Akal
Ketika kontroversi masalah fatwa haram bunga bank oleh MUI ‘kembali’ terjadi, seorang pendengar mengungkapkan, “Masa sebagai seorang yang beragama Islam yang percaya bahwa Al Quran sebagai kitab sucinya, masih ada pihak-pihak yang menolak pendapat bahwa bunga bank itu termasuk riba, itu jelas-jelas haram menurut Al-Quran. akalnya ditaruh di mana sih?”. Ungkapan tersebut, bisa jadi merupakan sebuah bentuk keheranan, ketidakpercayaan, atau kekesalan masyarakat terhadap suatu fenomena.Ada satu kata yang menarik dari kedua ungkapan tadi, yaitu kata akal. Apa yang menyebabkan sesuatu tidak masuk akal? Makhluk apa pula yang bernama akal itu sehingga bisa ditaruh-taruh dan dimasuki sesuatu?
Definisi Akal
Dalam Al Quran, banyak sekali ayat-ayat yang mencantumkan kata yatafakkaruun diujungnya. Kebanyakan menyuruh atau memperingatkan manusia untuk berpikir, merenung atau bertafakkur.
Secara istilah akal (aql) berarti kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengetahui, membedakan baik dan buruknya sesuatu sehingga manusia mampu menyelesaikan permasalahan kehidupannya. Akal akan selalu menuntun manusia kepada kebenaran dan kesempurnaan. Akal menjadi ciri kemanusiaan seseorang yang membedakannya dari binatang. Akal membuat manusia mampu menghasilkan kebudayaan dan peradaban. Dengan akalnya pula sebagai salah satu sumber pengetahuan yang terdapat dalam dirinya manusia menemukan Tuhan. Imam Ali, dalam Nahjul Balaghah mengungkapkan bahwa akal adalah kekayaan manusia yang utama. Harta manusia yang paling berharga. Sementara kemiskinan manusia yang paling utama adalah kebodohan manusia itu sendiri. Akal dikatakan sebagai sesuatu yang berfungsi untuk mengendalikan, meredam, dan menolak serta menyingkirkan dorongan dan hasutan jahat hawa nafsu dalam hati manusia.
Akal dan Agama
Dari pengertian tersebut tadi jelaslah bahwa akal akan selalu menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhannya. Akal akan cenderung untuk selalu menyembah kepada pemiliknya, suatu dzat maha sempurna yang menjadi tempatnya bergantung. Orang yang memaksimalkan fungsi akalnya tentu saja akan semakin kuat keberagamaannya. Karena apa yang diinginkan akal juga sesuai dengan apa yang diajarkan agama melalui Rasul dan kitab sucinya. Akal dan Agama adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan.
Allah swt dalam surat al-Rum ayat 30 berfirman : “...(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus”.
Hal ini membuktikan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan agama. Syariat agama merupakan faktor eksternal (akal luar) yang menyuruh manusia untuk menyembah Tuhan dan Akal adalah faktor internal (dalam diri) manusia yang menuntunnya untuk menyembah Tuhan. Yang membedakan hanyalah faktor dari mana berasalnya saja, internal dan eksternal.
Lalu bagaimana dengan permasalahan banyaknya para ilmuwan (saintis) sekuler yang mengaku tidak beragama, padahal mereka adalah orang-orang pintar yang telah memaksimalkan fungsi akalnya? Tidakkah ini bertentangan (kontradiktif) jika di awal dikatakan bahwa akal dan agama itu mempunyai kesamaan visi dan tujuan? Mengapa pula kebanyakan dari mereka yang berasal dari dunia belahan barat itu yang lebih maju peradabannya tanpa agama? Bukankah peradaban itu merupakan hasil olah pikir akal manusia? Mengapa di dunia belahan timur yang mengaku beragama masyarakatnya justru tertinggal? Adakah yang salah antara hubungan akal dan agama yang berdasarkan pengertian awal bahwa keduanya adalah ibarat dua sisi mata uang?. Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang akan dan harus dimunculkan jika masalah hubungan antara akal dan agama ini dibahas.
Beberapa alternatif jawaban bisa diberikan berkenaan dengan masalah tersebut. Logika apa yang terjadi dalam hubungan antara akal dan agama yang sesuai menurut teori tapi pada praktek (kenyataan)nya bertentangan dengan apa yang terjadi di sekitar kita saat ini.
Pertama, ada agama yang mematikan pertanyaan akal (membunuh akal). Sehingga tidak mampu menghasilkan masyarakat yang tinggi tingkat intelektual sekaligus spiritualnya.
