A.PENDAHULUAN
Al-Sunnah adalah sumber kedua setelah al-Quran dalam penetapan hukum-hukum fiqh dan syari’at. Oleh karena itu, pembahasan tentang al-Sunnah sebagai dasar serta dalil bagi hukum-hukum syari’at dilakukan secara luas dalam semua kitab Ushul al-Fiqh dan dari semua madzhab. Sedemikian pentingnya, sampai-sampai al-Auza’iy (wafat 157 H) menyatakan bahwa “ al-Quran lebih membutuhkan al-Sunnah dibandingkan dengan kebutuhan al-Sunnah kepada al-Quran.1
Syaukani mengatakan : “Singkatnya, keberadaan al-Sunnah sebagai hujjah atau sumber hukum syari’at serta wewenangnya dalam penetapan hukum-hukum sudah merupakan suatu keharusan dalam agama, tak seorang pun berbeda paham tentangnya, kecuali mereka yang tidak cukup ilmu dalam Islam.2
Dari sekian aspek-aspek kajian ilmu Hadits, fiqh al-Hadits merupakan dimensi yang tak kalah pentingnya setelah ilmu dirayah dan musthalah al-Hadits. Hal ini karena fiqh al-Hadits adalah kajian yang mencoba menggali dan memahami ajaran yang terkandung dalam Hadits-hadits Nabi untuk dapat diamalkan. Apresiasi terhadap Islam tidak hanya cukup dengan mengetahui adanya pesan-pesan Allah dan Rasul serta memperagakan ketaatan semata, tetapi juga lebih jauh dari itu, yakni kemampuan menangkap dan memahami pesan-pesan yang terkandung di balik redaksi al-Quran dan Hadits-hadits Nabi. Kemampuan inilah sebetulnya yang paling penting dalam mencuatkan dan meneguhkan karakter agama yang moderat, tidak memberatkan dan shalih li kulli zaman wa makan (selalu selaras dengan ruang dan waktu manapun).3
Setiap muslim wajib mempelajari dan mendalami Hadits Nabi, karena Hadits merupakan sumber utama ajaran Islam di samping al-Quran. Hadits bisa sebagai penjelas terhadap isi al-Quran yang bersifat global atau memperincikannya, sebagai penguat informasi al-Quran, bahkan pembuat hukum yang tidak ada dalam al-Quran dengan syarat tidak bertentangan dengan nilai-nilai al-Quran. Dalam rangka mendalami Hadits, sangat diperlukan seperangkat ilmunya, yaitu ilmu Hadits. la berkembangan dan terbagi kepada beberapa cabang dengan fungsi dan kegunaan yang berbeda-beda. Hal ini benar-benar penting untuk dipelajari dan dipahami, karena fungsinya sangat besar dalam memahami ajaran Islam.4
B.PENGERTIAN FIQH AL-HADITS
Fiqh al-Hadits berasal dari dua kata yaitu fiqh dan al-Hadits. Fiqh berasal dari kata فقه-يفقه-فقها yang artinya secara bahasa adalah mengerti atau faham akan sesuatu,5 dan secara istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.6 sedangkan al-Hadits berasal dari kataحديثا -ىحدث - حدوثا حدث-yang artinya secara bahasa adalah baru,7 dan secara istilah adalah sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi s.a.w. dari perkataan, perbuatan, penetapan dan sifatnya.8 Dengan demikian, maka fiqh al-Hadits dapat dikatakan sebagai salah satu aspek ilmu Hadits yang mempelajari dan berupaya memahami Hadits-hadits Nabi dengan baik. Dimaksudkan dengan baik adalah mampu menangkap pesan-pesan keagamaan sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh Nabi (murad al-Nabi).9
Pemahaman akan al-Hadits wajib dilaksanakan oleh kita umat Islam, karena al-Hadist merupakan sumber hukum Islam setelah al-Quran yang wajib kita laksanakan dan implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dan al-Hadits merupakan dasar tasyri’ atau menetapkan ketentuan syari’at Islam atau hukum Islam.
C.DASAR-DASAR FIQH AL-HADITS
Dasar-dasar fiqh al-Hadits diantaranya :
1.Fiqh al-Hadits yang berarti penafsiran dan penjelasan Hadits, merupakan cabang ilmu Hadits paling penting setelah sejarah Hadits, istilah-istilah ilmu Hadits, dan rijal al-Hadits. Dan seluruh ilmu-ilmu Hadits digunakan sebagai mukadimah atau tangga awal untuk mempermudah dalam memahami Hadits.
