BAB I
Pendahuluan
a. Latar belakang
Menurut ilmu kalam, manusia dikatagorikan sebagai hayawanun-nathiq yang berarti hewan yang bisa berfikir, atau dikatakan juga makhluk yang memiliki akal. Sehingga wajarlah bila dalam kehidupan sehari-hari ada manusia yang melakukan perbuatan sadis atau biadab, ia dikatakan sebagai manusia yang tidak berperikemanusiaan alias tak berbeda dengan kelompok binatang.
Al-Islam memiliki visi tersendiri berkaitan dengan sebutan manusia yang berakal tadi. Di antaranya ada beberapa pendapat dari orang-orang yang memiliki pandangan mendalam dalam memahami seluk-beluk al-Islam sebagaimana dikutip berikut ini.
Hasan bin Ali ra menyatakan bahwa ucapan orang yang berakal berada di belakang hatinya, maka bila ia ingin berbicara niscaya merujuk terlebih dahulu kepadanya. Sedangkan ucapan orang yang bodoh berada di depan hatinya, sehingga ia selalu mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan hatinya.
b. Rumusan masalah
Bagaimana tuntunan berfikir mazhab nathiq
c. Tujuan
Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ilmu mantiq
BAB II
Pembahasan
1. Ulul Albab sebagai Insan Nathiq yang Berfikir
Secara etimologis, ulul albab adalah golongan manusia yang menggunakan akal pikiran dan ketundukan hatinya, (ashhab al-‘ukul), sedangkan insan nathiq manusia yang berpikir.
Untuk memahami makna ulul albab dan insan nathiq, dapat ditelusuri melalui penjelasan pencipta insan, yaitu Allah Swt dalam firman-firmannya. Pemahaman ini akan menyadarkan manusia akan hakikat dan jati dirinya, bagaimana hubungan dirinya sendiri dengan penggunaan potensi nalar (akal) dalam memikirkan dirinya dan segala sesuatu di luar dirinya, serta fungsi kehadirannya di persada bumi ini.
Di sini manusia diberi definisi formal sebagai ‘animal rational’ atau ‘binatang yang berpikir”. Definisi ini sekurang-kurangnya mengandung gagasan tentang arti ‘rasional’ sebagaimana dipahami secara umum, yaitu ‘nalar. Dalam sejarah intelektual di Barat konsep tentanng ‘rasio’ telah mengalami perubahan sedemikian rupa dalam perkembangannya, bahkan menjadi penuh dengan kontroversi dan problematic. Seacara bertahap ia dipisahkan dari ‘intelek’ (intelectus), kemampuan tertinggi manusia untuk membedakan yang salah dan benar, serta untuk mengenal kebenaran tertinggi. Para filosof Muslim tidak memahami rasio sebagai terpisah dari apa yang disebut intellectus atau al-`aql. Bagi mereka `aql merupakan kesatuan organic dari rasio dan intelectus (al-Attas 1980:37). Dengan cara demikianlah filosof Muslim mendefinisikan manusia sebagai al-hayawan al-nathiq. Di sini kata al-nathiq menunjuk pada fakulti batin manusia berkenaan dengan nalar atau kemampuan berfikir secara rasional dan intelektual, yaitu ‘merumuskan makna-makna’ (dzu-nuthuq).
