedua
Mengatakan
:"Sesunguhnya baiat adalah wajib, barangsiapa
yang meniggalkannya berarti dosa". Dari sinilah mereka menetapkan
seorang amir bagi diri-diri mereka, sehingga gugurlah
dosa-dosa tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang benar adalah bahwa
dosa meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara membaiat amir tersebut.
Karena baiat yang wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah baiat
terhadap imam (pemimpin) muslim yang menetap di bumi dan menegakkan khhilafah
Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar [[11]]
3. Kelompok ketiga adalah mereka (kaum
muslimin) yang tidak membaiat seorangpun
Mereka
mengatakan : "Sesungguhnya meninggalkan baiat adalah berdosa, tetapi baiat
adalah hak seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi (walau) kenyataannya
tidak ada di masa sekarang". Menurut keyakinanku, kelompok ketiga inilah
yang berada di atas kebenaran" [[12]]
Dan
diantara hal yang menguatkan kebatilan baiat-baiat istitsnaiyyah
(pengecualian) yang merupakan perkara baru tentang baiat kepada Amirul
Mukminin -walaupun di kala tidak ada Amirul Mukminin- terdapat dalam keterangan
para ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan dalam baiat berkumpulnya Ahlul
Halli wal Aqdi, lalu mereka membentuk keimanan bagi seorang yang memenuhi
syarat-syaratnya [[13]]
KESIMPULAN DAN TARJIH
Jadi
yang dimaksud dengan baiat ialah, pemberian janji dari pihak pembaiat untuk
mendengar dan taat kepada amir, baik di kala senang atau terpaksa di masa mudah
atau sulit, tidak menentang perintahnya dan menyerahkan segala urusan
kepadanya. [[14]]
PERINGATAN
Dari
keterangan yang telah lewat, kita mendapatkan dua perkara yang penting, yaitu :
- Baiat tidak ada kecuali kepada Amirul Mukminin saja.
- Ketaatan (kepada Amirul Mukminin) muncul dari baiat yang hanya diberikan kepadanya saja.
Oleh
karena itu batal-lah[[15]]
semua baiat yang diberikan kepada seseorang (bukan Amirul Mukminin)
bagaimanapun bentuknya, baik ketika ada imam atau tidak ada, ada seorang atau
lebih.
Pada
hakekatnya dasar pemikiran baiat yang dimiliki sebagian jama'ah-jama'ah
Islam pada prinsipnya sesuai dengan syari'at Islam, karena mereka mengatakan di
dalamnya : "Hendaknya kita berjanji setia kepada Allah untuk menjadi
tentara dalam berdakwah kepada Islam dan di dalam baiat tersebut terdapat
kehidupan negeri dan umat"[[16]]
Padahal ini adalah perjanjian yang diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala atas
semua kaum muslimin.
Kemudian
terjadilah sedikit "perkembangan" pemikiran dan organisasi
pada orang-orang yang memberlakukan baiat terhadap diri-diri mereka, sehingga
terjadilah kelompok/jamaah ikhwan membaiat pemimpin umum (al-mursid al-aam)
sebagai orang yang dipercaya penuh dan didengar serta ditaati ketika suka atau
terpaksa, sampai Allah memenangkan dakwahnya dan mengembalikan kemualiaan
Islam.[[17]]
Kalau demikian terjadi keterjungkil balikan dan kesalahan.
Sebagai
buktinya diantara sistem kerja anggota baiat adalah taat baik di kala susah
atau mudah, terpaksa atau suka kepada kepemimpinan yang muncul dari
aturan-aturan yang dipegangi oleh jama'ah.[[18]]
Dua
keterangan terakhir ini menjelaskan dengan gamblang bahwa baiat istitsnaiyyah
yang tanpa dalil tersebut, tidak berbeda sedikitpun dengan baiat terhadap
Amirul Mukminin. Tidak sebagaimana yang disangka oleh "sebagian orang"
bahwa baiat tersebut hanya "sekedar janji"[[19]]
belaka !
Sebagai
penambah keautentikan penjelasan tersebut ialah bahwa para pengikut Asy-Syaikh
Hasan Al-Bana Rahimahullah menamainya dengan "Al-Imam".