Kedua, ada agama yang memberikan peran kepada akal, tapi tidak dikenal atau belum dipelajari oleh ilmuwan (saintis) atau masyarakat yang mengaku tidak memeluk agama tersebut. Hal tersebut terjadi karena kebelumtahuan, keengganan, atau kemalasan saja untuk mempelajari pengetahuan agama. Dengan kata lain, di antara sekian banyak ajaran agama yang ada, terdapat agama yang ajarannya rasional/masuk akal. (Lihat syarat-syarat agama yang benar pada edisi jumat yang lalu dari buletin ini-pen)
Ketiga, harus dibedakan antara agama dan tafsiran terhadap agama. Sebagai contoh, bisa jadi tafsiran sebagian orang Islam terhadap Islam salah. Sementara Islam sendiri tetaplah sebuah ajaran agama yang lurus/haq. Kesalahan penafsiran ini menjadikan masyarakat Islam mengalami kemunduran.
Jika ajaran Islam menyuruh manusia untuk memfungsikan akalnya maka sebagian umat Islam saat ini ternyata masih mengunci mati, membunuh atau belum mengoptimalkan akal nya .
Keempat, kenyataan saat ini yang terjadi adalah masih banyaknya manusia (baik yang mengaku beragama ataupun yang tidak) belum mampu menggunakan akalnya sehingga dapat mengendalikan hawa nafsunya. Dorongan hawa nafsu dapat menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan kehidupan baik alam maupun sosial. Hawa nafsu ingin berkuasa yang berlebihan menjadikan seseorang menindas manusia yang lain. Hawa nafsu terhadap kekayaan yang berlebihan menjadikan seseorang mengeksploitasi alam dan sesama manusia secara tidak adil. Sementara hawa nafsu syahwat yang berlebihan menjadikan orang kalap sehingga melupakan tata cara dan etika yang benar dalam melakukan kehidupan seksualnya.
Dari alternatif jawaban-jawaban tersebut dapat diketahui bahwa manusia yang menemukan agama yang rasional serta mampu mengendalikan hawa nafsunya melalui akal akan mampu membangun masyarakat berperadaban tinggi, berkeadilan, yang ditopang oleh sains dan teknologi yang maju tapi tetap berlandaskan pada nilai-nilai agama (religius).
Peran akal
Permasalahan selanjutnya ketika masalah hubungan akal dan agama sudah terjawab adalah bagaimana sebenarnya peran akal itu?
Peran penting akal tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian (dalam Hawa Nafsu, karya Muhamad Mahdi al Ashify, 72)
1. Mengenal Allah swt. sebagai pangkal dan titik tolak tugas akal.
2. Ketaatan mutlak kepada segala perintah Allah swt
3. Ketakwaan kepada Allah swt, yang merupakan sisi lain dari ketaatan kepada Allah, yang berupa melaksanakan kewajiban dan menjauhi laranganNya.
Berdasarkan hadits, Rasulullah saww bersabda: “akal terbagi menjadi tiga bagian, dan barangsiapa menyandangnya maka sempurnalah akalnya, dan yang tidak, maka dia tidak berakal.
1. Mengenal Allah swt secara benar
2. Ketaatan yang mutlak kepada Allah swt
3. Kesabaran yang mendalam untuk menjalankan perintah-Nya” (Biharul Anwar 1 : 106)
Penutup
Setelah mengetahui hubungan mengenai akal dan agama serta peran akal yang benar, maka dapat disimpulkan bahwa sumber pengetahuan dalam diri manusia berupa akal adalah alat maha penting yang harus benar-benar dioptimalkan agar manusia dapat mengenal Tuhannya.
Munculnya keinginan yang kuat untuk mendekatkan diri kepada yang maha sempurna merupakan tanda-tanda telah difungsikannya akal seorang manusia. Akankah kita terus mengikuti godaan gejolak hawa nafsu yang buruk, menutup peran akal yang merupakan pengendalinya dan terus-menerus enggan mengenal dzat yang menciptakan kita melalui pengetahuan agama yang sejalan dengan akal?.
Akal
Sabtu, 22 Juni 2013 |
Label:
Artikel
by Jakabg123
Agama dan Budaya
Sabtu, 15 Juni 2013 |
Label:
Artikel
by Jakabg123
Apakah budaya bisa menggantikan agama sebagai saluran
spiritualitas (ibadah) manusia kepada Tuhan? C. Joe Arun, antropolog
agama dari India, menjawab, tidak bisa. Dalam sejarahnya, budaya tidak
pernah menghasilkan agama. Lain halnya dengan agama, ia dapat
menghasilkan budaya. Dengan demikian, agama dapat menjadi saluran
kelahiran budaya.
