Bagi masyarakat peduli bahasa, perilaku berbahasa masyarakat
kita belakangan ini, terutama oleh para elit politiknya, sangat menyesakkan
dada. Betapa tidak! Perhatikan saja model komunikasi para anggota DPR RI yang
tergabung dalam Panitia Khusus yang bertugas membongkar skandal Bank Century.
Ungkapan-ungkapan kau tak mampu, kau tak punya pengetahuan, profesor kok
seperti itu, bahkan kata bangsat pun muncul dalam sidang-sidang
pantia Pansus. Yang mengherankan mereka tidak merasa bahwa kata dan kalimat
yang mereka produksi tidak pantas diucapkan oleh para anggota DPR terhormat
yang notabene adalah pilihan rakyat. Begitu parahnya model berbahasa
para elit tersebut sampai-sampai menggeser substansi skandal Bank Century yang
menghebohkan tersebut. Tidak sedikit orang mempermasalahkan cara berkomunikasi
para elit anggota Pansus ketimbang mempermasalahkan hilangnya uang Rp 6, 7
trilyun.
Perilaku berbahasa demikian mengingatkan kita pada model
komunikasi politik para elit politik kita di era kepresidenan Abdurrahman Wahid
(Gus Dur). Setting nya hampir sama dengan setting politik saat ini.
Tempat kejadiannya juga sama, yakni Gedung DPR. Pelakukanya juga sama, yakni
anggota DPR. Saat itu kalimat-kalimat kasar bahkan vulgar juga terucap oleh
para anggota DPR ketika sedang membongkar kasus Buloggate dan Bruneigate
yang mengantarkan ke kejatuhan Gus Dur. Bedanya adalah jika perilaku berbahasa
elit saat itu dimulai dari Gus Dur sendiri, sedangkan perilaku berbahasa elit
saat ini dimulai dari mereka sendiri. Kita masih ingat bagaimana Gus Dur dengan
entheng mengatakan “Beda antara anggota DPR dengan murid taman
kanak-kanak memang enggak jelas”, “Sekarang banyak anggota DPR
bertitel MA, tapi bukan Master of Arts, melainkan maling”, Saya copot
Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla karena kedua orang itu tersangkut KKN”,
dan sebagainya yang tidak saja membuat merah padam muka para anggota DPR,
tetapi berbuntut tuntutan untuk mencabut kata-katanya yang diangap sangat
melecehkan martabat anggoat DPR.
Tak kalah kasarnya para anggota DPR membalasnya dengan
mengatakan “Dalam memberikan keterangan Presiden jangan
petantang-petenteng”, Gus Dur itu esuk dele, sore tempe, Presiden telah
melakukan kebohongan publik, Saraf Presiden ada yang rusak, Presiden
omongannya nglantur terus” dan sebagainya. Dalam Rahardjo (2007) ditemukan
salah satu penyebab kejatuhan Gus Dur adalah kecerobohannya berbahasa sehingga
melahirkan banyak musuh politik yang di kemudian hari berpotensi
menjatuhkannya.
Jika saat itu atas ulah berbahasa para anggota DPR Gus
merespons dengan entheng dan dengan gaya khasnya mengatakan “Kalau
kalangan DPR merasa tersinggung atas omongan saya itu, ya sudah saya
minta maaf. Yang begitu saja kok repot”, kalimat terakhir itu kemudian
menjadi joke khasnya, maka sekarang Presiden SBY merespons dengan
meminta para anggota DPR, khususnya yang tergabung dalam Pansus, untuk
berkomunikasi dengan mengedepankan etika.
Tampaknya, vulgarsime berbahasa elit politik berimbas pada
masyarakat umum. Kita saksikan lewat media bagaimana para pendemo kasus Bank
Century membawa kerbau untuk menyatakan kejengkelannya seara simbolik kepada
para pejabat negara yang diduga terlibat kasus Bank Century. Setelah polisi
melarang pendemo tidak boleh membawa kerbau, di hari lain pendemo menggantinya
dengan kambing. Gambar Presiden dan Wakil Presiden Boediono diinjak-injak dan
dibakar, dan gambar Sri Mulyani diberi taring.
Mecermati komunikasi politik para elit dan cara orang
menyampaikan pendapat melalui demo yang demikian jauh dari etika kesantunan,
Presiden SBY segera menghimbau kepada masyarakat, terutama para elit politik,
untuk mengedepankan etika dalam berkomunikasi dan berpolitik. Himbauan Presiden
tidak berlebihan. Sebab, dari perspektif sosiolinguistik, ilmu bahasa yang
khusus mengkaji penggunaan bahasa dari aspek sosial-kemasyarakatan dan
kebudayaan, model komunikasi politik para elit dan masyarakat kita tersebut
jauh dari pakem kesantunan berbahasa.
Harus dipahami oleh setiap pengguna bahasa bahwa berbahasa
tidak saja bermaksud menyampaikan pesan, tetapi juga membangun harmoni sosial.
Keduanya harus terpenuhi. Dalam konteks ini ungkapan “yang penting maksud
tercapai”, tentu tidak relevan. Karena itu, apa yang diucapkan oleh para
anggota DPR jelas tidak memenuhi syarat fungsi berbahasa. Sebab, yang terjadi
kemudian bukan harmoni sosial di antara sesama anggota Pansus DPR, melainkan
justru konflik.
Lebih jauh menyangkut teori kesantunan berbahasa, Leech (dalam
Kholid A Hamas, 2001) menawarkan seperangkat maksim atau aturan sebagai
berikut:
1) maksim kepedulian, yakni perkecil kerugian dan tingkatkan
keuntungan pada orang lain,
2) maksim kebaikan hati, yakni perkecil keuntungan pada
diri sendiri dan tingkatkan keuntungan pada orang lain,
3) maksim penghargaan, yakni kurangi penghargaan pada diri
sendiri dan tingkatkan penghargaan pada orang lain,
4) maksim kesahajaan, yakni perkecil pujian pada diri sendiri
dan tingkatkan pujian pada orang lain.
Apa yang ditawarkan Leech tersebut jelas bahwa persoalan
kesantunan berbahasa menyangkut persoalan untung rugi atas dampak yang
ditimbulkan dari sebuah ungkapan. Karena itu, sebaik apapun struktur kalimat
yang dipakai, jika berdampak besar bagi mitra tuturnya dianggap ungkapan yang
tidak santun. Jika demikian, maka ungkapan para anggota DPR, terutama yang
tergabung dalam Pansus Bank Century jelas jauh dari kaidah kesantunan
berbahasa..
Label sosial yang dimiliki seseorang (gelar, status, jabatan,
agama, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya) semua bisa disembunyikan
dengan rapat, tetapi tidak cara berbahasanya. Cara berbahasa kita menggambarkan
dengan jelas siapa kita sesungguhnya. Begitu juga anggota DPR yang terhormat
itu. Cara berbahasa mereka dengan gamblang menggambarkan siapa mereka
sebenarnya tanpa harus menjelaskan latar belakang mereka. Kita mungkin jengkel
dengan cara dan gaya Ruhut Sitompul berkomunikasi. Tetapi menjadi lega karena
sadar siapa dia yang sesungguhnya.
Pembaca sendiri yang menyimpukannya !
Posting Komentar