2.Konsepsi-konsepsi (pemahaman) kata merupakan kajian utama pada dasar-dasar dalam memahami Hadits. Karena kata-kata ibarat pondasi dasar sebuah kalimat atau ungkapan yang mana ia memainkan peran sebagai media dalam menyampaikan makna atau maksud. Perbedaan pada makna قطع (potong) dan definisi "tangan" pada QS. Al-Maidah: 38 (السارق و السارقة فاقطعوا أيديهما), dan definisi مول? (maula) pada riwayat: من کنت مولاه فعل? مولاه merupakan diantara contoh akan perlunya ilmu ini.
3.Dengan alasan bahwa kata-kata dalam bahasa Arab terbentuk dari form-form (bentuk) yang berbeda-beda dengan melihat akar katanya tersebut, maka mengetahui akar kata merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam memahami makna sebuah kata.
4.Terkait dengan kata-kata yang konsepsi-konsepsinya itu berhubungan dengan alam metafisik, seperti: Mizan, Lauh, Qalam, 'Arsy, dan lain-lain, terdapat tiga pandangan;
a.Maktab ta'thil; kewajiban kita atas konsepsi kata-kata seperti ini adalah menyerahkannya kepada Allah Swt.
b.Maktab tasybih (antropomorfisme); memaknai kata-kata tersebut sesuaidengan makna materinya.
c.Maktab antara ta'thil dan tasybih; menyandarkannya kepada apa yang diajarkan oleh para Imam Ma'shum as. Pandangan yang ketiga inilah yang bisa diterima dan dengannya akan diperoleh makna murni dari kata-kata tersebut. Sebagai contoh; kata mizan pada hari kiamat yang sebagian memaknainya dengan timbangan yang ada di dunia, diganti dengan makna lain yaitu ( ما يوزن به ) dimana dengan makna ini maka manusia sempurna (insan kamil) juga bisa termasuk di dalamnya.
5.Sebagian kata-kata itu mengalami perubahan dan pembaharuan makna yang diakibatkan oleh roda zaman serta kebutuhan yang berbeda-beda setiap dekade dan era, dan ini memungkinkan kalau makna awal dari kata-kata tersebut mengalami penyempitan atau perluasan makna atau bahkan pertentangan makna awal dengan makna barunya. Oleh sebab itu, merupakan sebuah kemestian untuk memperhatikan makna yang dimaksud pada masa dikeluarkannya riwayat-riwayat tersebut. diantara contoh yang sangat jelas, yaitu kata tafaqquh dimana ketika riwayat tersebut keluar maka secara mutlak diartikan dengan pemahaman agama. Namun pada masa kita sekarang ia dimaknai dengan kajian agama khusus dalam bidang fikih dan ahkam (hukum-hukum).
6.Bahwa dengan adanya sebagian kata-kata seperti mu'min dan munafik dalam riwayat-riwayat yang digunakan pada makna-makna tertentu dan dikategorikan memiliki makna istilah riwayat, maka dengan ini perlu memperhatikan makna dari setiap kata-kata tersebut sesuai dengan istilah-istilah khusus riwayat atau Hadits.
7.Selain terkait dengan kata-kata, susunan kata-kata tersebut yang darinya sebuah kalimat bisa terbentuk dan juga ilmu nahwu (gramatikal) yang mengemban tugas tersebut (menyusun kata-kata menjadi kalimat), memegang peranan yang sangat besar dan mendasar dalam membantu bagaimana memaknai hadits-hadits. Sebagai perumpamaan dalam hadits: ( ان الله خلق آدم عل? صورته ) kalau dhamir (kata ganti) ( صورته ) kembali kepada Allah Swt maka akan terjebak pada tasybih (antropomorfisme), tapi kalau kata gantinya itu kembali kepada Nabi Adam as maka akan berarti ketetapan bentuk manusia. Dengan demikian sangatlah penting untuk mengetahui bentuk susunan kalimat-kalimat.
8.Dalam beberapa riwayat terdapat hal-hal seperti Allah s.w.t. menginterogasi dan meminta pertanggungjawaban akal atau langit dan bumi menangis akibat kematian seorang mukmin, dimana dalam pemaknaannya secara zahir merupakan hal yang sulit. Untuk memahami makna riwayat-riwayat seperti ini, perlu menggunakan kaidah-kaidah ilmu ma'ani dan ilmu bayan dan dengan melihat asal bahasa riwayat-riwayat tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa kalimat-kalimat seperti ini mengandung nilai-nilai kinayah (sindiran) dan isti'arah (metafora).
9.Siyaq yang berarti cara berbicara dan menyusun kalimat adalah salah satu indikasi redaksional yang punya pengaruh penting dalam memahami kandungan sebuah kalimat serta menghilangkan adanya dwimakna (mubham) yang terdapat di dalamnya dan juga membantu untuk menemukan makna-makna yang dimaksud si pembicara. Sebagai perumpamaan dalam riwayat ghadir dimana di dalamnya terdapat kalimat ( ألست أولي بالمؤمنين من أنفسهم و أموالهم) yang menjadi indikasi sehingga bisa memaknai kata (مولي) yang terdapat pada kalimat ( من كنت مولاه فهذا علي مولاه) sebagai Imamah dan pemimpin.