Sistem interaksi manusia, aturan hidup, dan pola tatakrama dapat
dilahirkan dari agama yang selanjutnya menjadi budaya. Manusia dapat
membuat aturan yang dikonstruk dari agama. Manusia dapat menciptakan
sistem pendidikan yang dikontsruk dari agama. Akan tetapi, orang tidak
dapat menciptakan substansi peribadatan dari alur pikir budaya.
Agama dan budaya harus dipetakan secara jelas, supaya terlihat mana
budaya dan mana agama. Kenapa agama dan budaya harus dipetakan secara
jelas? Jawabanya, agar tidak keliru dan tertukar substansi keduanya.
Sebab, di Indonesia, agama merupakan ranah publik yang diatur juga oleh
hukum publik. Salah satunya aturan pelecehan agama diatur oleh KUHP.
Saat ini akar konflik agama lahir dari kekeliruan orang dalam
memahami agama dan budaya. Terdapat doktrin yang lahir dari individu
non-nabi kemudian diarak secara masal menjadi doktrin komunal dan
diaggap sebagai agama. Padahal, yang lebih pantas doktrinh individu
non-nabi hanya diposisikan sebagai produk budaya, tidak layak dianggap
sebagai doktrin agama. Sebagai contoh, ahmadiyah. Ia lahir dari pikiran
individu non-nabi yang ditarik oleh sebuah kekuatan sosial dan politik
hingga loncat menjadi agama.
Dalam agama terdapat dua elemen penting, yaitu substansi dan teknis.
Terkait substansi manusia tidak bisa ikut campur. Ia hanya urusan Tuhan,
yang memberikan agama. Dalam hal teknis, manusia bisa ikut campur.
Sebagai contoh hari raya keagamaan. Hari raya keagamaan merupakan teknis
yang bisa dibuat oleh manusia. Namun, substansinya tidak bisa
digantikan dan direkayasa oleh manusia. Rajaban, umpamanya, kegiatannya
tidak bisa hanya diisi dengan kegiatan dangdutan atau nasyidan lalu
diklaim secara lantang bahwa itulah substansi rajaban. Rajaban adalah
teknis, sedangkan substansinya adalah kegiatan-kegiatan kebaikan,
seperti pengajian umum atau zikir bersama.
Pertanyaan selanjutnya, apakah agama dan budaya harus dipertahankan
sampai akhir zaman? Jawaban UNESCO, ya, harus dipertahankan, tidak bisa
disingkirkan oleh sistem-sistem lainnya. Salah satu program yang diusung
oleh UNESCO pada tahun 1999 adalah Culture and Rreligion for
Sustainable Future. Agama dan budaya harus tetap ada sebagai bagian dari
kehidupan umat manusia.
Paling tidak ada dua lasan. Pertama, sampai saat ini manusia masih
membutuhkan agama. Kegiatan-kegiatan keagamaan tidak pernah surut dari
waktu ke waktu, bahkan di beberapa kawasan di Indonesia, juga belahan
dunia Muslim lainnya, mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Kedua, agama dapat menjawab hal-hal keakhiratan yang menjadi bagian dari
rasa ingin tahu manusia. Hal-hal keakhiratan tidak bisa dijawab dan
dipenuhi oleh teknologi dan sains, walaupun para penganut sainstologi
mengklaim bahwa urusan akhirat akan bisa terjawab dan terpetakan secara
clear oleh sains, seperti clear-nya urusan tata surya yang dipetakan dan
dijelaskan secara rinci oleh sains.
Saya yakin, agama dan budaya tidak akan hilang ditelan zaman. Namun,
keduanya jangan sampai pacorok kokod, tumpang tindih. Agama posisikan
sebagai agama, budaya posisikan sebagai budaya. Harus dipertegas mana
garis putih agama dan budaya. Sebuah budaya tidak bisa digiring oleh
untuk diklaim sebagai agama, sebab beresiko memancing konflik sosial dan
mengundang pertengkaran. Budaya yang saya maksud di sini adalah buah
pikiran atau nalar manusia.
Tampaknya, benturan massa akibat Ahmadiyah pun adalah dikarenakan
tidak tepatnya kita menempatkan mana yang seharusnya menjadi agama dan
mana yang seharusnya menjadi budaya. Ahmadiyah sebagai produk pemikiran
individu seharusnya menjadi produk budaya, tidak lantas diangkat ke
level lebih jauh sebagai agama.
