KONSEP KLASIK TENTANG SUNNAH NABI


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejak wafatnya Muhammad Rasulullah s.a.w., persoalan ilmiah yang dihadapi para sahabat adalah persoalan kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushhaf. Persoalan kodifikasi inilah yang menjadi wacana pasca “kepergian” Nabi s.a.w. di samping berbagai persoalan yang ikut menyemarakkan konstelasi kehidupan umat Islam pada waktu itu. Pada generasi selanjutnya, yakni di masa tabiinn, kodifikasi al-Qur’an semuanya disandarkan atau dinisbatkan pada diri Rasulullah s.a.w., yaitu berupa kerkataan, perbuatan, dan taqrirnya, yang disebut hadis.
Dalam kodifikasi al-Qur’an, para sahabat r.a. tidak menemukan banyak kendala kerena tugas panitia kodifikasi hanya mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada di tangan para sahabat r.a. untuk disesuaikan dengan hafalan para sahabat lainnya yang secara mutawatir mereka terima dari Nabi dan secara ilmiah dapat dipastikan sebagai ayat-ayat al-Qur’an.
Pengkodifikasian al-Qur’an berbeda dengan pengkodifikasian al-hadis yang banyak diriwayatkan secara ahad, secara individual1).Hadis ternyata lebih banyak dipelihara dalam ingatan daripada dalam catatan yang dimiliki oleh para sahabat, yang pada masanya diijinkan Nabi untuk mencatat hadis. Hadis yang ada dalam catatan dan ingatan mereka tersebar secara luas ke berbagai daerah Islam yang dikunjungi oleh para sahabat, baik untuk keperluan jihad, dakwah maupun niaga/perdagangan.
Untuk menghimpun hadis-hadis itu diperlukan ketelitian yang sangat tinggi; yakni berupa kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang akurat, agar yang dinamakan hadis itu bebar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah2). Interval waktu yang cukup lama antara Nabi s.a.w. dengan para penghimpun hadis, dan perbedan visi politik serta madzab pada abad-abad berikutnya, merupakan dimensilain yang menambah rumitnya pembuktian status hadis oleh ulama dari generasi ke generasi.
Lebih lanjut Hasbi menyatakan bahwa jika dipelajari dengan seksama situasi dan keadaan historis (historical situation) perjalanan dan perkembangan hadis sejak dari permualaan pertumbuhan hingga sekarang, dapat disimpulkan bahwa hadis telah melalui enam masa/periode, dan saat ini telah memasuki periode yang enam4).
Periode pertama, yaitu saat wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah. Periode kedua, masakhulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat. Periode ketiga, masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar. Periode keempat, masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah). Periode kelima, masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga). Periode keenam, masa memilah kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.) Periode ketuju, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Gerakan pengetatan periwaytan hadis, bahkan dapat dikatakan penghilangan sebagian hadis oleh dua khalifah itu telah memberikan pengaruh baik positif maupun negatif dalam perkembangan hadis di kemudian hari. Implikasi positif dari gerakan itu adalah otentisitas hadis lebih terjaga sekaligus membuka peluang interpretasi yang lebar bagi umat Islam dalam mengapresiasi keberagamaannya karena tidak terkungkung oleh normativitas hadis. Di sini kreatifitas umat mendapat lahan yang cukup subur sehingga dapat berkembang dengan baik.
Tetapi implikasi negatif dari gerakan pengetatan hadis itu, oleh Rasm Ja’farian telah mengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama, hilangnya sejumlah besar hadis. Urwah bin Zubair pernah berkata :” Dulu aku menulis sejumlah hadis, kemudia aku hapuskan semuanya. Sekarang aku berfikir, alangkah baiknya kalau aku tidak menghancurkan hadis-hadis itu. Aku bersedia memberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnya kembali”
Kedua, terbukanya peluang pemalsuan hadis. Abu al-Abbas al-Hanbali menulis, “Salah satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di antara para ulama adalah hadis-hadis dan teks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlah yang bertanggung jawab atas kejadian itu, karena para sahabat meminta ijin untuk menulis hadis tetapi umar mencegahnya. Seandainya para sahabat menulis apa-apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah s.a.w., sunnah akan tercatat tidak lebih dari satu mata rantai saja antara Nabi dan umat sesudahnya”.
Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerima hadis secara lisan, ketika menyampaikan hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Keempat, terjadinya perbedaan pendapat di kalangan umat. Bersamaan dengan perbedaan ini, lahirlah akibat yang kelima, yaitu ra’yu menjadi menonjol dalam proses interpretasi keagamaan. Karena sejumlah hadis hilang, orang-orang mencari petunjuk dari ra’yu-nya. Dalam pasar ra’yu yang bebas (dalam kenyatannya, pasar gagasan umumnya tidak bebas) sebagian ra’yu menjadi dominan Ra’yu dominan inilah, menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra’yu menjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanya demokrasi, boleh jadi juga karena ada intervensi dari penguasa.
B.       Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tradisi Sunnah pada masa klasik
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Defenisi Sunnah Konsensus Klasik
Dalam pegangan buku Hukum Islam klasik memasukan tiga elemen penting mengenai pengertian sunnah, istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoritatif yang diberikan oleh Nabi Muhammad dan yang tercatat dalam tradisi (Hadits, Akhbar) mengenai perkataannya, tidakannya, persetujuannya atau perbuatan orang lain yang talah disetujuinya serta karakteristik keperibadiannya.
Ketiga hal pokok tadi adalah: pertama,  defenisi sunnah disandarkan kepada Nabi, kedua, identifikasi sunnah adalah identifikasi sempurna sunnah dengan riwayat-riwayat hadits yang bisa dilacak mata rantainya hingga Nabi Muhammad saw. dan dinilai sahih, sunnah spadan dengan tradisi autentik , ketiga,  sunnah yang statusnya sebagai wahyu, sunnah menurut ajaran klasik diwahyukan oleh Allah  SWT melalui perantara Rasulullah seperti halnya Al-Quran, baik sunnah atau al-Quran bersumber dari satu yaitu Allah SWT. Dan perbedaan antara keduanya adalah pada bentuk bukan pada isi. Perbedaan keduanya yaitu, al-Quran baik teks maupun maknanya berasal dari Allah dan dapat dijadikan sandaran karena memiliki kepastian yang sempurna, tetapi sunnah susunan katanya hanyalah perkiraan Nabi dan hanya maknanya yang terjamin keotentikannya.
Konsesnsu tentang sunnah yang dikereteriakan tadi adalah yang diletakan oleh Imam As-syafi’i. As-Syafi’i mengelarkan tesis bahwa sunnah sejajar dengan Quran dalam hal autoritas bahwa karena “perintah Rasulullah adalah perintah Allah”. akan tetapi sebagian ulama yang lain seperti di Iraq, Hijaj, dan Suriyah tidak memberikan depenisi yang ketat mengenai Sunnah. Mereka memasukan di dalam definisi mereka mengenai Sunnah tidak hanya hadits Nabi, tetapi juga berbagai sumber perseden lain, termasuk contoh yang diberikan oleh para sahabat Rasulullah, khalifah yang berkuasa, dan parktek yang diterima secara umum di kalangan ahli hukum dalam madzhab tersebut.
1.    Sunnah Sebelum syafi’i
Kata Sunnah berasal dari kata Sanna, “Membentuk” dan kemudian diperluas menjadi “melembagakan, membentuk atau menentukan” kata Sunnah telah dperluas dalam pemggunaan khusus untuk membentuk kepada tindakan, yang tidakan ini menentukan sesuatu. Sunah sangat erat kaitannya dengan individu atau kelompok yang yang melebagakan atau yang memperaktekan suatu perbuatan tersebut.
Ketika Nabi Muhammad diutus menjadi Seorang Rasul maka kata Sunnah itu melekat atau disandarkan kepada Muhammad sebagai pembawa perubahan politik dan kondisi keagamaan pada ma situ.