Padahal penamaan ini [[20]]
hanya bisa diperuntukkan bagi orang yang benar-benar imam. Karena diketahui
bahwa al-ustadz Hasan Al-Banna tidak menyukai kepemimpinan dan mengetahui pula
bahwa cinta kepada kepemimpinan dengan tujuan mencari kekuasaan mengakibatkan
kejelekan bagi kaum muslimin pada sejarah mereka yang panjang, maka dia (Hasan
Al-Banna -ed) menamai dirinya dengan mursyid dan tidak suka untuk
menjadi pemimpin atau amir[[21]]
Karena
semua itulah sebagian penulis mengatakan : "Sesungguhnya baiat yang
diberikan kepada suatu jama'ah, tidaklah sama dengan baiat yang diberikan
kepada Amirul Mukminin ketika tegak khilafah atau penguasa muslim. Karena
dengan baiat tersebut perintah seorang penguasa menjadi wajib untuk ditaati,
sampai pada masalah-masalah yang mudah jika terdapat kemaslahatan di dalamnya.
Adapun baiat yang terdapat pada Ikhwan al-Muslimin (dan katakan seperti itu
juga pada jama'ah-jama'ah Islam lainnya), maka tidak mempunyai sifat yang
mewajibkan (untuk taat, -ed) dari sisi fikih" [[22]]
Untuk
menjawab perkataan ini dari beberapa sisi.
- Tidak terdapat dalil atas pemisahan (baiat) ini dalam Al-Kitab dan As-Sunah.
- Sebelumnya telah saya nukilkan teks-teks dari ucapan Asy-Syaikh Hasan Al-Banna dan lainnya, dan tidak terdapat isyarat yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan di dalamnya terdapat isyarat kepada khilafah, tatkala menyebutkan "ketaatan yang mutlak"!!
- Penelitian terhadap keberadaan jama'ah-jama'ah Islam dan tingkah para pemimpin serta anggotanya, berlawanan dengan pernyataan di atas. [[23]]
Jika anda heran wahai saudaraku
pembaca, maka lebih mengherankan lagi ucapan orang yang membantah ini yang
menyatakan bahwa baiat tersebut tidak mempunyai sifat yang mewajibkan (untuk
taat). Maka ucapan ini berarti membatalkan semua baiat dari akarnya. Hal ini
diketahui dengan menjawab dua pertanyaan berikut ini.
- Jika baiat tidak membuat adanya suatu kewajiban (untuk taat), lalu apa faedahnya ?
- Apakah di dalam syariat Islam ada amalan yang tidak ada faedahnya?
Orang
yang mencari dan memperhatikan, kritis dan jeli akan mengetahui jawabannya !
KESIMPULAN
PEMBAHASAN DAN BEBERAPA TAMBAHAN
1.
Baiat dengan berbagai
macamnya tidak diberikan kecuali kepada khalifah kaum muslimin yang melaksananakan
hukum-hukum dan menetapkan hukum had.
2.
Mendengar dan taat tidak ada kecuali bagi orang yang
Allah memberikan perintah untuk mentaatinya. Dan yang menjadi fokus pembahasan
kita di sini adalah Amirul Mukmin saja! [[24]]
3.
Disebabkan oleh perbedaan
kaum muslimin sekarang ini dalam memahami baiat dan tidak sepakatnya mereka di
atas pemahaman yang syar'i dan benar tentang baiat, maka mereka saling
bermusuhan, berpecah belah dan bersilang pendapat. Suatu kondisi yang akan
menimbulkan penyimpangan di dalam beramal bersama hukum-hukum fikih. Begitu
pula anggapan bahwa mereka adalah jama'atul muslimin, dapat menimbulkan
kerusakan dan menghukumi kaum muslimin di luar lingkup mereka dengan
hukum-hukum yang justru akan menjauhkan mereka dengan risalah yang sesungguhnya,
karena celah-celah dakwah kepada Allah telah terkunci.[[25]]
Bukti semua itu (sebagai contoh) bahwa di New York saja terdapat lebih dari
empat puluh kelompok yang menyeru kepada Islam, akan tetapi setiap jama'ah
menyeru kepada Islam yang berbeda seruan Islamnya dengan yang lain.[[26]]
Atas dasar itulah, wajib bagi
kita untuk benar-benar meyakini bahwa gejala munculnya banyak kelompok di dalam
pergerakan Islam tidak mungkin dianggap sebagai gejala yang sehat, karena
efeknya bagi perkembangan Islam negatif dan buruk. Sedang akibatnya akan
menimbulkan kesulitan di antara para aktifis serta menyibukkan mereka sendiri
yaitu ketika menghadapi gugurnya sebagian anggota dakwah dan beban-beban yang
lainnya.[[27]]
Maka kenyataan yang dapat disaksikan bahwa keadaan para da'i pada masa sekarang