Memang, ada satu hal yang sangat penting dalam agama. Daya tarik
agama sangat tinggi. Penyebutan dan pengaitan sesuatu kepada agama
sangat seksi. Suatu pemikiran yang dikatakan sebagai agama memiliki
wibawa yang cukup luhur. Labeling agama dapat mendongkrak kekuatan
pikiran individu, sehingga tidak akan kesulitan mencari respon positif
dari masyarakat. Dalam hal ini, label agama memiliki hubungan erat
dengan kepentingan eksistensi. Kalau tidak menggunakan istilah agama
kurang greget.
Deddy Ismatullah, Guru Besar Hukum Tata Negara, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat 15 Mei 2013
MANAJEMEN ORGANISASI
Jumat, 14 Juni 2013 |
Label:
Artikel
by Jakabg123
Sebuah Prolog
Istilah
“manajemen” seringkali menimbulkan tanggapan yang campur aduk, apalagi di
lingkungan organisasi nirlaba. Soalnya istilah-istilah tersebut menimbulkan
kesan sebagai suatu kumpulan pejabat organisasi perusahaan atau pabrik (karena
istilah ini memang berasal dari sana)yang menentang para pekerja mereka,
padahal organisasi nirlaba justru sangat tertarik untuk mengorganisir kaum
buruh. Seringkali istilah manajemen memang diartikan sebagai sekelompok orang
pimpinan dalam “manajemen” . Kita seringkali mendengar seseorang di sebuah
perubahan atau pabrik mengatakan: “Pihak manajemen sudah memutuskan...”, “Saya sudah melaporkan kepada pihak manajemen” dan sebagainya.
Kelompok(pimpinan) manajemen ini memang sering dianggap sebagai biang keladi
semua ketidakberesan yang terjadi dalam suatu organisasi, atau bahkan
ketidakberesan yang terjadi di tengah masyarakat luas. Tidak heran jika banyak
manajer yang sering tak mau dikenali sebagai manajer. Lebih dari itu, istilah
manajemen terlalu sering dikaitkan dengan sebuah perusahaan yang sekedar
mencari untung.(Terj: Roem Topatimasang, P3M, 1988)
Penggalan
paragraf diatas menunjukkan bahwa sebetulnya istilah “manajemen” masih bias. Ada semacam anggapan bahwa
manajemen organisasi adalah tidak sama antara masing-masing organisasi, provit
dan non-provit. Dalam organisasi provit, hal ini lebih dikenal dengan istilah
Public Relations(PR).
Dalam
tulisan ini akan dijelaskan pengertian manajemen yang sesuai dengan organisasi
nirlaba. Bahwasanya setiap organisasi membutuhkan suatu sistem yang menjalankan
fungsi-fungsi vital, sebagai berikut:
Mengintegrasikan organisasi sebagai salah satu bagian dari
masyarakat luas
Setiap organisasi adalah bagian dari
suatu sistem yang lebih besar (masyarakat) yang akan mempengaruhi sistem, dan
organisasi itu merupakan salah satu bagian (sub-sistem)nya. Ini penting
dipahami karena seseorang atau
kelompok-kelompok tertentu akan mencurahkan perhatiannya pada hubungan antara organisasi
dengan lingkungannya dalam rangka membantu organisasi untuk mengetahui,
menyerap perubahan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan tersebut.
Menjamin kemudahan
memperoleh sumberdaya
Fungsi ini merupakan fungsi yang
sangat penting. Sebab semua organisasi memperoleh sumberdaya di lingkungannya.
Sumberdaya tersebut umumnya terpakai habis, sehingga sumberdaya yang baru harus
segera ditemukan. Jika organisasi gagal memberikan pelayanan jasa yang
tepatguna dan boros menyalurkan sumberdaya dari lingkungannya, cepat atau
lambat kemudahan mendapatkan sumberdaya tersebut semakin terbatas. Padahal
sebuah organisasi nirlaba menggantungkan dana hibah dari luar, dan setiap orang
dalam organisasi itu tahu bagaimana pentingnya menjaga hubungan yang baik
dengan donor yang menjadi sumbernya. Sumberdaya lain yang terpenting adalah
manusia. Bagi organisasi nirlaba, hal ini menjadi lebih penting dibandingkan
dengan organisasi yang lain. Anggota yang potensial atau sukarelawan akan
mempertimbangkan visi, misi, tujuan dan pencapaian hasil organisasi. Pekerja
yang potensial atau sukarelawan akan mempertimbangkan hal-hal tersebut sebagai
dasar apakah ia akan bergabung atau tidak dengan organisasi tersebut. Jadi
kemudahan memperoleh sumberdaya manusia harus tetap menjadi perhatian dari
manajemen organisasi nirlaba.