Akar kata nathiq dan nuthuq mempunyai makna dasar ‘pembicaraan’, yaitu ‘pembicaraan manusia’. Setelah dibentuk menjadi kata-kata nathiq dan nuthq maka ia berarti sebagai kekuatan, atau kesanggupan dan kemampuan tertentu dalam diri manusia untuk ‘menyampaikan kata-kata dalam sebuah pola yang bermakna’. Kepada pengertian inilah apa yang diucapkan Nabi Muhammad s.a.w. kepada Ali bin Abi Thalib r.a. dapat kita rujuk,
Dari apa yang telah dikemukakan kata-kata al-hayawan al-nathiq itu dapat diartikan sebagai ‘binatang berbahasa’ sebab bahasa merupakan hasil pemikiran manusia dan berbahasa dengan baik hanya mungkin dapat dicapai dengan kecerdasan berpikir. Berbahasa berarti menyampaikan simbol-simbol linguistik ke dalam suatu pola bermakna. Penyampaian itu hanya dapat dimengerti dengan sarana kerohanian yang tertinggi yang disebut `aql. Menurut Muhmmad Naquib al-Attas, kata `aql itu sendiri pada sasrnya bermakna sejenis ‘ikatan’ atau ‘simpul’, sehingga ia bisa diberi arti sebagai ‘atribut batin manusia yang mengikat dan menyimpulkan obyek-obyek ilmu dengan menggunakan sarana kata-kata’. Ingatlah bahwa al-Qur’an juga mengatakan bahwa hanya Adam (manusia) yang dikaruniai ‘pengetahuan tentang nama-nama’ oleh Allah. Dan pengetahuan tentang nama-nama itu tidak adalah pemahaman atau pengetahuan tentang obyek-obyek menyangkut perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya, cirri-ciri atau sifat-sifat khususnya, keadaan dan bentuknya, serta tempatnya dalam tatanan wujud metafisis dan fisis kehidupan.
Akar kata nathiq dan nuthuq mempunyai makna dasar ‘pembicaraan’, yaitu ‘pembicaraan manusia’. Setelah dibentuk menjadi kata-kata nathiq dan nuthq maka ia berarti sebagai kekuatan, atau kesanggupan dan kemampuan tertentu dalam diri manusia untuk ‘menyampaikan kata-kata dalam sebuah pola yang bermakna’. Kepada pengertian inilah apa yang diucapkan Nabi Muhammad s.a.w. kepada Ali bin Abi Thalib r.a. dapat kita rujuk,
Dari apa yang telah dikemukakan kata-kata al-hayawan al-nathiq itu dapat diartikan sebagai ‘binatang berbahasa’ sebab bahasa merupakan hasil pemikiran manusia dan berbahasa dengan baik hanya mungkin dapat dicapai dengan kecerdasan berpikir. Berbahasa berarti menyampaikan simbol-simbol linguistik ke dalam suatu pola bermakna. Penyampaian itu hanya dapat dimengerti dengan sarana kerohanian yang tertinggi yang disebut `aql. Menurut Muhmmad Naquib al-Attas, kata `aql itu sendiri pada sasrnya bermakna sejenis ‘ikatan’ atau ‘simpul’, sehingga ia bisa diberi arti sebagai ‘atribut batin manusia yang mengikat dan menyimpulkan obyek-obyek ilmu dengan menggunakan sarana kata-kata’. Ingatlah bahwa al-Qur’an juga mengatakan bahwa hanya Adam (manusia) yang dikaruniai ‘pengetahuan tentang nama-nama’ oleh Allah. Dan pengetahuan tentang nama-nama itu tidak adalah pemahaman atau pengetahuan tentang obyek-obyek menyangkut perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya, cirri-ciri atau sifat-sifat khususnya, keadaan dan bentuknya, serta tempatnya dalam tatanan wujud metafisis dan fisis kehidupan.
Jadi kemuliaan manusia terutama ditentukan oleh pencapaian akalnya, serta realisasi dari apa yang dicapai oleh akalnya dalam kehidupan, dan kearifannya dalam mengarahkan hidupnya menuju kebaikan dan kebenaran. Kata-kata `aql berpadanan dengan kata-kata qalb (kalbu). Sebagaimana kalbu, yang merupakan alat pencerapan pengertian ruhaniah, demikian pula halnya dengan akal. Keduanya dengan demikian merupakan substansi (jawhar) ruhaniah yang dengannya ‘diri rasional’ (al-nafs al-nathiq) seseorang dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan (lihat al-Jurjani 157).