Gagasan Muslim awal mengenai sunnah berbeda dengan defenisi klasik sunnah dalam beberapa hal penting: pertama, orang-orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad saw. lebih tinggi daripada sunnah-sunnah orang muslim terkemuka lainnya, terutama para khalifah pertama dan sahabat-sahabatnya; kedua, pada tahap awal ini, orang-orang Muslim tidak selalu mengidentifikasikan dengan riwayat khusus mengenai Nabi Muhammad saw., yaitu riwayat hadits tidak menjadi wahana ekslusif bagi sunnahnya, seperti yang terjadi kemudian; dan akhirnya, orang-orang Muslim awal tidak membuat perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan, terutama antara sunnah dan al-Quran, yang dilukiskan begitu seksama oleh para pakar kemudian.
Sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa (lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
           Berkaitan dengan pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa, perhatikan sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut :
"Barang siapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala Sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakan hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat" (H.R. Al-Bukhary dan Muslim).
          Sedangkan, Sunnah menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi Rasul, maupun sesudahnya. Menurut Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama ditegakkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat tersebut.
          Menurut Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum syara', maka yang dimaksud dengan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum syara' disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah al-Qur'an dan Hadits.
            Pengertian Sunnah ditinjau dari sudut istilah, dikalangan ulama terdapat perbedaan. Ada ulama yang mengartikan sama dengan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi syarat-syarat tertentu, yang berbeda dengan istilah hadits. Ulama ahli hadits merumuskan pengertian sunnah sebagai berikut :
"Segala yang bersumber dari Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul, seperti ketika bersemedi di gua Hira maupun sesudahnya".
              Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, kata sunnah menurut sebagian ulama sama dengan kata hadits. "Ulama yang mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, mereka memandang diri Rasul SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum. Olah karena itu, mereka menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita yang diterima tentang diri Rasul SAW., tanpa membedakan apakah (yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara' atau tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut, apabila ucapan atau perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
            Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah adalah "segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum". Menurut T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam sabda Nabi, sebagai berikut :
"Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya"
(H.R.Malik).
2.                Sunnah Nabi Saw. dan hadits Nabi Saw.
Perbedaan sunnah dengan hadits Nabi Saw. setelah Syafi’i antara sunnah dengan hadits dipisahkan yakni “sunnah” sering digunakan dalam pengertian yang secara umum menunjukan tak lebih dari pada “norma-norma yang diterima  atau adat istiadat” dan sunnah Nabi bukanlah adalah preseden khusus yang disandarkan kepada Nabi Muhamad dan hal itu sangat sacral dengan didukung adanya Hadist yang sohih.
Sebelum As-Syafi’i, sunnah merupakan suatu prinsip kewenangan yang teridentifiksikan sangat erat namun tidak eklusif dengan nabi Muhammad Saw., dan bawa gagasan sunnah secara konseptual tetap terlepas dari perseden hadits spesifik
3.    Sunnah Menurut Orientalis dan Fazlur Rahman
Pendapat sarjana Barat modern (orientalis) yang mempelajari evolusi Sunnah dan Hadits, menyatakan bahwa begitu Nabi Muhammad tampil maka segala perbuatan dan tingkah lakunya merupakan Sunnah bagi masyarakat Muslim yang masih baru dan idealitas sunnah dari orang-orang Arab sebelum Islam (Ignaz Goldziher), kaum muslimin sendiri menambah-nambahi Sunnah Nabi, sehingga semua hasil pemikiran dan praktek Muslim dianggap sebagai Sunnah Nabi (Snouck Hurgronje).
Sunnah semata-mata sebagai karyakarya orang Arab baik sebelum kedatangan Islam maupun sesudahnya ( Lammens dan Margoliouth), Sunnah Nabi hanya timbul di kemudian hari, bagi generasi-generasi Muslim masa lampau sunnah berarti praktek kaum Muslimin itu sendiri ( Joseph Schacht).
Jadi sebenarnya sarjana-sarjana Barat menolak konsep Sunnah Nabi baik secara eksplisit maupun secara implicit. Ulama Klasik (Ortodok), Surat Hasan al-Basri untuk ‘Abdul Malik b. Marwan (65-85 H) Hasan berbicara tentang Sunnah Nabi berkenaan dengan kemerdekaan-kemerdekaan manusia, walaupun ia mengakui bahwa di dalam masalah ini tidak ada tradisi formal dan verbal yang bersumber dari Nabi. ‘Abdul Malik b.Anas (65-85 H) dengan karya ekstensif – Muwaththa - yang paling awal mengenai Sunnah dan Hadits.