Hubungan dengan klien(Pemakai dan penerima jasa)
Suatu organisasi didirikan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu. Adanya kebutuhan tersebut mendorong lahirnya
organisasi sehingga orang-orang mau menjadi kliennya. Melakukan pendekatan
dengan orang-orang adalah perhatian utama dari manajemen organisasi nirlaba.
Selama organisasi memuaskan kebutuhan klien, hubungan baik dengan mereka
mungkin tidak menjadi masalah. Tetapi, organisasi dapat kehilangan hubungan
baiknya dengan klien, karena pemenuhan
kebutuhan mereka tidak berlanjut atau karena beberapa alasan lain. Sekali suatu
organisasi telah dibentuk, ia harus bekerja keras untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan kliennya, meskipun pada awalnya tampak mereka tidak mau memenuhi
kebutuhan tersebut. Pada organisasi nirlaba, mereka tidak segan-segan
mengeluarkan biaya demi mempertahankan hubungan baik dengan konsumen mereka,
dan telah menemukan berbagai metode kreatif untuk mendapatkan dukungan dari
pelanggan potensial. Organisasi dapat belajar dari pengalaman tersebut.
Memantapkan misi organisasi
Semua organisasi membutuhkan
kemantapan dan keberlangsungan misi
mereka. Ini merupakan fungsi dari sistem manajemen organisasi nirlaba unjuk
menjelaskan dan menyampaikannya kepada klien. Penjelasan tersebut harus memuat
aspek-aspek penting organisasi, termasuk jasa kepada klien, pencapaian hasil
kerja dan produktivitas, penggunaan sumberdaya fisik dan finansial, penggunaan
sumberdaya manusia, tanggungjawab kemasyarakatan, pembaharuan-pembaharuan, dan
hasil-hasil karya kreatif yang telah dicapai selama ini.
Perencanaan, Pengorganisasian, Pengarahan, Pengendalian, dan
Evaluasi
Ini merupakan sederetan
fungsi-fungsi manajemen tradisional yang dibutuhkan oleg organisasi nirlaba
untuk menjamin organisasi yang bersangkutan berjalan baik. Fungsi perencanaan
mencakup perumusan tujuan jangka pendek dan jangka panjang organisasi, serta
mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi pengorganisasian adalah memadukan orang-orang
dan tugas-tugas mereka dalam suatu struktur yang terencana, bukan semata-mata
demi tugas itu sendiri, tetapi juga memuaskan kebutuhan orang-orang yang
melaksanakannya. Jika organisasi tumbuh dan semakin menjadi besar, kebutuhan
akan pengarahan muncul pula. Oleh sebab itu fungsi pengendalian harus
diberlakukan juga. Fungsi pengawasan ini perlu untuk menjaga agar organisasi
tetap berjalan pada jalurnya dan untuk mengorek kesalahan yang terjadi. Akhirnya, fungsi evaluasi dibutuhkan
untuk menentukan tercapai atau tidaknya tujuan organisasi.
Mengintegrasikan Sub-Sistem Sosial dan Tugas-tugas
Sub-sistem
sosial suatu organisasi menjamin penyediaan orang-orang yang mau bekerja dan
sub-sistem tugas menentukan pekerjaan
apa yang harus dilakukan oleh mereka. Kedua sub-sistem ini akan menimbulkan
kegawatan jika antara keduanya saling bertentangan. Mesti ada sistem manajemen
yang harus menjamin, bahwa kedua sub-sistem ini benar-benar berjalan seiring.
Kita semua pasti memiliki pengalaman bekerja di dalam suatu sistem dimana
pekerjaan-pekerjaan tersebut dicampur-adukkan dengan motivasi kita untuk
melaksanakannya. Atau, kita-pun sudah sering melaksanakan tugas yang terlalu
enteng, rutin, monoton dan membosankan; atau tugas-tugas justru terlalu rumit,
terputus-putus dan membingungkan. Jika hal ini terjadi, sulit mempertahankan
staf yang berkemampuan agar betah bekerja. Contoh-contoh klasik dari dua
keadaan ekstrim ini adalah putusnya hubungan baik dengan staf pada suatu sisi
dan tidak berdayanya tim pemecah masalah tersebut pada sisi yang lain. Hal-hal
di atas merupakan unsur-unsur penting dan mutlak dalam suatu organisasi.
Semuanya merupakan suatu ukuran baku yang disebut sebagai Fungsi
Manajemen. Tulisan ini disusun atas
dasar kaidah-kaidah tersebut.
Sekarang kita telah mengetahui
pengertian manajemen secara umum. Mari coba kita lihat bagaimana fungsi-fungsi
manajemen tersebut ditampilkan dalam organisasi ini.
Langganan:
Postingan (Atom)