Dalam membuat definisi yang benar tentang manusia sebagai al-hayawan al-nathiq ialah bila yang kita maksud dengan al-nathiq (nalar) dalam pendefinisian itu ialah ‘kemampuan untuk memahami pembicaraan dan kesanggupan untuk beranggung jawab atas perumusan makna – yang melibatkan penilaian, pembedaan, pencirian dan penjelasan, serta yang berkaitan dengan penyampaian kata-kata atau ungkapan dalam suatu pola yang bermakna. Kata-kata makna atau ma`na harus didasarkan pada arti kata ma’na sebagai konsep dalam ilmu dan falsafah Islam, yaitu “pengenalan tempat-tempat segala sesuatu dalam tatanan wujud masing-masing”. Pengenalan seperti hanya mungkin terjadi bilamana ‘hubungan’ sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam tatanan tersebut telah ‘terjelaskan’ dan ‘terpahamkan’. Hubungan tersebut menguraikan keteraturan tertentu.
Hakikat manusia, dalam pengertian ini, ditentukan oleh substansi ruhaniahnya yang berperan mengenal sesuatu secara benar, yaitu tempat sesuatu dalam tatanan wujudnya masing-masing dan hubungannya dengan yang lain dalam tatanan wujud yang lain yang membentuk keteratuiran. Obyek-obyek pengenalan yang memiliki keteraturan hubungan satu sama lain itulah yang merupakan obyek ilmu pengetahuan, yang dikatakan Nabi sebagai modal dan tangan beliau (sarana menguasai sesuatu).
2. Seputar Akal, Indera dan Qolb
1. Akal
Kata akal berasal dari bahasa arab al-‘aql, arti kata tersebut adalah sama dengan al- Idrak (kesadaran) dan al-Fikr (pikiran, al- Hirj (penahan). Kata tersebut maknanya sama. Dalam bahasa arab kata tersebut disebut mutaradif atau sinonim. Sementara menurut Ibnu Manzur ‘aqala bermakna pula habasa berarti mengkaji, disamping itu dengan kata- kata sejenis itu ‘aqala dikaitkan dengan kemampuan manusia untuk mengikat fakta terutama digunakan untuk mengikat nafsu. Jadi akal adalah kemampuan khas yang diberikan pencipta kepada manusia untuk mampu mengikat realita yang dicerap dan diolah oleh otak dengan menggunakan informasi sebelum kemudian dimaknai, mengolah dan mengendalikan dalam bentuk konsep berupa perkataan, pikiran dan perbuatan.
a. Sifat-sifat akal ialah :
Pertama, kedudukannya adalah sesuatu yang pertama dan keesaan yang pertama dari segala segi, menjadi berbilang dengan akal, karena dengan adanya akal (pikiran), maka ada lagi yang menjadi objek pemikiran (ma’qul).
Kedua, akal keluar dari yang pertama bukan dalam proses waktu, sebagaimana halnya dengan wujud lainnya.
Ketiga, keluarnya akal dari yang pertama tidak mempengaruhi kesempurnaannya, demikian pula keluarnya yang kurang sempurna dari yang lebih sempurna.
Keempat, akal keluar dari yang pertama dengan sendirinya, tidak perlu mengandung paksaan atau perobahan padanya, bukan pula karena kehendak dan pilihannya karena penetapan kehendak (iradah) berarti merusak keesaannya, sebab dengan sendirinya (natural necessity), maka keesaan yang pertama tetap terpelihara tanpa menimbulkan bilangan.
Kelima, kedudukan akal diantar semua wujud ialah sebagai pembuat alat. Akal ini juga mengandung ide-ide dari plato, yang bukan idea of the good, karena idea of the good ini adalah yang mengeluarkan akal tersebut.
b. Letak Akal
Ada beberapa pemikir yang berpendapat menegnai keberadaan atau letak akal, sebagian pemikir mengatakan bahwa, akal terdapat di dalam otak (kepala), sedangkan menurut pemikir lainnya letak akal terdapat dalam hati. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa akal terdapat di dalam otak dan di dalam hati, akal dan hati merupakan kesatuan. Dalam salah satu sabdanya Rasulullah SAW bersabda :
“Bahwa akal adalah cahaya (nur) yang terdapat di dalam hati yang dapat membedakan antara benar dan tidak benar”.