Malik, sebelum menulis setiap masalah hukum, biasanya Malik mengutif sebuah hadits, baik dari Nabi (jika dapat diketemuinya) meupun dari para Sahabat, khususnya dari keempat khalifah yang pertama. Ibn al-Muqaffa (meninggal 140 H) mendeklarasikan bahwa Sunnah Nabi yang disepakati secara bersama tidak ada dan menyarankan agar khalifah harus melaksanakan ijtihadnya sendiri. al-Syaybani (meninggal 189 H) Hadits-hadits Nabi yang dikutif sangat sedikit jumlahnya. Ia sering mengutif hadits-hadits dari para sahabat dan lebih sering lagi dari para tabi’in.
Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah  adalah  praktek kaum muslim pada zaman   awal. Sebagian kandungan sunnah berasal dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang  dilestarikan  dalam Islam.  Sebagian  lagi  hanyalah  interpretasi para ahli hokum Islam terhadap sunnah yang ada,  di  tambah  unsur-unsur  yang berasal  dari  kebudayaan  Yahudi,  Romawi, dan Persia. Ketika gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah  yang ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut "Sunnah Nabi”.
Fazlur  Rahman  mengkoreksi  pandangan  orientalis  ini dengan menegaskan: Sekarang kami  akan  menunjukkan Bahwa  sementara  kisah perkembangan  Sunnah  di  atas  hanya  benar sehubungan dengan kandungannya, tapi tidak  benar  sehubungan  dengan  konsepnya yang  menyatakan  sunnah  Nabi  tetap  merupakan  konsep  yang memiliki validitas dan  operatif,  sejak  awal  sejarah  Islam hingga  masa  kini Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari  Nabi  tidak  banyak  jumlahnya  dan  tidak   dimaksudkan bersifat  spesifik  secara  mutlak: Bahwa  konsep sunnah sesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi  juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; Bahwa sunnah dalam pengertian  terakhir  ini,  sama  luasnya  dengan ijma'  yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus;  dan  yang  terakhir  sekali bahwa  setelah  gerakan  pemurnian  Hadits yang besar-besaran, hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma'  menjadi rusak.
Fazlur Rahman menyatakan bahwa ”sunnah adalah sebuah konsep perilaku baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Dengan perkataan lain Sunnah adalah sebuah hukum tingkah laku, baik terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulangkali.
Menurut Fazlur Rahman sebuah Sunnah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang bersifat normatif: ”Keharusan” moral adalah sebuah unsur yang tak dapat dipisahkan dari pengertian konsep Sunnah. Sunnah adalah sebuah konsep perilaku maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek aktual tetapi juga sebagai ”praktek yang normatif” dari masyarakat tersebut.
Fazlur Rahman menyatakan bahwa konsep ”tingkah laku normatif” atau teladan tersebut lahirlah konsep tingkah laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Maka menurutnya unsur yang ada dalam pengertian yang melengkapi ”sunnah” tersebut termasuk unsur ”kelurusan” dan ”kebenaran”.
Farlur Rahman menyatakan bahwa, Sunnah Nabi adalah sebuah ideal yang hendak dicontoh. Hasan al-Bashri, menyatakan bahwa Sunnah Nabi lebih merupakan petunjuk arah dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, bahwa pengertian ”Sunnah ideal” yang seperti inilah yang dijadikan landasan pemikiran kaum Muslimin masa itu, dan bahwa ijtihad dan ijma’ adalah pelengkap-pelengkapnya yang perlu sehingga Sunnah semakin dapat disempurnakan.