10.Bahwasanya riwayat-riwayat itu memiliki kesamaan dengan al-Quran, yaitu antara satu riwayat dengan riwayat yang lain itu saling menafsirkan dan menjelaskan. Dari itu sebuah kemestiaan, dalam rangka memahami kandungan terakhir sebuah riwayat, merujuk kepada riwayat-riwayat yang serupa isi serta kandungannya yang disebut riwayat dari satu keluarga.10
D. CONTOH FIQH AL-HADITS
قال الامام مسلم في كتاب الصلاة من صحيحه : حدثنا زهير بن حرب حدثنا جرير عن سهيل عن ابيه عن ابي هريرة رضي الله عنه قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : خير صفوف الرجال اولها وشرها اخرها و خير صفوف النساء اخرها وشرها اولها
Arti Hadits :
Imam Muslim di dalam Kitab Shalat dari Kitab Shahihnya berkata : Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami : (kata Zuhair) Jarir telah menceritakan kepada kami :(ia menerima) dari Suhail (ia menerima) dari ayahnya :(ayahnya menerima) dari Abu Hurairah r.a. ia berkata : Rasulullah s.a.w telah bersabda : “sebaik-baik shaf bagi laki-laki itu di awalnya dan seburuk-buruknya itu di akhirnya. Dan sebaik-baik shaf bagi wanita itu diakhirnya dan seburuk-buruknya di awalnya.”
Takhrij Hadits :
Imam Muslim mengeluarkan Hadits tersebut di dalam kitab Shahihnya, dibagian kitab shalat. Sedangkan Imam Bukhari tidak mengeluarkan Hadits tersebut. Muslim dalam mengeluarkan Hadits tersebut dari jalur rawi Suhail dengan dua jalan. Pertama seperti yang tertulis sebagai topik kajian, sedangkan yang kedua Muslim menerima dari gurunya Qutaibah bin Sa’id dan Qutaibah menerima dari Abdul Aziz (yaitu Darawardi), Abdul Aziz menerima dari Suhail dan selanjutnya dalam isnad tersebut.
Isnad Hadits :
Isnad dalam Hadits Abu Hurairah riwayat Muslim tersebut terdiri dari lima rawi. Pertama adalah Zuhair bin Harb, ia guru Imam Muslim yang mencatat Hadits tersebut. Kedua adalah Jarir bin Abdul Hamid. Ketiga Suhail bin Abi Shalih. Keempat Abu Shalih dan kelima Abu Harairah shahabat Nabi s.a.w. Kelima orang rawi tersebut semuanya tsiqah (kepercayaan) dan dapat dijadikan pegangan sebagai sandaran periwayatan Hadits. Pemilik Kutub al-Sittah secara umum semuanya mengeluarkan Hadits dengan menyandarkan lima rawi tersebut, kecuali Imam Tirmidzi. Baginya tidak mengeluarkan Hadits dengan rawi Zuhair bin Harb.
Syarah Hadits :
1.Dalam arti umum Hadits menunjukan adanya keutamaan shaf awal bagi jam’ah shalat untuk kaum laki-laki. Sebagai lawannya shaf akhir dinilai tidak memilki keutamaan bahkan disebut syarrun. Pengertian ini merupakan ketetapan yang memilki nilai tetap bagi mereka, baik mereka shalat berjam’ah hanya sesama laki-laki saja ataupun bersama mereka itu ada jama’ah dari kaum wanita.
2.Dalam pada itu Hadits juga menunjukan bahwa wanita yang ikut berjama’ah shalat bwersama laki-laki, maka hak mereka adanya keutamaan shaf bagi yang menempati di akhirnya. Sebagai lawannya bagi yang menempati shaf awal dinilai tidak memiliki keutamaan . menurut lahirnya pengertian ini khusus adanya shalat berjama’ah bagi wanita bersama laki-laki. Dengan pengertian bahwa apabila jama’ah shalat itu hanya terdiri sesama wanita denagn imam wanita pula, maka afdlalu shaf atau keutamaan shaf mereka itu adalah pada shaf awal.
3.Sabda Rasulullah s.a.w. :
خير صفوف الرجال اولها
Yang berarti :” Sebaik-baik shaf bagi laki-laki itu di awalnya,” pengertian kebaikan yang dimaksud itu adalah kebaikan atas lainnya, bahwa pada shaf itu memilki kelebihan yang tidak dimilki oleh yang lainnya. Diantaranya karena dekatnya dengan imam sehingga dapat lebih faham yang dilakukan oleh imam, serta dapat menghasilkan dari pengertian pada arah yang disyari’atkan.