2. Indrawi (jasmani)
Jasmani terdiri dari badan kasar, berupa wujud fisik, sifatnya tergantung pada materi dan memiliki kecenderungan biologis-primitif, dapat hancur dan rusak, tetapi merupakan tempat penting bagi eksistensi wadahnya unsure kehidupan.
3. Qolb (nafs)
Dalam Mu’jam al- Wasit disebutkan bahwa salah satu makna Qolb adalah jantunng yang enjadi pusat peredaran darah. Letak jantung berada di dada sebelah kiri. Qalb berasal dari kata qalaba yang berarti berubah, berpindah atau berbalik, kata qalb berari hati atau jantung. Secara fisik jantung selalu berdetak dan naik turun, bolak- balik memompakan darah. Sedangkan secara fisik qalb berarti bolak- balik antara ya dan tidak, yakin dan ragu ataupun tenang dan gundah.
Qolb atau nafsani merupakan unsur penghubung antara jasmani dan rohani, karena itu ia dapat bersifat dan berkecenderungan seperti jasmani tetapi disisi lain juga memiliki kecenderungan dan sifat seperti ruhani. Karena itu seperti disebutkan dalam QS.Al-Syams: 8-9, nafs adalah potensi dari Allah yang diilhami dengan dua kecenderungan baik dan buruk, ilham fujur dan ilham taqwa yang sama-sama memiliki tarikan yang kuat.
Pada saat mengaktualkan dirinya maka nafs memiliki tiga potensi ghorizah dan tiga pola kerja, yaitu :
1. Yang berkecenderungan kepada hal-hal yang baik, pola kerjanya bersifat bolak-balik, lebih dekat kepada ruh, ialah qolbu, wujud fisiknya Al-Dhimagh atau jantung, ia disebut hati atau qolb karena sifat kerjanya yang qolaba atau bolak-balik. Qolb ini kecenderungannya pada rasa atau afektif dalam psikologi bara.
2. Yang berekcenderungan kepada hal buruk, pola kerjanyamenyuruh sebagai daya dorong terutama dalam eksistensi hidup, ialah nafs dalam arti sehari-hari disebut nafsu. Meskipun begitu, sesuai potensi nafs itu sendiri memiliki kecenderungan kepada kebaikan. Menurut TQN ada tujuh nafsu potensial, yaitu : ammarah, lawwamah, sawiyah, muthmainnah, mardhiyah, rodhiyah, kamilah.
3. Yang bersifat memutuskan, mengikat, menimbang dan senantiasa berpikir, inilah yang disebut akal. Ia disebut akal karena pola kerjanya yang akala, yaitu mengikat, menimbang, dan memutuskan. Wujud fisiknya ialah otak sebagai organ penting untuk berpikir. Akal ini bersifat di tengah karena itu ia dapat saja cenderung kepada nafs atau qolb tergantung siapa yang memimpin pada diri manusia itu.
Dari ketiga aspek mengenai aqal, indra dan qolb merupakan objek berpikir yang berprinsip pada ulul albab yag dimana terdapat keseimbangan diantara akal, indra dan qolb tersebut, agar akal terhindar dari kesalahan dan kekeliruan dalam berpikir.
BAB III
PENUTUP
Dari kesimpulan diatas berhubungan dengan insan nathiq manusia, yang di dalamnya berisi objek ilmu pengetahuan, sifat-sifat akal dan yang terdapat pada manusia itu sendiri.
Jadi insan nathiq penting dipelajari oleh kita dan mendalami lebih dalam tentang nathiq juga semua yang terdapat di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
M. Thalib, Melacak Kakafiran dalam Berpikir, Pustaka Al-Kautsar, 1991
Murtadha Muthahari, Pengantar menuju Logika, Pesantren Islami, Bangil, 1994
Posting Komentar