TELADAN NABI SAW
|
PRAKTEK PARA SAHABAT
|
PENAFSIRAN INDIVIDUAL
|
OPINIO GENERALIS
|
OPINIO PUBLICA (SUNNAH)
|
FORMALISASI SUNNAH (HADITS)

Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku  Nabi  saw.  sebagai teladan.  Mereka  berusaha  mempraktekkannya  dalam  kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran individual  terhadap  teladan  Nabi  itu.  Boleh jadi sebagian sahabat  memandang  perilaku  tertentu  sebagai  sunnah,  tapi sahabat  yang  lain,  tidak  menganggapnya sunnah. Dalam "free market  of  ideas,"  pada  daerah  tertentu  seperti  Madinah, Kuffah,  berkembang  sunnah yang umumnya disepakati para ulama di daerah tersebut. Ada sunnah  Madinah,  ada  sunnah  Kuffah.
Secara  berangsur-angsur,  pada  daerah kekuasaan kaum muslim, berkembang  secara  demokratis  sunnah  yang  disepakati  (amr al-majtama'  'alaih).  Karena  itu, sunnah tidak lain daripada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh  kedua Abad  2  Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orang ini, diekspresikan dalam  hadits.  Hadits  adalah  verbalisasi sunnah.  Sayangnya,  menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnah ke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah  dan menjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.

B.       Sebab-Sebab Orientalis Tidak Mempercayai Sunnah
Fazlur Rahman mencoba menerangkan kekeliruan konsepsional sarjana-sarjana (orientalis) mengenai Sunnah. Fazlur Rahman menyatakan bahwa hal yang menyebabkan sarjana-sarjana Barat tersebut menolak konsep Sunnah Nabi adalah karena mereka menemukan (1) sebagian dari kandungan Sunnah merupakan kontinuasi langsung dari kebiasaan dan adat istiadat Arab dari masa sebelum Islam, (2) sebagian besardari kandungan Sunnah adalah hasil pemikiran ahli-ahli hukum Islam yang dengan Ijtihad pribadi mereka telah menarik kesimpulan-kesimpulan dari Sunnah atau praktek yang ada - yang terpenting di antara semuanya - telah mamasukkan unsur-unsur luar, terutama sumber-sunber Yahudi dan praktek-praktek pemerintahan Bizantium dan Parsi, (3) Hadits berkembang menjadi sebuah gerakan yang besar dan berubah menjadi fenomena massal pada akhir abad kedua, dan pada akhir abad ketiga Hijriah, seluruh kandungan Sunnah pada masa itu dikatakan bersumber dari Nabi Muhammad sendiri di bawah perlindungan konsep ”Sunnah Nabi”. Menurut Fazlur Rahman, sepanjang mengenai evolusi dan perkembangan muatan Sunnah yang berkembang dari waktu ke waktu, tidak bersikeras menyangkal tesa-tesa yang dikemukan oleh orientalis, tetapi menurut Fazlur Rahman, kesalahan para sarjana-sarjan orientalis disebabkan oleh pandangan mereka yang mencampuradukan antara pengertian sunnah sebagai sebuah praktik yang hidup dan sebagai praktek yang bersifat normatif. Kesalahan memahami pengertian ini mengantarkan para sarjana orientalis menyimpulkan konseptualisasi temuan hidtoris, bahwa Nabi tidak meninggalkan sunnah (praktik normatif), karena datadata historis yang mereka kumpulkan menunjukkan adanya perubahan dan perkembangan praktik aktual dari generasi awal setelah Nabi sampai dengan generasi akhir menjelang perumusan konsep hadits (sekitar abad ke-2H/8M.).
Hadis Nabi yang belum ditadwin (dihimpun) dalam suatu kitab hadis dan kedudukan hadis yang belum signifikan dalam struktur sumber ajaran Islam, telah dimanfaatkan – untuk dipalsukan – oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kesempatan yang begitu lebar untuk melakukan pemalsuan hadis, plus dengan keuntungan baik politis, ekonomis, maupun sosial yang besar dengan melakukan hal itu, telah mendorong kelompok-kelompok tertentu melakukan tindakan yang –menurut sabda Nabi terkutuk (fal yatabawwa’ maq’adahu man al-nar)-sangat merugikan dunia Islam.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan kegiatan pemalsuan hadis dimulai. Pendapat pertama mengemukakan, bahwa pemalsuan hadis telah ada pada era Rasulullah. Pendapat ini dikemukakan oleh Ahmad Amin (w. 1373 H/1954 M), dengan alasan hadis mutawatir yang menyatakan, bahwa barangsiapa yang secara sengaja membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi, maka hendaklah orang itu bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka. Kata Ahmad Amin, hadis itu memberi gambaran telah ada individu maupun kelompok pada masa Nabi yang telah melakukan pemalsuan hadis37). Tetapi sayang Ahmad Amin tidak memberi contoh hadis-hadis yang telah dipalsukan tersebut, sehingga apa yang dinyatakan Ahmad Amin ini masih dalam tataran asumsi.