ini adalah hasil dari perpecahan yang tajam dan menyakitkan ini, suatu keadaan
yang tidak menyenangkan. Bahkan suatu keadaan yang sangat menyedihkan yang
tidak boleh terus berlarut-larut keadaannya. Dan setiap muslim bertanggung
jawab untuk mengobati gejala ini, agar kaum muslimin kembali sebagaimana
sebelumnya yaitu sebagai umat terbaik yang dikeluarkan bagi mausia dan agar
agama ini semuanya hanya untuk Allah.[[28]]
Tidak hanya dalam satu ayat saja
dari kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala terdapat perintah untuk bersatu dan
bermufakat serta larangan untuk berselisih dan berpecah belah. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan janganlah
kamu menyerupai orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang
keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang
berat." [Ali-Imran : 105]
Dan
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah dia, dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa" [Al-An'am : 153]
Dan
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan,
yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesunguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar" [Al-Anfal : 46]
Dan
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kemudian mereka menjadikan agama mereka
terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tipa golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada sisi mereka" [Al-Mukminun : 53]
[4] Al-Ushul
Fikriyyah li al-Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid Nizham al-Hukmi (262), keduanya
tulisan al-Kahlidi
[10] Dan ini tidak benar
secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab Tahdzir Al-Abqari min
Muhadharat al-Khudhari (I/198) karya Al-Syaikh Muhammad al-Arabi al-Tibyani
[11] Walaupun dia (khilafah)
berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagaimana
dalam kitab Syarh 'Aqidah al-Thahawiyyah, hal.379
[15] Maka wajib bagi orang
yang terkungkung dengan baiat-baiat bid'ah seperti ini untuk meninggalkan dan
mebatalkannya. Karena baiat tersebut batil. Selain demi menjaga agama dan untuk
mengikutinya.
[16] Mudzakirat
al-Da'wah wa al-Daiyyah, hal, 72 Hasan al-Banna. Dan lihat pembahasan selanjutnya, hal.35
[17] Idem, hal.194. Doktor Zakariya Sulaiman Biyumi
berkata di dalam kitabnya AL-Ikhwan al-Muslimin wa al-Jama'at al-Islamiyah hal.75
: "Dan al-Banna pada masalah tersebut terpengaruh pada kitab-kitab Thariqah
al-Hashafiyyah yang pada tahapan-tahapannya akan memindahkan seorang
pengikut menjadi pemabiat ..." dan seterusnya. Dan lihat penagruh Thariqat
al-Hashafiyyah pada pribadi Hasan al-Banna dan dakwahnya di dalam At-Tafsir
as-Siyasi li al-Islam, hal.130 oleh An-Nadwi
[19] Akan datang bantahannya disertai penjelasan
pertentangan orang yang mengucapkan perkataan tersebut, Inys Allah Ta'ala.
[20] Jangan sampai ada orang yang mengatakan : 'Tidak
lain yang dimaksud oleh mereka adalah imam di bidang ilmu, dengan bukti
kualitas keilmuannya di dalam karangan-karangan dan kitab-kitabnya. Dan apa
yang diucapkan sendiri tentang pribadinya di dalam Al-Mudzakkirat,
hal.65.
[21] Fiqh al-Da'wah al-Islamiyah ..." hal, 23. oleh Al-Ghazali. Dan lihat apa
yang diceritakan sendiri oleh Hasan al-Banna di dalam Al-Mudzakkirat, hal.
114-115, tentang apa yang dilakukan oleh ornag yang mempunyai kedudukan dan
keamiran.
[22] Al-Ijabaat, hal.87. Sa'id Hawwa. Padanya banyak sekali pertentangan
di dalam masalah baiat bila dibandingkan karangannya Tarbiyatuna al-Ruhiyyah,
hal.243-245
[24] Didalamnya terdapat isyarat untuk taat kepada kedua
orang tua, ulama dan lain sebagainya. Dan bukan disini pembahasannya.
[27] Al-Mustaqitun fi Thariq al-Da'wah, hal.126 Fathi Yakan. Di dalamnya banyak sekali
kesalahan, terutama judulnya
[29] Lihat al-Dustur al-Qur'ani wa al-Sunnah
al-Nabwiyyah fi syu'uni al-Hayah (2/26, 314), Muhammad Izzah Druzah