4.Sabda Rasulullah s.a.w. :
وشرها اخرها
Yang berarti :” Dan seburuk-buruk shaf bagi laki-laki itu diakhirnya.” Pengertian ini dimaksudkan karena jauhnya dari imam dan dekatnya dengan wanita yang menjadi sebab adanya kemungkinan keterkaitan hati yang menimbulakn tidak khusu’ dan timbulnya fitnah antara laki-laki dan wanita. Mengingat banyak isyarat agar antara dua jenis tersebut senantiasa membuat jarak yang jauh, kecuali yang menjadi haknya.
5.Imam Syaukani dalam Kitab Nailul Authar menjelaskan sabda Nabi s.a.w : وخيرصفوف النساء اخرها yang berati :” Dan sebaik-baik shaf bagi wanita itu di akhirnya” dikemukakan : hanya yang dimaksud sebaik-baik dalam hal ini, sebaik-baik berdirinya karena jauh dari percampuran dengan laki-laki
6.Apabila tempat seburuk-buruk shaf bagi laki-laki itu dengan tempat seburuk-seburuk shaf bagi wanita, dimanahal itu menjadi tempat timbulnya fitnah antara kedua belah pihak, berdasarkan kebiasaan mereka yang shalat ke Masjid berjama’ah terdiri dari laki-laki dan wanita, yang dalam hal ini disyari’atkan dalam ajaran Islam, maka adanya ikhtilath antara laki-laki dengan wanita diberbagai tempat yang mengandung fitnah, seperti di kelas-kelas pendidikan dan lembaga-lembaga lebih layak untuk ditiadakan.
Fiqh al-Hadits dan Istimbath :
1.Dalam ajaran Islam disyari’atkan shalat berjama’ah
2.Shalat berjam’ah yang disyari’atkan itu, berlaku untuk laki-laki dan wanita dan dapat pula dilakukan jama’ah khusus untuk laki-laki dan wanita saja
3.Dalam shalat berjama’ah yang terdiri dari laki-laki dan wanita, menurut ketentuan shaf bagi laki-laki di bagian muka, sedang shaf bagi wanita di bagian belakang.
4.Bagi laki-laki sebaik-baik shaf itu pada shaf yang paling depan (awal), sedang shaf yang paling akhir dinilai sebagai shaf yang tidak afdal (syarrun).
5.Pengertian tersebut menjadi kebalikan bagi shaf bagian wanita. Untuk wanita sebaik-baik shaf itu yang paling akhir, sedang shaf yang paling depan, dinilai sebagai shaf yang tidak baik (syarrun).
6.Pengertian baik dan buruk shaf bagi laki-laki dan wanita dalam shalat berjama’ah tersebut dalam bentuk perbandingan keutamaan shaf.
7.Wanita dalam shalat berjama’ah bersama laki-laki tidak boleh dalam satu shaf.
8.Laki-laki dalam shalat berjama’ah dengan wanita tidak boleh pada shaf di belakang wanita.
9.Hadits memberi isyarat agar shaf wanita itu jauh dari shaf laki-laki
10.Pengertian tersebut akan dinilai lebih utama/afdhal daripada dekatnya shaf antara keduanya.
11.Dari pengertian tersebut menunjukan adanya amal-amal yang kurang afdal disebut syarrun yang berarti buruk, sekalipun dalam perbuatan ibadah yang baik.
12.Dari Hadits dapat difahami ada perbedaan hukum antara laki-laki dan wanita
13.Dalam mengetengahkan hukum yang dikhususkan bagi laki-laki dan wanita, disebutlah lebih awal ketentuan hukum laki-laki. Sesudah itu baru dikemukakan hukum yang khusus bagi wanita.
14.Dari Hadits ada isyarat bahwa wanita itu lebih baik shalatnya di rumah daripada di Masjid, meskipun shalat berjama’ah di Masjid bersama dengan laki-laki juga disyari’atkan.
15.Dari pengertian tersebut dapat difahami dalam Hadits mengandung petunjuk adanya tingkatan dan perbandingan keutamaan amal yang baik
16.Dari Hadits juga ada isyarat bahwa pada diri wanita itu selain menjadi dayavtarik bagi laki-laki, juga akan banyak menimbulkan fitnah apabila aturan syar’i tidak dijadikan pegangan.