Shahal ad-Din al-Adhabi, menyatakan bahwa pemalsuan hadis yang berkenaan dengan maslah keduaniawian telah terjadi pada masa Nabi dan dilakukan oleh orang munafiq. Sedang pemalsuan yang berkenaan dengan maslah agama (amr dini), pada zaman nabi belum terjadi. Alasannya, ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Thahawi dan al-Thabrani, yang menyatakan bahwa pada masa Nabi ada seorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatas namakan Nabi. Orang itu telah mengaku diberi kuasa Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah di suatu kelompok masyarakat di sekitar Madinah. Kemudian orang itu melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut, tetapi lamaran itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi untuk mengkonfirmasi berita utusan dimaksud. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh orang yang mengatasnamakan beliau38).
Pemalsuan hadis mulai muncul pada masa Khalifat Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hadis39). Menurut pendapat ini, keadaan hadis pada zaman Nabi sampai terjadinya pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah masih terhindah dari pemalsuan-pemalsuan. Perang yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah (dikenal dengan perang shiffin) telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban. Upaya damai yang diusulkan Mu’awiyah dan diterima Ali telah mengakibatkan sekelompok pendukung Ali menjadi kecewa, dan mereka menyatakan keluar dari kelompok Ali yang kemudian dikenal sebagai kelompok khawarij. Kelompok Khawarij ini dalam gerakan selanjutnya tidak hanya memusuhi Mu’awiyah saja, tapi juga Ali. Akibat kemelut politik yag kian rumit itu, akhirnya Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan Mu’awiyah, dan kekuasaan Ali digantikan oleh Mu’awiyah yang kemudian membangun basis kekuasaannya dengan mendirikan daulah bani Umayah40).
Runtuhnya kekuasaan Ali tidak menyurutkan perjuangan para pendukungnya, yakni kelompok syi’ah. Pertikaian segitiga yang berlarut telah mendorong ketiga pihak untuk saling mengalahkan, yang salah caranya ialah dengan membuat hadis palsu untuk mengukuhkan kelompoknya dan memperlemah posisi lawan secara sosial-politik.
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Islam saja, melainkan juga telah dilakukan oleh orang-orang yang non Islam. Orang-orang non Islam membuat hadis palsu41), karena didorong oleh keinginan meruntuhkan Islam dari dalam. Dan orang-orang Islam meriwayatkan hadis palsu karena mereka didorong oleh beberapa motif. Motif itu ada yang bernuansa duniawi ada yang agamawi. Secara rinci, motif orang-orang Islam itu adalah; 1) membela kepentingan politik42), 2) membela aliran teologi, 3) membela madzab fiqih43), 4)memikat hati orang yang mendengarkan kisah yang dikemukakannya, 5) menjadikan orang lain lebih zahid, 6) menjadikan orang lain lebih rajin mengamalkan ibadah, 6) mendapatkan perhatian dan pujian dari penguasa, 9) mendapatkan hadiah uang dari orang yang menggembirakan hatinya, 10) menerangkan keutamaan suku bangsa tertentu.
Jumlah hadis palsu tidak sedikit. Seorang yang mengaku sebagai pemalsu hadis mengatakan, bahwa dia telah membuat empat ribu hadis palsu. Seorang pemalsu lainnya mengaku, bila dia ingin memperkuat pendapatnya, maka dia membuat hadis palsu. Ada pula yang mengaku bila ada yang memberi upah sebesar satu dirham saja, dia bersedia untuk membuat sebanyak lima puluh hadis palsu43).
Prof. Muhammad Zuhri44), mengidentifikasi orang-orang yang terkenal sebagai pemalsu hadis, diantaranya ; Abban ibn Ja’far al-Numairi, Ibrahim ibn Zaid al-Aslami, Jabir ibn Yazid al-Ja’fi, Muhammad ibn Syuja’ al-Laitsi, Nuh ibn Abi Maryam, Al-Harits ibn Abdillah al-A’war, Ahmad ibn Abdullah al-Juwaibari.
f. Proses Pentadwinan Hadits
Andaikata Umar bin Khaththab tidak mengurungkan niat untuk menghimpun hadis Nabi dalam satu kitab, maka akan dapat dikendalikan lebih dini upaya-upaya pemalsuan hadis. Akan tetapi Umar, sebagaimana telah disinggung di atas, mengurungkan niat itu, karena dia khawatir umat Islam akan mengabaikan al-Qur’an.
Sesudah era Umar bin al-Khaththab, tidak ada khalifah yang merencanakan menghimpun hadis, kecuali khalifah ‘Umar bin Abd al-Ziz (w. 101 H/720 M). Walaupun demikian pada era antara Umar bin al-Khaththab dan Umar bin Abd al-Aziz tidak ada kegiatan sama sekali untuk men-tadwinhadis. Informasi historis menyebutkan, tidak sedikit, baik di kalangan sahabat Nabi maupun tabiin yang telah melakukan pencatatan hadis. Akan tetapi pencatatan hadis itu masih bersifat per-individu, dalam arti belum menjadi kegiatan kolektif yang mendapat mandat dari pemerintah.
Khalifah Umar bin Abd Aziz yang terkenal berpribadi shalih dan cinta kepada ilmu pengetahuan46), sangat berkeinginan untuk segera menghimpun hadis. Keinginan itu sudah muncul sebenarnya ketika dia masih menjabat sebagai Gubernur di Madinah (86-93 H), pada masa pemerintahan al-Walid bin Abd al-Malik (86-96 H).
Keinginan Khalifah Umar bin Abd Aziz untuk menghimpun hadis diwujudkan dalam bentuk surat perintah. Surat itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah itu adalah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah agar segera dikumpulkan47).
Salah satu surat khlifah dikirim kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr bin Muhammad ‘Amr bin Hazm (w. 117 H/735 M). Isi surat itu ialah; 1) Khalifah merasa khawatir akan punahnya pengetahuan hadis dan meninggalnya para ahli hadis, dan 2) khalifah memerintahkan agar hadis yang ada di tangan ‘Amrah binti Abd al-Rahman dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq, keduanya murid ‘Aisyah dan berada di Madinah, segera dikumpulkan (di-tadwin). Namun sayang, sebelum Ibn Hazm berhasil menyelesaikan tugasnya, khalifah telah meninggal dunia48). Menurut al-Shiba’I, Ibn Hazm mengumpulkan lalu menulis hadis hanya yang berasal dari Amrah dan al-Qashim.
Ulama yang berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal ialah Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M). Dia seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam. Bagian-bagian kitab al-Zuhri segera dikirim oleh khalifah ke berbagai daerah untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya49).
Walaupun khalifah Umar bin ‘Abd al-Aziz telah meninggal dunia, namun kegiatan penghimpunan hadis terus berlangsung. Sekitar pertengahan abad kedua hijriyah, telah muncul berbagai kitab himpunan hadis di berbagai kota. Ulama berbeda pendapat tentang karya siapa yang terdahulu muncul. Ada yang mengatakan bahwa yang paling awal muncul adalah karya ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij al-Bishri (w. 150 H), ada yang menyatakan karya Malik bin Anas (w. 179 H)50), dan ada yang menyatakan karya ulama lainnya. Karya-karya tersebut tidak hanya menghimpun hadis Nabi saja, tetapi juga menghimpun fatwa-fatwa sahabat dan al-Tabi’in.
Karya-karya ulama berikutnya disusun berdasarkan nama sahabat Nabi periwayat hadis. Karya yang berbentuk demikian ini biasa dinamakan al-musnad, jamaknya al-masanid.Ulama yang mula-mula menyusun kitan al-musnad ialah Abu Daud (w. 204 H). Kemudian menyusul ulama lainnya, misanya Abu Bakr ‘Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi (w. 219 H) dan Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)51).
Berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis di atas, ada yang berkualitas shahih dan ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama berikutnya kemudian menyusun kitab hadis yang khusus menghimpun hadis-hadis Nabi yang berkualitas shahih menurut kriteria penyusunnya. Misalnya, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 261 H/870 M), dan Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H/875 M). Kitab himpunan hadis shahih karya al-Bukhari adalah “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min Umur Rasul Allah SAW wa Sunnatihi wa Ayyumihi” dan dikenal dengan al-Jami’ al-Shahih atau Shahih Bukhari.Kitab himpunan hadis shahih karya Muslim berjudul “al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasyar min al-Sunan bi al-Naql al-‘Adl ‘an ‘Adl Rasul Allah SAW” dan dikenal dengan sebutan jami’ al-Shahih atau Shahih Muslim.
Di samping itu muncul pula kitab-kitab hadis yang bab-babnya tersusun seperti bab-bab fiqih dan kualitas hadisnya ada yang shahih dan ada yang dha’if. Karya itu dikenal dengan nama al-sunan. Di antara ulama hadis yang telah menyusun kitab al-Sunan ialah ; Abu Daud (w. 275 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’i (w. 303 H), dan Ibn Majah (w. 273 H)52).
Karya-karya al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i, di atas disepakati oleh mayoritas ulama sebagai kitab-kitab hadis standar dan dikenal sebagai al-kutub al-khamsah (lima kitab hadis standar). Ulama berbeda pendapat tentang kitab standar peringkat keenam. Sebagian ulama menyatakan, yang keenam itu adalah al-sunan karya Ibn Majah, sebagian ulama berpendapat kitab al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas dan sebagian ulama lagi berpendapat kitab al-Sunan karya Abu ‘Abdullah bin ‘Abdul Rahman al-Damiri (w. 225 H)53).
C.       Sunnah dan Hadits
Menurut Fazlur Rahman, sesungguhnya sebagian besar kandungan dari keseluruhan hadits adalah tidak lain dari Sunnah-ijtihad dari generasi pertama kaum Muslimin. Ijtihad ini bersumber dari ide individu, dengan perkataan lain Sunnah yang hidup di masa lampau terlihat di dalam cermin hadits yang disertai dengan rantai perawi. Namun di antara Sunnah dengan Hadits ada perbedaan di antaranya; yaitu apabila secara garis besar Sunnah
merupakan sebuah fenomena praktis yang ditujukan kepada norma-norma behavioral, sedangkan Hadits tidak hanya menyampaikan norma-norma hukum tetapi juga keyakinan-keyakinan dan prinsip relegius.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Gagasan Muslim awal dengan gagasan priode klasik mengenai Sunnah bisa  dibedakan dari pendefenisisan mengenai sunnah. Istilah Sunnah pada priode Muslim klasik menunjuk kepad contoh autoritatif yang diberikan oleh Nabi Muhammad Swa. Dan yang dicatat dalam tradisi (Hadits, akhbar) mengenai perkataanya, tindakannya, persetujuannya atas perkataan atau perbuatan orang lain, serta karakteristik kepribadiannya. Sedangkan istilah Sunnah Muslim awal mendefenisikan Sunnah tidak ketat, Sunnah menurut mereka adalah berbagai hal yang dilakukan oleh Rasulullah juga yang dipraktekan oleh sahabat Rasul, Khalifah yang berkuasa dan parktik yang diterima secara umumdi kalangan ahli hukumdalam madzhab tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anjar Nugroho SB, “Tradisi Hadits Dari Sunnah yang Hidup ke Bentuk Verbal”. 05 Agustus 2007.
 Cak Nur, “Beda Hadits dengan Sunnah” 05 Maret 2011
Jalaludin rahmat, “Dari Sunnah ke Hadits atau Sebaliknya” Artikel Yayasan Paramadina. Penerbit Yayasan Paramadina Jln. Metro Pondok Indah Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21.Jakarta Selatan
Hujair AH. Sanaky, “Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Sunnah dan Hadits” dalam bentuk Pdf.

0 komentar:

Posting Komentar