17.Oleh karena itu dalam ihtiyat atau kehati-hatian, syari’at melalui Hadits tersebut telah mengatur dan mengingatkan letak dan jarak penempatan shaf bagi keduanya dalam shalat berjam’ah.11
E.HADITS SEBAGAI DASAR TASYRI’
Tasyri' secara bahasa diambil dari kata dasar syir'ah atau syarî'ah yang arti asalnya adalah masyra'at al- mâ-a ya'ni maurid al- mâ-a = sumber air atau mata air. Karena adanya sumber atau mata air itulah orang berdatangan ke tempat tersebut secara rutin dan bergantian sehingga membentuk jalan. Kemudian istilah syariat bergeser dari arti "sumber air" menjadi "jalan menuju sumber air" tersebut. Penggunaan kata "jalan" dalam bahasa Arab dapat berarti jalan dalam makna asli (hakiki) yang bersifat fisik materil yang dapat dicapai indra manusia seperti jalan yang biasa ditempuh musafir di tanah atau dipadang pasir, dan jalan dalam pengertian secara metaforis (majazi) yang bersifat abstrak, seperti suatu ajaran atau tuntunan petunjuk kehidupan. Maka agama disebut "syir'ah" dan "syari'ah" karena ia ajaran atau tuntunan laksana jalan yang harus ditempuh manusia menuju kebenaran, menuju Tuhan dan menuju kebahagiaan hidupnya. Sebagaimana jalan yang ditempuh untuk menuju mata air. Jalan agama itu tiada lain adalah ajaran dan hukum yang terkandung didalamnya. Jalan agama Islam terbentuk dari dua sumber yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Rasulullah (Al-Hadits yang sahih). Maka apa yang digariskan keduanya melahirkan syariat. Proses pembentukan jalan disebut tasyri'. Maka istilah tasyri' dalam konteks ini bermakna "proses dan cara pembentukan syari'at".12
Syari’at adalah hukum yang ditetapkan Allah s.w.t. untuk para hamba-Nya dengan perantaraan Rasulullah s.a.w. supaya para hamba melaksankan dasar iman, baik hukum itu mengenai amaliah lahiriah, maupun yang mengenai akhlak dan aqidah yang bersifat bathiniyah. Syari’at Islam dalam arti luas meliputi segala yang berhubungan dengan aqidah, akhlak, ibadah dan mu’amalah.13
Semua hukum syariat tersebut di atas bersumber dari al-Quran dan al-Hadits. Artinya bahwa cakupan hukum yang terkandung dalam al-Hadits sama dengan apa yang terkandung dalam al-Quran. berkaitan dengan bagaimana kedudukan al-Quran dalam hukum Islam serta bagaimana metode pensyariatan hukum al-Qur'an telah banyak dibahas dalam ilmu tafsir dan ushul fikih.14
Dalil yang menetapkan tentang kedudukan Hadits sebagai dasar tasyri sangat banyak baik berdasarkan Al-Quran, Hadits itu sendiri maupun ijma (kesepakatan) para sahabat diantaranya;
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah Ta'ala. Sesungguhnya Allah Ta'ala sangat keras hukuman-Nya". (QS al- Hasyr[59]: 7)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
"Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah Ta'ala. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka."(QS al-Nisaa [4]: 80)
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى رواه البخاري ومسلم
" Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan. (Para sahabat) bertanya, "Siapa mereka itu yang enggan wahai Rasulullah"? Beliau bersabda : "Barangsiapa yang mentaatiku maka dia akan masuk surga dan siapa yang mendurhakaiku maka dialah yang enggan masuk surga " (H.R. Bukhari - Muslim)
Umumnya kaum muslimin menerima kedudukan Hadits sebagai dasar tasyri itu dan hanya sebaigian kecil yang menolaknya (inkarusunnah) namun demikian persoalan yang terpenting adalah bagaimana dalam pelaksanaannya, sebab ayat-ayat dan hadits yang menetapkan kedudukan hadits itu umumnya bersifat teologis sedangkan cara dalam melaksanaannya tidak disebutkan secara eksplisit. Pelaksanaan atau bagaimana hadits diamalkan dikaji dari sudut ilmu hadits atau musthalahul hadits yang niscaya dipelajari bagi setiap muslim yang menginginkan hanifan lidinihi (benar dan lurus dalam agamanya)15
Selain masalah kedudukan Hadits sebagai sumber hukum Islam, para ulama juga membahas seputar tingkatan atau rutbah Hadits dalam syariat. Apakah tingkat dan posisi Hadits sama dengan al-Quran dalam memberikan landasan hukum ataukah berbeda. Dengan kata lain, apakah posisi Hadits dengan al-Quran itu bersifat sejajar-setara (posisi horizontal) ataukan bertingkat-bertangga (posisi vertikal). Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas tentang kehujahan dan kedudukan Hadits, dapat dikatakan bahwa ditinjau dari segi kewajiban taat kepada Rasulullah sama dengan kewajiban taat kepada Allah maka konsekwensi hukum yang ditetapkan Hadits secara global sama dengan apa yang ditetapkan oleh al-Quran. Artinya hukum yang ditetapkan oleh Hadits secara materil hakikatnya adalah perincian dari yang ditetapkan oleh al-Quran, karena itu dari segi kewajiban melaksanakannya sama saja dengan kewajiban melaksanakan al-Quran. Hanya saja ada beberapa aspek dari sudut formilnya, yaitu aspek prosedur dan metodologi periwayatan Hadits yang bersifat spesifik yang menyebabkan bobot kehujahan dan status Hadits tidak mungkin dapat disamakan atau disejajarkan dengan al-Quran:
1.Dari sudut kepastian datangnya (qath'iyat al- wurud), seluruh ayat al-Quran bersifat pasti, qath'i, karena al-Quran diriwayatkan secara mutawâtir, periwayatan kolektif dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan jumlah periwayat yang tidak memungkinkan secara akal dan adat terjadi kedustaan atau kekeliruan. Sementara Hadits sangat sedikit yang diriwayatkan dengan cara mutawâtir dan keumumannya periwayatan bersifat individual yang disebut dengan riwayat âhad. Karena itu Hadits ditinjau dari segi datang dan keberadaannya bersifat dhanny, masih menyimpan adanya kemungkinan kekhilafan.
2.Sebagai konsekwensi dari dhanniyah al-wurud pada hadits-hadits ahad, maka terjadi kemungkinan kesalahan dalam periwayatan hadits, baik disengaja ataupun disebabkan faktor human error. Karena itu para ulama Hadits mengklasifikasikan Hadits kepada tingkatan Shahih, Hasan, dan Dhaif. Hanya Hadits yang berderajat Shahih dan Hasan yang boleh dijadikan sandaran hukum
3.Dalam pengklasifikasian Hadits menjadi shahih, hasan, dan dhaif, tidak seluruh Hadits yang dikatagorikan shahih disepakati kesahihannya oleh semua ulama Hadits, demikian juga tidak setiap yang dikatagorikan dhaif disepakati oleh semua ulama tentang kedhaifannya. Maka suatu yang tidak bisa dihindari bahwa ada sebagian Hadits yang ditolak oleh sebagian kalangan ulama karena dinilai lemah, dan diterima oleh sebagian ulama yang lain karena dinilai Shahih. Kelompok yang menolak suatu Hadits karena dinilainya lemah tidak dapat dihukumkan sebagai orang yang mengingkari ketaatan pada Rasul sehingga divonis sebagai orang murtad. Sebab yang ia tolak bukan materi Haditsnya sebagi perkataan atau perbuatan Rasulullah yang wajib diikuti, akan tetapi prosedur dan metode penyampaian hadits tersebut yang tidak meyakinkan sehingga diragukan kebenarannya dari Rasulullah.
4.Pada kenyataannya kewajiban mentaati Hadits ditetapkan oleh al-Quran. Maka al-Quran adalah pokok atau pangkal dari hukum, sedang Hadits adalah cabang yang ditetapkan oleh al-Quran. Sebagaimana ijma' ditetapkan oleh perintah al-Quran dan Hadits. Maka suatu yang tidak rasional jika yang pokok disamakan kedudukannya dengan yang cabang.
5.Tingkatan kehujahan Hadits sebagai dasar hukum kedua setelah al-Quran juga diisyaratkan dalam al-Qur'an dan Hadits itu sendiri. Kemudian dipraktekan oleh ijma' shahabat. al-Qur'an mengatakan, "Ta'atlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul agar kamu dirahmati" (QS Ali Imran [3]: 132). Pada ayat ini diperintahkan taat pertama-tama kepada Allah kemudian kepada Rasul-Nya. Dalam Hadits Nabi dikatakan kepada Muadz, "Bagaimana kamu memutuskan perkara jika dihadapkan kepada suatu urusan?". Muadz menjawab, "Aku akan memutuskan dengan Kitabullah!".Rasulullah bertanya lagi, "Jika kamu tidak menemukan pada Kitabullah?". Muadz menjawab, "Aku akan memutuskan dengan Sunnah Rasul-Nya!". Rasulullah bersabda lagi, "Bagaimana jika kamu tidak menemukan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah?". Muadz menjawab, "Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan tidak melampaui batas!". (Hadits Riwayat Abu Dawud). Demikian juga pesan Umar kepada Qadhi Syuraeh, "Perhatikanlah apa yang telah jelas kepadamu dari Kitabullah, janganlah bertanya lagi darinya kepada siapapun. Dan jika tidak jelas kepadamu pada Kitabullah maka ikutillah Sunnah Rasulullah saw…16
F.PENGAMALAN HADITS
Yang dimaksud pengamalan Hadits adalah mengunakan Hadits sebagai fungsinya yakni sebagai hujjah, bayanul al-Quran, ta'qid al-Quran dan manhaj al-‘amaliyah . Adalah Hadits yang berkatagori Hadits maqbul (yang diterima) yaitu; Hadits shahih, baik yang lizatihi maupun yang ligairihi dan Hadits hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi. Jadi Hadits yang berkatagori Hadits mardud (Hadits dha'if) tidak dapat diamalkan.17
Hadits yang berkatagori Hadits maqbul atau yang diterima yaitu Hadist shahih dan Hadits hasan adalah Hadits yang boleh diamalkan dalam pelasanaan ibadah sedangkan Hadits yang mardud atau Hadits dha’if tidak bisa diamalkan dalam amaliyah ibadah, berikut ini adalah penjelasan tentang pengertian Hadits maqbul dan Hadits mardud.
Yang termasuk kedalam Hadits maqbul adalah Hadits shahih dan hasan, pertama Hadits shahih Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Nukhbat al-Fikar, yang dimaksud dengan Hadits Shahih adalah Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal. Dalam kitab Muqaddimah al-Thariqah al-Muhammadiyah disebutkan bahwa definisi Hadits shahih itu adalah Hadits yang lafadznya selamat dari keburukan susunan dan maknanya selamat dari menyalahi ayat Quran.18
Syarat-Syarat Hadits Shahih:
Untuk bisa dikatakan sebagai Hadits shahih, maka sebuah Hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:
1.Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
2.Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya
3.Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
4.Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)
5.Tidak janggal, artinya tidak ada pertentangan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.19
Kedua, adalah Hadits hasan Menurut bahasa adalah merupakan sifat musyabbah dari kata al-husn, yang berarti al-jamal (bagus). Sementara menurut istilah, para ulama’ mendefinisikan hadits hasan sebagai berikut,
a.Al-Khathabi, Hadits hasan adalah Hadits yang diketahui tempat keluarnya kuat, para perawinya masyhur, menjadi tempat beredarnya Hadits, diterima oleh banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqaha.
b.At-Tirmidzi, hadits hasan adalah Hadits yang diriwayatkan, yang di dalam sanadnya tidak ada rawi yang berdusta, Haditsnya tidak syadz, diriwayatkan pula melalui jalan lain.
c. Menurut Ibnu Hajar, Hadits hasan adalah Hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, kedlobithannya lebih rendah dari Hadits shahih, sanadnya bersambung, Haditsnya tidak ilal dan syadz.
Syarat Hadits Hasan :
Adapun syarat Hadits hasan sama dengan syarat Hadits shahih, yaitu ada lima namun tingkat kedlobitanya berbeda.
a.Sanadnya bersambung,
b. Perawinya adil, lebih rendah dari hadits shahih,
c.Dlobith,
d.Tidak ada illat,
e. Tidak ada syadz,20
Kemudian yang termasuk kedalam Hadits mardud adalah Hadits dha’if, Menurut bahasa dha’if berarti ‘aziz: yang lemah sebagai lawan dari qawiyyu yang artinya kuat. Sedang menurut istilah, Ibnu Shalah memberikan definisi :
ما لم يجمع صفات الصحيح ولاصفات الحسن
Artinya:
“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.
Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat yang seharusnnya dihindarkan, menurut dia cukup :
ما لم يجمع صفات الحسن
Artinya:
“yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”
Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadits hasan sudah barang tentu tidak memenuhi syarat-syarat Hadits shahih.
Para ulama memberikan batasan bagi Hadits dha’if :
الحديث الضعيف هو الحديث الذي لم يجمع صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث
Artinya:
“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat Hadits Shahih dan juga tidak menghimpun sifat-sifat Hadits hasan”.
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian Hadits dha’if adalah hadits yang lemah, yakni para ulama masih memiliki dugaan yang lemah, apakah hadits itu berasal dari Rasulullah atau bukan. Hadits dha’if itu juga bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat Hadits shahih tetapi juga tidak memenuhi syarat-syarat Hadits hasan.21
Status kehujahan Hadits dha’if para ulama berbeda pendapat diantaranya : Pendapat pertama; Hadits dha’if tersebut dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkaitan dengan masalah halal, haram, maupun kewajiban, dengan syarat tidak ada Hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampai kan oleh beberapa imam, seperti: Imam Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan sebagainya.
Pendapat yang kedua; dipandang baik mengamalkan Hadits dha’if dalam fadailul amal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang.
Pendapat ketiga; Hadits dha’if samasekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadailul amal maupun halal haram. Pendapat ini dinisbatkan kepada Qadi Abu Bakar Ibnu Arabi.22
Sebagian ulama kontemporer berpendapat, Hadits dha'if itu boleh diambil dan diamalkan, tetapi harus memenuhi kriteria berikut:
1.Hadits itu menyangkut masalah fadha'ilul a'maal (keutamaan-keutamaan amalan)
2.Hendaknya berada di bawah pengertian Hadits shahih
3.Hadits itu tidak terlalu amat lemah (dha'if)
4.Hendaknya tidak mempercayai ketika mengamalkan, bahwa Hadits itu berasal dari Rasulullah s.a.w23
G.PENUTUP
Fiqh al-Hadits adalah salah suatu kajian yang sangat penting dari ilmu hadits, karena dengan fiqh al-Hadits kita dapat memahami, dan mengamalkan Hadits-hadits Nabi s.a.w. yang merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah al-Quran al-Karim.
Semua hukum syari’at berdasarkan al-Quran dan al-Hadits, yang menjadi dalil bahwa al-hadits menjadi sumber hukum Islam adalah al-Quran yaitu QS. al-Hasyr [59]: 1, QS. al-Nisa[4]: 80 dan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.
Pengamalan Hadits adalah menggunakan Hadits sebagai fungsinya yaitu sebagai hujjah, bayan al-Quran, ta’qid al-Quran dan manhaj al-amaliah, adalah Hadits yang berkatagori Hadits maqbul atau Hadits yang diterima sebagai dasar untuk mengeluarkan hujjah. Yang termasuk Hadits maqbul ini adalah Hadits shahih dan hadits hasan. Sedangkan para ulama berbeda pendapat tentang mengamalkan Hadits mardud atau Hadits yang tidak diterima yang termasuk Hadits ini adalah Hadits dha’if menurut sebagian ulama Hadits dha’if bisa diamalkan dengan catatan untuk fadha al-a’mal dan sebagian ulama berpendapat bahwa tidak boleh mengamalkan suatu amalan dengan menggunakan Hadits dha’if.
Demikian makalah ini dibuat, sebagai bahan seminar tentang ilmu Hadits (Fiqh al-Hadits), penulis merasa makalah ini masih jauh dari sempurna dan fokus terhadap kajian yang dikaji, oleh karena itu penulis berharap kepada pembimbing Mata kuliah Ilmu Hadits Prof. Dr. Tajul Arifin MA, untuk senantiasa membimbing dan mengarahkan penulis menuju kesuksesan dan kepada rekan mahasiswa pasca sarjana penulis berharap masukan dan kritikannya yang bisa mengarahkan penulis ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf. 1978. Ushul al-Fiqh. Beirut : Darl al-fikr.
Ahmad Husnan. 1997. Takhrij Hadits Riwayat Bukhari & Muslim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Akhmad Sagir” ULUM AL-HADITS (Sejarah, Perkembangan, Cabang dan Fungsinya)” Knowledge Management Research Group,cited from digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=hubptai-gdl-akhmadsagi-538, accesed, 22 October 2010.
Anonimous, ”PENGANTAR ILMU HADITS” cited from www. alhassanain.com/ indonesian/book/book/al_hadith_and_its_sciences_library/various_books/pengantar_ilmu_hadits/008.html, accesed, 24 October 2010.
Agus Junaedi” KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS DALAM TASYRI' SERTA PENGAMALANNYA” cited from www.akhirzaman.info/ islam/miscellaneous/1523-kedudukan-dan-fungsi-hadits-dalam-tasyriserta-pengamalannya.html, accesed 23 October 2010.
Anonimous” Macam Hadits Shahih, Syarat dan Klasifikasinya” Yuari tarbawi center, internet research, cited from yuari. wordpress.com/ 2008/09/01/ macam-hadits-shahih-syarat-dan-klasifikasinya/, acceced 23 October 2010.
Ahmad sarwad” Tingkatan dan Jenis Hadits ”cited from http://www. eramuslim.com, accseced, 23 October 2010.
Anonimous “Hadits Dha’if” Fanny at Home,internet research, cited from http:// makalah85.blogspot.com/2008/12/hadits-dhaif.html, accesed, 24 October 2010.
Anonimous, “Hadits-hadits dha’if dan Maudhu” Cited from http:// dida.vbaitullah.or.id / islam / buku / jalan-selamat / node42.html, accesed, 24 October 2010
Endang Soetari. 2008. Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung : CV. Mimbar Pustaka.
Jeje Jaenudin” HADITS DAN TASYRI ” by Admin, internet research, cited from www.stidnatsir.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 119: hadits-dan- tasyri&catid = 29:artikel-dosen&Itemid = 86, accesed, 23 October 2010.
Mahmud al-Thahan. t.th. Musthalah al-Hadits. t.t : t.pn
Mahmud Yunus. 1989. kamus Arab Indonesia. Jakarta : Hidakarya Agung.
Maizuddin ” Fiqh al-Hadits: Aspek penting dalam Hadits ” Maizuddin's Blog, internet research, cited from http://maizuddin.wordpress.com/ 2010/03/20/ fiqh-al-hadits-aspek-penting-ilmu-hadis/, accesed, 22 october 2010.
Tengku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy. 1997. Pengantar Imu Fiqh. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Yusuf Qardhawi.1995. Kaifa Nata’alamu Ma’a As-Sunnah An-Nabawiyyah. USA Al-Ma’had Al- Islamiy l al-fikr t.th,Terjemahan Karisma.
FIQH AL-HADITS
Selasa, 25 Januari 2011 | by Jakabg123
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar