Makalah Filsafat Ilmu dan Kebenaran


BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG
Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu, dan berfilsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang tak terbatas ini. Demikian juga berfilsafat berarti mengkoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.

Ilmu merupakan pengetahuan yang kita gumuli sejak kita lahir sampai kita meninggal. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang pada diri kita sendiri, apakah sebenarnya yang saya ketahui tentang ilmu?apakah ciri-ciri yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya yang bukan ilmu?bagaimana saya ketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar?kriteria apa yang kita pakai dalam menentukan kebenaran ilmu?mengapa kita mesti mempelajari ilmu?dan seterusnya.

Seorang yang berfilsafat berarti berendah hati mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah diketahuinya, mengakui kelemahan dan sempitnya ilmu yang dimilikinya. Dia diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang menengadah kelangit yang penuh bintang. Dia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kesemestaan galaksi. Atau seorang yang berada dipuncak gunung memandang lembah dan jurang dibawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.

Karakteristik berfikir filsafat yang pertama adalah sifat menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konsentrasi pengetahuan yang lain. Dia ingin tahu kaitan ilmu dengan moral. Kaitan ilmu dengan agama dan ingin yakin apakah ilmu itu membawa kebahagiaan.

  1. TUJUAN
Dalam makalah ini, penyusun mencoba untuk mengkaji keterkaitan antara filsafat, ilmu dan kebenaran, dengan menguraikan masing-masing pengertiannya untuk mencapai sebuah kesinambungan yang sinergi antara filsafat, ilmu dan kebenaran.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. FILSAFAT
Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Secara etimologi, filsafat berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan. Filsuf atau filosof berarti orang yang cinta akan kebijaksanaan. Kata “kebijaksanaan” dalam pengertian filsafat umumnya adalah “kebenaran sejati”. Sehingga filsafat diartikan sebagai suatu tindakan berpikir yang menggunakan akal budi untuk mencari dan menemukan kebenaran hakiki.
Dari pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan relaitas hidupnya, “apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang relaitas? Aristoteles menyebut manusia sebagai “binatang berpikir”.

    1. Berbagai Pengertian Filsafat, Diantaranya :
  1. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, filsafat diartikan dalam tiga definisi:
    • Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukum-hukumnya.
    • Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.
    • Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.
  2. Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentang bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking about thinking.
  3. Beberapa filsuf mengajukan beberapa definifi pokok seperti:
    • Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas
    • Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata,
    • Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya.
    • Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan
    • Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang ada katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.
  4. Penulis sendiri mendefinisikan ilmu filsafat sebagai disiplin ilmu yang mencari dan menggeluti segala yang ada sehingga sampai pada suatu kebijaksanaan universal dengan mengunakan akal budi guna merumuskanya secara sistematis, metodis dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal budi pula.
    1. Ciri-Ciri Filsafat
Bila dilihat dari aktivitasnya filsafat merupakan suatu cara berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu. Sementara itu Sidi Gazalba (1976) yang dikutip oleh oleh Uhar Suharsaputra (2004) menyatakan bahwa ciri ber-Filsafat atau berfikir Filsafat adalah : radikal, sistematik, dan universal. Radikal bermakna berfikir sampai ke akar-akarnya (Radix artinya akar), tidak tanggung-tanggung sampai dengan berbagai konsekwensinya dengan tidak terbelenggu oleh berbagai pemikiran yang sudah diterima umum, Sistematik artinya berfikir secara teratur dan logis dengan urutan-urutan yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan, Universal artinya berfikir secara menyeluruh tidak pada bagian-bagian khusus yang sifatnya terbatas.
Sementara itu menurut Sudarto (1996) yang dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2004) menyatakan bahwa ciri-ciri berfikir Filsafat adalah :
  1. Metodis : menggunakan metode, cara, yang lazim digunakan oleh filsuf (ahli filsafat) dalam proses berfikir
  2. Sistematis : berfikir dalam suatu keterkaitan antar unsur-unsur dalam suatu keseluruhan sehingga tersusun suatu pola pemikiran Filsufis.
  3. Koheren : diantara unsur-unsur yang dipikirkan tidak terjadi sesuatu yang bertentangan dan tersusun secara logis
  4. Rasional : mendasarkan pada kaidah berfikir yang benar dan logis (sesuai dengan kaidah logika)
  5. Komprehensif : berfikir tentang sesuatu dari berbagai sudut (multidimensi).
  6. Radikal : berfikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya atau sampai pada tingkatan esensi yang sedalam-dalamnya
  7. Universal : muatan kebenarannya bersifat universal, mengarah pada realitas kehidupan manusia secara keseluruhan
Dengan demikian berfilsafat atau berfikir filsafat bukanlah sembarang berfikir tapi berfikir dengan mengacu pada kaidah-kaidah tertentu secara disiplin dan mendalam. Pada dasarnya manusia adalah homo sapien, hal ini tidak serta merta semua manusia menjadi Filsuf, sebab berfikir filsafat memerlukan latihan dan pembiasaan yang terus menerus dalam kegiatan berfikir sehingga setiap masalah/substansi mendapat pencermatan yang mendalam untuk mencapai kebenaran jawaban dengan cara yang benar sebagai manifestasi kecintaan pada kebenaran.

    1. Objek Filsafat
Pada dasarnya filsafat atau berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari, karena segala sesuatu yang ada dan yang mungkin serta dapat difikirkan bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran.
Lapangan kerja filsafat itu bukan main luasnya yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia. E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962) yang dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2004) menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek filsafat) ialah : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause (sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba jamak), dan God (Tuhan)
Pendapat-pendapat tersebut di atas menggambarkan betapa luas dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari substansi masalah maupun sudut pandang nya terhadap masalah, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek filsafat adalah segala sesuatu yang maujud dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam (radikal). Secara lebih sistematis para akhli membagi objek filsafat ke dalam objek material dan obyek formal. Obyek material adalah objek yang secara wujudnya dapat dijadikan bahan telaahan dalam berfikir, sedangkan obyek formal adalah objek yang menyangkut sudut pandang dalam melihat obyek material tertentu.
Menurut Endang Saefudin Anshori (1981) yang dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2004) objek material filsafat adalah sarwa yang ada (segala sesuatu yang berwujud), yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok yaitu : 1). Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam; dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian objek material filsafat mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang dapat difikirkan oleh manusia, sedangkan objek formal filsafat menggambarkan tentang cara dan sifat berfikir terhadap objek material tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang yang digunakan dalam memikirkan objek material filsafat.
  1. PEMIKIRAN DAN PRODUK FILSAFATI
    1. Sejarah Singkat Filsafat
Sejarah filsafat dapat diperiodisasi ke dalam empat periode (Sudarto. 1996) yang dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2004) yaitu :
          1. Tahap/masa Yunani kuno (Abad ke-6 S.M sampai akhir abad ke-3 S.M)
          2. Tahap/masa Abad Pertengahan (akhir abad ke-3 S.M sampai awal abad ke-15 Masehi)
          3. Tahap/masa Modern (akhir abad ke-15 M sampai abad ke-19 Masehi)
          4. Tahap/masa dewasa ini/filsafat kontemporer (abad ke-20 Masehi)
Sementara itu K. Bertens dalam bukunya Ringkasan Sejarah Filsafat (1976) yang dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2004) menyusun topik-topik pembahasannya sebagi berikut :
  1. Masa Purba Yunani
  2. Masa Patristik dan Abad pertengahan
  3. Masa Modern
Pembagian periodisasi yang nampaknya lebih rinci, dikemukakan oleh Susane K. Langer (Donny Gahral Adian, 2002) yang membagi sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu :
  1. Yunani Kuno (+ 600 SM)
  2. Filsuf-filsuf Manusia Yunani
  3. Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
  4. Filsafat Modern (17-19 M)
  5. Positivisme (Abad 20 M)
  6. Alam Simbolis
Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat menampakkan diri sebagi suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, baru sesudah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan aneh pada waktu itu, filsafat berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah pertanyaan biasa seperti apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tanaman kopi berbuah ?, pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, karena mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan tentang Apa sebenarnya bahan alam semesta ini (What is the nature of the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales menjawab Air (Water is the basic principle of the universe), dalam pandangan Thales air merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air dapat berubah menjadi berbagai wujud
Kemudian silih berganti Filsuf memberikan jawaban terhadap bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Anaximandros (610-540 S.M) mengatakan Arche is to Apeiron, Apeiron adalah sesuatu yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa hakekat alam semesta adalah bilangan, Demokritos (460-370 S.M) berpendapat hakekat alam semesta adalah Atom, Anaximenes (585-528 S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M) menjawab asal hakekat alam semesta adalah api, dia berpendapat bahwa di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir. Variasi jawaban yang dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan tentang Alam/Dunia, sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli tentang Filsafat Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu kealaman.
Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir Yunani pun banyak yang berupaya memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang banyak mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalah Socrates (470-399 S.M), dia sangat menentang ajaran kaum Sofis
Yang cenderung mempermainkan kebenaran, Socrates berusaha meyakinkan bahwa kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Dia mengajukan pertanyaan pada siapa saja yang ditemui dijalan untuk membukakan batin warga Athena kepada kebenaran (yang benar) dan kebaikan (yang baik). Dari prilakunya ini pemerintah Athena menganggap Socrates sebagai penghasut, dan akhirnya dia dihukum mati dengan jalan meminum racun.
Sesudah Socrates meninggal, filsafat Yunani terus berkembang dengan Tokohnya Plato (427-347 S.M), salah seorang murid Socrates. Diantara pemikiran Plato yang penting adalah berkaitan dengan pembagian relaitas ke dalam dua bagian yaitu realitas/dunia yang hanya terbuka bagi rasio, dan dunia yang terbuka bagi pancaindra, dunia pertama terdiri dari idea-idea, dan dunia ke dua adalah dunia jasmani (pancaindra), dunia ide sifatnya sempurna dan tetap, sedangkan dunia jasmani selalu berubah. Dengan pendapatnya tersebut, menurut Kees Berten (1976), Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Herakleitos dengan pendapatnya Permenides, menurut Herakleitos segala sesuatu selalu berubah, ini benar kata Plato, tapi hanya bagi dunia Jasmani (Pancaindra), sementara menurut Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga benar kata Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M), seorang yang pernah belajar di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato meninggal Aristoteles menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua tahun, sesudah itu dia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion, dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat, Aristoteles mengambil jalan yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang berpendapat bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis amica veritas – Plato memang sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab bagiku – ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai kebenaran”)
Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk), menurut teori ini, setiap benda jasmani memiliki dua hal yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimungkinkannya Ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan bentuk, bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.
Disamping pendapat tersebut Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Dia adalah yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur dalam suatu sistem, yang intisarinya adalah Sylogisme (masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang khusus (Mohammad Hatta, 1964).
Abad Pertengahan. Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan mendapat kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan corak dan titik tekan yang berbeda. Periode sejak meninggalnya Aristoteles (atau sesudah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) sampai menjelang lahirnya Agama Kristen oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode Hellenistik (Hellenisme adalah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan) dan bercorak Mistik.
Di dunia Islam (Umat Islam) lahir filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi (801-865 M), Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198), sementara itu di dunia Kristen lahir Filsuf-filsuf antara lain seperti Peter Abelardus (1079-1180), Albertus Magnus (1203-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang mendalami ajaran agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun dalam banyak hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).
Masa Modern. Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu "saya ragu-ragu". Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa "aku ragu-ragu". Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah "cogito ergo sum", aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. -- Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan "jelas, dan terpilah-pilah" -- "clearly and distinctly", "clara et distincta". Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, "extention") atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan).
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya?
Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)".
Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable" (berpeluang). Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang "hukum alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja. Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita. Dengan kritisisme Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri" ("das Ding an sich"), namun hanya dunia itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini. Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan). Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance ("kelahiran kembali"). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana. Filsuf penting adalah N Macchiavelli (1469-1527), Thoman Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626). Periode kedua adalah zaman Barok, yang menekankan akal budi. Sistem filsafatnya juga menggunakan menggunakan matematika. Para filsuf periode ini adalah Rene Descrates, Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1710). Periode ketiga ditandai dengan fajar budi ("enlightenment" atau "Aufklarung"). Para filsuf katagori ini adalah John Locke (1632-1704), G Berkeley (1684-1753), David Hume (1711-1776). Dalam katagori ini juga dimasukkan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant.  Masa kini (1800-sekarang).
Filsafat masa kini merupakan aneka bentuk reaksi langsung atau taklangsung atas pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Hegel ingin menerangkan alam semesta dan gerak-geriknya berdasarkan suatu prinsip. Menurut Hegel semua yang ada dan semua kejadian merupakan pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak dan bersifat rohani. Namun celakanya, Yang Mutlak itu tidak mutlak jika masih harus dilaksanakan, sebab jika betul-betul mutlak, tentunya maha sempurna, dan jika maha sempurna tidak menjadi. Oleh sebab itu pemikiran Hegel langsung ditentang oleh aliran pemikiran materialisme yang mengajarkan bahwa yang sedang-menjadi itu, yang sering sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide ("Yang Mutlak"), namun adalah materi belaka. Maksudnya, yang sesungguhnya ada adalah materi (alam benda); materi adalah titik pangkal segala sesuatu dan segala sesuatu yang mengatasi alam benda harus dikesampingkan. Maka seluruh realitas hanya dapat dibuat jelas dalam alur pemikiran ini. Itulah faham yang dicetuskan oleh Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872). Sayangnya, materi itu sendiri tidak bisa menjadi mutlak, karena pastilah ada yang-ada-di-luar-materi yang "mengendalikan" proses dalam materi itu untuk materi bisa menjadi-lebih-sempurna-dari-sebelumnya.
Kesalahan Hegel adalah tidak menerima bahwa Yang Mutlak itu berdiri sendiri dan ada-diatas-segalanya, dalam arti tidak dalam satu realitas dengan segala yang sedang-menjadi tersebut. Dengan mengatakan Yang Mutak itu menjadi, Hegel pada dasarnya meniadakan kemutlakan. Dalam cara sama, dengan mengatakan bahwa yang mutlak itu materi, maka materialisme pun jatuh dalam kubangan yang sama.
Dari sini dapat difahami munculnya sejumlah aliran-aliran penting dewasa ini: Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah. Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis" dibutuhkan figur dewa-dewa untuk "menerangkan" kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah. Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.
Marxisme (diberi nama mengikuti tokoh utama Karl Marx, 1818-1883) mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas materi belaka, yang berkembang dalam proses dialektis (dalam ritme tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah pengikut setia Feuerbach (sekurangnya pada tahap awal). Feuerbach berpendapat Tuhan hanyalah proyeksi mausia tentang dirinya sendiri dan agama hanyalah sarana manusia memproyeksikan cita-cita (belum terwujud!) manusia tentang dirinya sendiri. Menurut Feuerbach, yang ada bukan Tuhan yang mahaadil, namun yang ada hanyalah manusia yang ingin menjadi adil. Dari sini dapat difahami mengapa Marx berkata, bahwa "agama adalah candu bagi rakyat", karena agama hanya membawa manusia masuk dalam "surga fantasi", suatu pelarian dari kenyataan hidup yang umumnya pahit. Selanjutnya Marx menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi atas perkembangan masyarakat dan sejarah. Yang justru dibutuhkan adalah aksi untuk mengarahkan perubahan dan untuk itu harus dikembangkan hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan masyarakat.
[Catatan. Soekarno mengklim telah mencetuskan marhaenisme sebagai marxisme diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia. Kualifikasi "penerapan dalam situasi dan kondisi Indonesia" (apapun itu) pastilah tidak membuat faham marhaenisme sebagai suatu aliran filsafat dan pastilah tidak harus sama dengan faham marxisme sebagai diterapkan di dalam lingkungan masyarakat lain.]
Ditangan Friedrich Engels (1820-1895), dan lebih-lebih oleh Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung, aliran filsafat Marxisme ini menjadi gerakan komunisme, yaitu suatu ideologi politik praktis Partai Komunis di negara mana saja untuk merubah dunia. Sangat nyata bahwa dimana saja Partai Komunis itu menjalankan praktek-praktek yang nyatanya mengingkari hak-hak azasi manusia, dan karena itu tidak berperikemanusiaan (dan tak ber keTuhanan pula!).
Eksistensialime merupakan himpunan aneka pemikiran yang memiliki inti sama, yaitu keyakinan, bahwa filsafat harus berpangkal pada adanya (eksistensi) manusia konkrit, dan bukan pada hakekat (esensi) manusia-pada-umumnya. Manusia-pada-umumnya tidak ada, yang ada hanya manusia ini, manusia itu. Esensi manusia ditentukan oleh eksistensinya. Tokoh aliran ini J P Sartre (1905-1980), Kierkegaard (1813-1855), Friederich Nietzche (1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973).
Fenomenologi merupakan aliran (tokoh penting: Edmund Husserl, 1859-1938) yang ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum. "Zuruck zu den sachen selbst" -- kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita "mengambil jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu "berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).
Pragmatisme tidak menanyakan "apakah itu?", melainkan "apakah gunanya itu?" atau "untuk apakah itu?". Yang dipersoalkan bukan "benar atau salah", karena ide menjadi benar oleh tindakan tertentu. Tokoh aliran ini: John Dewey (1859-1914).
Neo-kantisme dan neo-thomisme merupakan aliran-aliran yang merupakan kelahiran kembali dari aliran yang lama, oleh dialog dengan aliran lain.
Disamping itu masih ada aliran filsafat analitik yang menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis atas konsep-konsep. Dalam berfilsafat, jangan katakan jika hal itu tidak dapat dikatakan. "Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku". Soal-soal falsafi seyogyanya dipecahkan melalui analisis atas bahasa, untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan makna dibalik bahasa yang digunakan. Hanya dalam ilmu pengetahuan alam pernyataan memiliki makna, karena pernyataan itu bersifat faktual. Tokoh pencetus: Ludwig Wittgenstein (1889-1952).
Akhirnya sejak 1960 berkembang strukturalisme yang menyelidiki pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.

  1. FILSAFAT DAN ILMU
    1. Pengertian Ilmu (Ilmu Pengetahuan)
Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
    1. Ciri-Ciri Ilmu (Ilmu Pengetahuan)
Secara umum dari pengertian ilmu dapat diketahui apa sebenarnya yang menjadi ciri dari ilmu, meskipun untuk tiap definisi memberikan titik berat yang berlainan. Menurut The Liang Gie secara lebih khusus menyebutkan ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
  1. Empiris (berdasarkan pengamatan dan percobaan)
  2. Sistematis (tersusun secara logis serta mempunyai hubungan saling bergantung dan teratur)
  3. Objektif (terbebas dari persangkaan dan kesukaan pribadi)
  4. Analitis (menguraikan persoalan menjadi bagian-bagian yang terinci)
  5. Verifikatif (dapat diperiksa kebenarannya)
    1. Tujuan Ilmu (Ilmu Pengetahuan)
Sheldon G. Levy yang dikutip oleh Uhar Suharsaputra (2004) menyatakan bahwa science has three primary goals. The first is to be able to understand what is observed in the world. The second is to be able to predict the events and relationships of the real world. The third is to control aspects of the real world, sementara itu Kerlinger menyatakan bahwa the basic aim of science is theory.dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tujuan dari ilmu adalah untuk memahami, memprediksi, dan mengatur berbagai aspek kejadian di dunia, disamping untuk menemukan atau memformulasikan teori, dan teori itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu penjelasan tentang sesuatu sehingga dapat diperoleh kefahaman, dan dengan kepahaman maka prediksi kejadian dapat dilakukan dengan probabilitas yang cukup tinggi, asalkan teori tersebut telah teruji kebenarannya
    1. Struktur Ilmu
Struktur ilmu menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistimatisir dalam suatu lingkungan (boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur nampak secara jelas. Menurut Savage & Amstrong, struktur ilmu merupakan A scheme that has been devided to illustrate relationship among facts, concepts, and generalization. Dengan demikian struktur ilmu merupakan ilustrasi hubungan antara fakta, konsep serta generalisasi, keterkaitan tersebut membentuk suatu bangun struktur ilmu, sementara itu menurut H.E. Kusmana struktur ilmu adalah seperangkat pertanyaan kunci dan metoda penelitian yang akan membantu memperoleh jawabannya, serta berbagai fakta, konsep, generalisasi dan teori yang memiliki karakteristik yang khas yang akan mengantar kita untuk memahami ide-ide pokok dari suatu disiplin ilmu yang bersangkutan.
Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa terdapat dua hal pokok dalam suatu struktur ilmu yaitu :
  1. A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan boundary yang dimilikinya
  2. A mode of inquiry. Atau cara pengkajian/penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.
Kerangka ilmu terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan, dari mulai yang konkrit yaitu fakta sampai level yang abstrak yaitu teori, makin ke fakta makin spesifik, sementara makin mengarah ke teori makin abstrak karena lebih bersifat umum. Bila digambarkan akan nampak sebagai berikut :
Increasing transfer
value
Increasing specificity

TEORI
GENERALISASI
KONSEP-KONSEP
FAKTA-FAKTA
Gambar 2.1. Bagan Stuktur Ilmu
Dari gambar tersebut nampak bahwa bagian yang paling dasar adalah fakta-fakta, fakta-fakta tersebut akan menjadi bahan atau digunakan untuk mengembangkan konsep-konsep, bila konsep-konsep menunjukan ciri keumuman maka terbentuklah generalisasi, untuk kemudian dapat diformulasikan menjadi teori. Fakta-fakta sangat dibatasi oleh nilai transfer waktu, tempat dan kejadian. Konsep dan generalisasi memiliki nilai transfer yang lebih luas dan dalam, sementara itu teori mempunyai jangkauan yang lebih universal, karena cenderung dianggap berlaku umum tanpa terikat oleh waktu dan tempat, sehingga bisa berlaku universal artinya bisa berlaku dimana saja (hal ini sebenarnya banyak dikritisi para akhli). Namun demikian keberlakuannya memang perlu juga memperhatikan jenis ilmunya.
    1. Objek Ilmu
Setiap ilmu mempunyai objeknya sendiri-sendiri, objek ilmu itu sendiri akan menentukan tentang kelompok dan cara bagaimana ilmu itu bekerja dalam memainkan perannya melihat realitas. Secara umum objek ilmu adalah alam dan manusia, namun karena alam itu sendiri terdiri dari berbagai komponen, dan manusiapun mempunyai keluasan dan kedalam yang berbeda-beda, maka mengklasifikasikan objek amat diperlukan. Terdapat dua macam objek dari ilmu yaitu objek material dan objek formal.
Objek material adalah seluruh bidang atau bahan yang dijadikan telaahan ilmu, sedangkan objek formal adalah objek yang berkaitan dengan bagaimana objek material itu ditelaah oleh suatu ilmu, perbedaan objek setiap ilmu itulah yang membedakan ilmu satu dengan lainnya terutama objek formalnya. Misalnya ilmu ekonomi dan sosiologi mempunyai objek material yang sama yaitu manusia, namun objek formalnya jelas berbeda, ekonomi melihat manusia dalam kaitannya dengan upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan sosiologi dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia.
    1. Pembagian/Pengelompokan Ilmu
Semakin lama pengetahuan manusia semakin berkembang, demikian juga pemikiran manusia semakin tersebar dalam berbagai bidang kehidupan, hal ini telah mendorong para akhli untuk mengklasifikasikan ilmu ke dalam beberapa kelompok dengan sudut pandangnya sendiri-sendiri, namun seara umum pembagian ilmu lebih mengacu pada obyek formal dari ilmu itu sendiri, sedangkan jenis-jenis di dalam suatu kelompok mengacu pada obyek formalnya. Pada tahap awal perkembangannya ilmu terdiri dari dua bagian yaitu :
  1. trivium yang terdiri dari :
    1. gramatika, tata bahasa agar orang berbicara benar
    2. dialektika, agar orang berfikir logis
    3. retorika, agar orang berbicara indah
  2. quadrivium yang terdiri dari :
    1. aritmetika, ilmu hitung
    2. geometrika, ilmu ukur
    3. musika, ilmu musik
    4. astronomis, ilmu perbintangan
pembagian tersebut di atas pada dasarnya sesuai dengan bidang-bidang ilmu yang menjadi telaahan utama pada masanya, sehingga ketika pengetahuan manusia berkembangan dan lahir ilmu-ilmu baru maka pembagian ilmupun turut berubah, sementara itu Mohammad Hatta membagi ilmu pengetahuan ke dalam :
  1. ilmu alam (terbagi dalam teoritika dan praktika)
  2. ilmu sosial (juga terbagi dalam teoritika dan praktika)
  3. ilmu kultur (kebudayaan)
sementara itu Stuart Chase membagi ilmu pengetahuan sebagai berikut :
  1. ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences)
      1. biologi
      2. antropologi fisik
      3. ilmu kedokteran
      4. ilmu farmasi
      5. ilmu pertanian
      6. ilmu pasti
      7. ilmu alam
      8. geologi
      9. dan lain sebagainya
  2. Ilmu-ilmu kemasyarakatan
      1. Ilmu hukum
      2. Ilmu ekonomi
      3. Ilmu jiwa sosial
      4. Ilmu bumi sosial
      5. Sosiologi
      6. Antropologi budaya an sosial
      7. Ilmu sejarah
      8. Ilmu politik
      9. Ilmu pendidikan
      10. Publisistik dan jurnalistik
      11. Dan lain sebagainya
  3. Humaniora
      1. Ilmu agama
      2. Ilmu filsafat
      3. Ilmu bahasa
      4. Ilmu seni
      5. Ilmu jiwa
      6. Dan lain sebagainya
dalam pembagian ilmu sebagaimana dikemukakan di atas, Endang Saifudin Anshori menyatakan bahwa hal itu hendaknya jangan dianggap tegas demikian/mutlak, sebab mungkin saja ada ilmu yag masuk satu kelompok namun tetap bersentuhan dengan ilmu dalam kelompok lainnya.
Ada juga yang berpendapat bahwa pembagian ilmu pengetahuan sebaiknya didasarkan pada objeknya atau sasaran persoalannya, dia membagi ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
  1. ilmu yang cosmologis, yaitu ilmu yang objek materilnya bersifat jasadi, misalnya fisika, kimia dan ilmu hayat.
  2. ilmu yang noologis, yaitu ilmu yang objek materilnya bersifat rohaniah seperti ilmu jiwa.
Herbert Spencer, membagi ilmu atas dasar bentuk pemikirannya/objek formal, atau tujuan yang hendak dicapai, dia membagi ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
  1. ilmu murni (pure science). Ilmu murni adalam ilmu yang maksud pengkajiannya hanya semata-mata memperoleh prinsi-prinsip umum atau teori baru tanpa memperhatikan dampak praktis dari ilmu itu sendiri, dengan kata lain ilmu untuk ilmu itu sendiri.
  2. ilmu terapan (applied science), ilmu yang dimaksudkan untuk diterapkan dalam kehidupan paraktis di masyarakat.
Pembagian ilmu sebagaimana dikemukakan di atas mesti dipandang sebagai kerangka dasar pemahaman, hal ini tidak lain karena pengetahuan manusia terus berkembang sehingga memungkinkan tumbuhnya ilmu-ilmu baru, sehingga pengelompokan ilmu pun akan terus bertambah seiring dengan perkembangan tersebut, yang jelas bila dilihat dari objek materilnya ilmu dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok saja, yaitu ilmu yang mengkaji/menelaah alam dan ilmu yang menelaah manusia, dementara variasi penamaannya tergantung pada objek formal dari ilmu itu sendiri.
    1. Hubungan Filsafat Dengan Ilmu
Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah merupakan suatu kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat mempengaruhi pemikiran manusia, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam konteks lebih memahami khazanah intelektuan manusia
Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara ilmu dan filsafat, karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, disamping dikalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan pandangan dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, dimikian juga dikalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam memberikan makna dan tugas filsafat.
Adapaun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis.
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala tersebut, sedangkan filsafat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia, filsafat lebih bersifat sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungan antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, moral serta seni.
Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat mempunyai batasan yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini berarti bahwa apa yang sudah tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dipertanyakan atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), namun demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.
Dengan demikian, Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak/dogmatis. Menurut Sidi Gazlba (1976), Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan/atau eksperimen) ; batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatu yang diluar alam, yang disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara itu Oemar Amin Hoesin (1964) mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmat. Dari sini nampak jelas bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajiannya sendiri-sendiri
Meskipun filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas, namun dia merupakan bidang pengetahuan campuran yang perkembangannya tergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu, oleh karena itu pemahaman bidang filsafat dan pemahaman ilmu menjadi sangat penting, terutama hubungannya yang bersifat timbal balik, meski dalam perkembangannya filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat dari objek kajian dan telaahannya
    1. Pengertian Filsafat Ilmu
Dilihat dari segi katanya filsafat ilmu dapat dimaknai sebagai filsafat yang berkaitan dengan atau tentang ilmu. Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan secara umum, ini dikarenakan ilmu itu sendiri merupakan suatu bentuk pengetahuan dengan karakteristik khusus, namun demikian untuk memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu, maka diperlukan pembatasan yang dapat menggambarkan dan memberi makna khusus tentang istilah tersebut.
Para akhli telah banyak mengemukakan definisi/pengertian filsafat ilmu dengan sudut pandangnya masing-masing, dan setiap sudut pandang tersebut amat penting guna pemahaman yang komprehensif tentang makna filsafat ilmu, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi filsafat ilmu :
  • The philosophy of science is a part of philosophy which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience (Peter Caws)
  • The philosophy of science attemt, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry-observational procedures, patterns of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presupposition, and so on, and then to evaluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology anf metaphysics (Steven R. Toulmin).
  • Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole (L. White Beck)
  • Philosophy of science.. that philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presupposition, and its place in the general scheme of intelectual discipline (A.C. Benyamin)
  • Philosophy of science.. the study of the inner logic of scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e of scientific method (Michael V. Berry)
Pengertian-pengertian di atas menggambarkan variasi pandangan beberapa akhli tentang makna filsafat ilmu. Peter Caw memberikan makna filsafat ilmu sebagai bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman manusia, Steven R. Toulmin memaknai filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan anggapan-anggapan metafisik guna menilai dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis serta metafisika. Sementara itu White Beck lebih melihat filsafat ilmu sebagai kajian dan evaluasi terhadap metode ilmiah untuk dapat difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, masalah kajian atas metode ilmiah juka dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua kajian lainnya yaitu logika teori ilmiah serta hubungan antara teori dan eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang memasukan masalah metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi ilmu itu sendiri dalam konstelasi umum disiplin intelektual (keilmuan).
Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat umum dan cakupannya luas, hal yang penting untuk difahami adalah bahwa filsafat ilmu itu merupakan telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan Filsafat ilmu seperti : Theory of science, meta science, methodology, dan science of science, semua istilah tersebut nampaknya menunjukan perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu .
Sementara itu Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu pengetahuan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar/radikal terhadap ilmu seperti tentang apa ciri-ciri spesifik yang menyebabkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya ilmu dengan pengetahuan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan - pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji asumsi-asumsi ilmu yang biasanya diterima begitu saja (taken for granted), Dengan demikian filsafat ilmu merupakan jawaban filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu, apabila digambarkan hubungan tersebut nampak sebagai berikut :

FILSAFAT

ILMU
Menjawab

FILSAFAT ILMU



Bertanya
Gambar 4.1. Hubungan Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu

Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya, filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut, sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal, proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.
    1. Bidang Kajian Dan Masalah-Masalah Dalam Filsafat Ilmu
Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun berkembang dan diantara para akhli terlihat perbedaan dalam menentukan lingkup kajian filsafat ilmu, meskipun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang perbedaan lebih terlihat dalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa pendapat akhli tentang lingkup kajian filsafat ilmu :
  1. Edward Madden menyatakan bahwa lingkup filsafat ilmu adalah:
    1. Probabilitas
    2. Induksi
    3. Hipotesis
  2. Ernest Nagel
    1. Logical pattern exhibited by explanation in the sciences
    2. Construction of scientific concepts
    3. Validation of scientific conclusions
  3. Scheffer
    1. The role of science in society
    2. The world pictured by science
    3. The foundations of science
Dari beberapa pendapat di atas nampak bahwa semua itu lebih bersifat menambah terhadap lingkup kajian filsafat ilmu, sementara itu Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu. Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologi), dan bagaimana manfaat ilmu (axiologi), oleh karena itu lingkup induk telaahan filsafat ilmu adalah :
      1. ontologi
      2. epistemologi
      3. axiologi
Ontologi berkaitan tentang apa obyek yang ditelaah ilmu, dalam kajian ini mencakup masalah realitas dan penampakan (reality and appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan subjek/manusia.
Epistemologi berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya ilmu, bagaimana prosedurnya untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang benar.
Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana hubungan etika dengan ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan.
Ruang lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di dalamnya sebenarnya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat ilmu, masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik kajian yang pastinya dapat masuk ke dalam salahsatu lingkup filsafat ilmu. Adapun masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah (Ismaun) :
  1. masalah-masalah metafisis tentang ilmu
  2. masalah-masalah epistemologis tentang ilmu
  3. masalah-masalah metodologis tentang ilmu
  4. masalah-masalah logis tentang ilmu
  5. masalah-masalah etis tentang ilmu
  6. masalah-masalah tentang estetika
Metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Epistemologi merupakan teori pengetahuan dalam arti umum baik itu kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun pengetahuan filosofis, metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang dipergunakan oleh suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi. Problem etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan kaidah-kaidah moral masyarakat. Sementara itu masalah estetis berkaitan dengan dimensi keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu ilmu, terutama bila berkaitan dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan masyarakat.
  1. ILMU DAN KEHIDUPAN
Lahirnya dan berkembangnya Ilmu Pengetahuan telah banyak membawa perubahan dalam kehidupan manusia, terlebih lagi dengan makin intensnya penerapan Ilmu dalam bentuk Teknologi yang telah menjadikan manusia lebih mampu memahami berbagai gejala serta mengatur Kehidupan secara lebih efektif dan efisien. Hal itu berarti bahwa ilmu mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan manusia, dan ini tidak terlepas dari fungsi dan tujuan ilmu itu sendiri
Kerlinger dalam melihat fungsi ilmu, terlebih dahulu mengelompokan dua sudut pandang tentang ilmu yaitu pandangan statis dan pandangan dinamis. Dalam pandangan statis, ilmu merupakan aktivitas yang memberi sumbangan bagi sistimatisasi informasi bagi dunia, tugas ilmuwan adalah menemukan fakta baru dan menambahkannya pada kumpulan informasi yang sudah ada, oleh karena itu ilmu dianggap sebagai sekumpulan fakta, serta merupakan suatu cara menjelaskan gejala-gejala yang diobservasi, berarti bahwa dalam pandangan ini penekanannya terletak pada keadaan pengetahuan/ilmu yang ada sekarang serta upaya penambahannya baik hukum, prinsip ataupun teori-teori. Dalam pandangan ini, fungsi ilmu lebih bersifat praktis yakni sebagai disiplin atau aktivitas untuk memperbaiki sesuatu, membuat kemajuan, mempelajari fakta serta memajukan pengetahuan untuk memperbaiki sesuatu (bidang-bidang kehidupan).
Pandangan ke dua tentang ilmu adalah pandangan dinamis atau pandangan heuristik (arti heuristik adalah menemukan), dalam pandangan ini ilmu dilihat lebih dari sekedar aktivitas, penekanannya terutama pada teori dan skema konseptual yang saling berkaitan yang sangat penting bagi penelitian. Dalam pandangan ini fungsi ilmu adalah untuk membentuk hukum-hukum umum yang melingkupi prilaku dari kejadian-kejadian empiris atau objek empiris yang menjadi perhatiannya sehingga memberikan kemampuan menghubungkan berbagai kejadian yang terpisah-pisah serta dapat secara tepat memprediksi kejadian-kejadian masa datang, seperti dikemukakan oleh Braithwaite dalam bukunya Scientific Explanation bahwa the function of science… is to establish general laws covering the behaviour of the empirical events or objects with which the science in question is concerned, and thereby to enable us to connect together our knowledge of the separately known events, and to make reliable predictions of events as yet unknown.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas nampaknya ilmu mempunyai fungsi yang amat penting bagi kehidupan manusia, Ilmu dapat membantu untuk memahami, menjelaskan, mengatur dan memprediksi berbagai kejadian baik yang bersifat kealaman maupun sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Setiap masalah yang dihadapi manusia selalu diupayakan untuk dipecahkan agar dapat dipahami, dan setelah itu manusia menjadi mampu untuk mengaturnya serta dapat memprediksi (sampai batas tertentu) kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan pemahaman yang dimilikinya, dan dengan kemampuan prediksi tersebut maka perkiraan masa depan dapat didesain dengan baik meskipun hal itu bersifat probabilistik, mengingat dalam kenyataannya sering terjadi hal-hal yang bersifat unpredictable.
  1. KEHIDUPAN DAN ALAM
Manusia yang berfungsi daya nalarnya (akalnya) selain mengenali dirinya sendiri, ia sudah dapat mengenal lingkungannya. Orang-orang yang ada di sekitarnya, demikian pula benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang dapat ia lihat dan rasakan, semua itu membentuk dalam benaknya konsep "alam" dan "kehidupan". Konsep ini berkembang menuju suatu kesempurnaan melalui ajaran kepercayaan atau agama yang dianut masyarakatnya terutama orang tuanya, dan melalui pendidikan dan penga¬jaran yang diterimanya kemudian.
Dewasa ini pengetahuan manusia tentang "alam" sudah sangat luas, dan ilmu serta teknologi sudah sedemikian majunya, seakan-akan manusia sudah mampu menguasai alam raya dengan keberhasilannya menerobos angkasa luar dan memecahkan atom, seandainya tiada gempa bumi hebat yang mengguncang Armenia, angin taufan dahsyat yang menyapu pantai-pantai Amerika dan Jepang, banjir-banjir besar yang melanda Anak Benua India, dan lain-lain bencana alam dan penyakit-penyakit aneh seperti AIDS yang semua itu mempertunjukkan kelemahan kekuasaan dan keterbatasan pengetahuan manusia itu. Sejauh perkem¬bangan yang sudah begitu majunya, kehidupan manusia tetap saja menjadi masalah misterius seperti sediakala.
Alam raya ini, yang sukar digambarkan luasnya dan banyaknya, serta makhluk manusia yang sangat menonjol di antara seluruh makhluk yang mengisi alam raya ini, sudah menjalani proses kehidupan sekian kurun waktu lamanya sehingga sukar digambarkan dengan bilangan abad atau diukur dengan tahun cahaya.
Manusia yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menalar dengan akalnya sudah cukup banyak mengetahui proses kehidupan itu, sekalipun mereka tidak mampu mengetahui hakekat dari kehidupan itu sendiri. Di dalam pengetahuan manusia yang begitu luas dan berkembang terus, minat untuk mengetahui pangkal dan ujung (mabda' dan ma'ad) kehidupan itu, kurang seimbang dengan minat dan upaya mengetahui proses kehidupan itu. Sehingga pada umumnya pengetahuan manusia itu menjadi pincang dan tidak utuh. Upaya mengetahui proses kehidupan yang berkembang sepanjang sejarah peradaban manusia, telah mengantarkan manusia mengenal adanya hukum-hukum yang pasti dan teliti menguasai alam raya ini.
Gambaran yang nyata dari pengetahuan ini terlihat dengan jelas dalam ilmu-ilmu fisika, kimia, biologi dan astronomi. Ilmu-ilmu tersebut mengungkapkan betapa alam raya ini tercipta secara teratur dan terkontrol sedemikian teliti dengan hukum-hukum yang pasti. Ilmu pengetahuan astronomi memperkenalkan betapa teraturnya gerakan bintang-bintang pada garis edarnya masing-masing.
Bumi tempat kita hidup, yang berputar pada sumbunya dan beredar pada orbitnya di sekeliling matahari dalam jangka waktu tertentu dan pasti menyebabkan silih bergantinya siang dan malam, dan bertukarnya satu musim ke musim yang lain dengan sangat teratur, semuanya berjalan secara eksakta (tepat) dan dapat dihitung secara matematik. Selanjutnya ilmu pengetahuan alam memperkenalkan adanya hukum fisika, kimia, serta biologi, seperti hukum propors, hukum konservasi, hukum gerak, hukum gravitasi, hukum relativitas, hukum Pascal, kode genetik, hukum reproduksi dan embriologi.
Penemuan hukum-hukum alam (natuurwet) sebagaimana disinggung di atas memberikan informasi yang jelas betapa alam raya ini mulai dari bagian-bagiannya yang terkecil seperti partikel-partikel dalam inti atom yang sukar dibayangkan kecilnya sampai kepada galaksi-galaksi yang tak terbayangkan besar dan luasnya, semua bergerak menurut ketentuan-ketentuan hukum alam yang mengaturnya. Dan yang lebih dekat dapat diamati ialah pada tubuh jasmani kita sendiri. Ilmu pengetahuan mengungkapkan bahwa tubuh manusia terdiri dari 50 juta sel, jumlah panjang jaringan pembuluh darahnya sampai 100.000 km dan lebih 500 macam proses kimiawi terjadi di dalam hati.
Tubuh manusia jauh lebih rumit dan lebih menakjubkan daripada pesawat komputer. Fungsi-fungsi tubuh yang tidak tampak, lebih mengesankan lagi. Tanpa kita sadari tubuh mengatur suhu badan kita, tekanan darah kita, pencernaan dan tugas-tugas lain yang tidak terbilang banyaknya. Pusat pengatur tubuh, yakni otak, memiliki daya rekam dan kemampuan menyimpan lebih banyak informasi dibandingkan dengan pesawat apapun. Organ-organ tubuh itu bekerja secara otomatis di luar kehendak dan pengetahuan kita. Peredaran darah, paru-paru, jantung, ginjal dan pernafasan terus bekerja secara rutin dengan teliti, meskipun tidak diperintahkan sang manusia itu sendiri. Bahkan mungkin sekali ia tidak mengetahui betapa sibuknya organ-organ tubuh itu melaksanakan tugasnya masing-masing, demi kelangsungan hidup manusia.
Perkembangan mutakhir dari ilmu pengetahuan, yang ditandai dengan lahirnya ilmu-ilmu sosial, bermuara kepada suatu kesimpulan yang sama, bahwa manusia dan masyarakatnya dikuasai juga oleh hukum-hukum yang teliti dan pasti, tidak ada bedanya dengan alam di luar manusia. Ilmu-ilmu ini mengungkapkan bahwa kehidupan dan perilaku manusia diatur oleh ketentuan-ketentuan yang ada di luar kemauan manusia itu, seperti hukum-hukum ekologi (pengaruh lingkungan), dorongan naluriah, warisan genetik, kekuatan supranatural, dan hukum sejarah.
Di balik penemuan-penemuan ilmiah tersebut di atas muncul suatu teori ilmiah baru yang disebut "deteminisme ilmiah" (al-jabriyah al-`ilmiyah) yang melukiskan manusia sebagai pion-pion nasib (sesuatu yang sudah ditentukan semula). Stoicisme melihat bahwa manusia bahkan seluruh alam telah ditentukan secara rasional oleh akal universal (ini istilah filsafat yang berarti kekuatan yang merupakan sumber pengaturan alam semesta). Menurut teori ini, tugas manusia hanyalah memahami dan menempatkan dirinya dalam kerangka akal universal terseb ut.
Adanya sejumlah ketentuan yang pasti dan berlaku sebagai hukum yang mengatur segala makhluk dan gerak di alam raya ini, biasanya dalam bahasa ilmu pengetahuan disebut `natuurwet' atau hukum alam. Di dalam bahasa Alquran, kadangkala disebut "sunnatullah" seperti dalam surat al-Fathir ayat 43: Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat ergantian bagi sunnatullah itu dan sekali-kali kamu tidak pula menemui penyimpangan dari sunnatullah itu.
Dalam terminologi teologi, hal semacam itu termasuk dalam kategori qadha dan qadar (takdir). Namun istilah ini lebih mendominasi hal-hal yang bersangkutan dengan perilaku manusia, dan seringkali secara kurang hati-hati dianggap identik dengan faham Jabariah (teori determinisme). Sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com
  1. PERMASALAHAN FILSAFAT :
    1. Persoalan Filsafat
Ada enam persoalan yang selalu menjadi bahan perhatian para filsuf dan memerlukan jawaban secara radikal, dimana tiap-tiapnya menjadi salah satu cabang dari filsafat yaitu : ada, pengetahuan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan.
          1. Tentang ”Ada”
Persoalan tentang ”äda” ( being ) menghasilkan cabang filsafat metafisika; dimana sebagai salah satu cabang filsafat metafisika sendiri mencakup persoalan ontologis, kosmologi ( perkembangan alam semesta ) dan antropologis ( perkembangan sosial budaya manusia ). Ketiga hal tersebut memiliki titik sentral kajian tersendiri.
          1. Tentang ”Pengetahuan” ( knowledge )
Persoalan tentang pengetahuan ( knowledge ) menghasilkan cabang filsafat epistemologi ( filsafat pengetahuan ). Istilah epistemologi sendiri berasal dari kata episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Jadi, epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan.
          1. Tentang ”Metode”( method )
Persoalan tentang metode ( method ) menghasilkan cabang filsafat metologi atau kajian / telaah dan penyusunan secara sistematik dari beberapa proses dan azas-azas logis dan percobaan yang sistematis yang menuntun suatu penelitian dan kajian ilmiah; atau sebagai penyusun ilmu-ilmu vak.
          1. Tentang ”Penyimpulan”
Logika ( logis ) yaitu ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir tepat dan benar. Dimana berpikir adalah kegiatan pikiran atau akal budi manusia. Logika sendiri dapat dibagi menjadi 2, yaitu logika ilmiah dan logika kodratiah. Logika bisa menjadi suatu upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : Adakah metode yang dapat digunakan untuk meneliti kekeliruan pendapat? Apakah yang dimaksud pendapat yang benar? Apa yang membedakan antara alasan yang benar dengan alasan yang salah? Filsafat logika ini merupakan cabang yang timbul dari persoalan tentang penyimpulan.
          1. Tentang ”Moralitas” ( morality )
Moralitas menghasilkan cabang filsafat etika ( ethics ). Etika sebagai salah satu cabang filsafat menghendaki adanya ukuran yang bersifat universal.
          1. Tentang ”Keindahan”
Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang lahir dari persoalan tentang keindahan. Merupakan kajian kefilsafatan mengenai keindahan dan ketidakindahan. Lebih jauhnya lagi, mengenai sesuatu yang indah terutama dalam masalah seni dan rasa serta norma-norma nilai dalam seni.
    1. Makna
Definisi ”makna” berdasarkan kesepakatan kelompok diskusi adalah : Interpretasi/penafsiran subjektif terhadap sesuatu (bersifat internal/eksternal) yang dihasilkan dari proses berfikir rasional/irrasional sehingga dapat memberikan manfaat.
Makna merupakan salah satu unsur sarana ilmiah yang harus dikuasai oleh seorang ilmuwan, supaya dalam uraian ilmiahnya mudah dipahami dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu istilah-istilah yang digunakan harus dimaknai untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut, harus jelas dan singkat serta mudah dipahami.
    1. Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya.
Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem (Wibisono, 1982). Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran manusia.
    1. Hakekat Kebenaran
Mencari hakekat kebenaran mungkin sering kita ucapkan, tapi susah dilaksanakan. Yang pasti bahwa benar” itu pasti “tidak salah”. Pertanyaan-pertanyaan kritis kita di masa kecil, misalnya mengapa gajah berkaki empat, mengapa burung bisa terbang, dsb kadang tidak terjawab secara baik oleh orang tua kita. Sehingga akhirnya kita  sering menganggap sesuatu sebagai yang memang sudah demikian wajarnya. Banyak para ahli yang memaparkan ide tentang sudut pandang kebenaran termasuk bagaimana membuktikannya. Masalah hakekat kebenaran ini bisa diulas dari tiga sudut pandang yaitu: kebenaran ilmiah, kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat.
Harus kita pahami lebih dahulu bahwa meskipun kebenaran ilmiah sifatnya lebih sahih, logis, terbukti, terukur dengan parameter yang jelas, bukan berarti bahwa kebenaran non-ilmiah atau filsafat selalu salah. Malah bisa saja kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat terbukti lebih “benar” daripada kebenaran ilmiah yang disusun dengan logika, penelitian dan analisa ilmu yang matang. Contoh menarik adalah kasus patung Kouros yang telah diteliti dan dibuktikan keasliannya oleh puluhan pakar selama lebih dari 1,5 tahun di tahun 1983, bahkan juga dianalisa dengan berbagai alat canggih seperti mikroskop elektron, mass spectrometry, x-ray diffraction, dsb. Namun beberapa pakar lain (George Despinis, Angelos Delivorrias) menggunakan pendekatan intuitif sebagai ahli geologi dan mengatakan bahwa patung tersebut palsu karenaterlalu fresh, seolah tidak pernah terkubur, kelihatan janggal. Akhirnya patung itu dibeli dengan harga tinggi oleh museum J. Paul Getty di California dengan asumsi kebenaran ilmiah lebih bisa dipertanggungjawabkan. Kenyataan kemudian membuktikan bahwa semua dokumen tentang surat tersebut palsu, dan patung itu dipahat disebuah bengkel tempa di Roma tahun 1980. Cerita ini menjadi pengantar buku bestseller berjudul Blink karya Malcolm Gladwell.
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki tentang asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia. Epistemologi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan lebih fundamental lagi bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan, sehingga tepat apabila dihubung-hubungkankan dengan metodologi.
Metode; adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematis dan logis. Pada dasarnya metode ilmiah dilandasi:
      • Kerangka pemikiran yang logis.
      • Penjabaran hipotesis yang merupakan deduksi dan kerangka pemikiran.
      • Verifikasi terhadap hipotesis untuk menguji kebenarannya secara faktual.
Jujun S Suriasumantri, mengemukakan akronim metode ilmiah yang dikenal sebagai logicohypotetico verifikasi, kerangka pemikiran yang logis mengandung argumentasi yang dalam menjabarkan penjelasannya mengenai suatu gejala bersifat rasional. Lanigan, mengatakan bahwa dalam prosesnya yang progresif dari kognisi menuju afeksi yang selanjutnya menuju konasi, epistemology berpijak pada salah satu atau lebih teori kebenaran.
    1. Teori Kebenaran
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu ada beberapa teori yang dicetuskan dalam melihat kriteria kebenaran. Yang pertama adalah teori koherensi. Teori ini merupakan menyatakan bahwa pernyataan dan kesimpulan yang ditarik harus konsinten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang dianggap benar. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdsarkan teori koherensi suatu pernyatan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdsarkan teori koheren
Paham lain adalah kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi. Bagi penganut teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang menyatakan bahwa “ ibukota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat factual yakni Jakarta memang ibukota republik Indonesia.
Teori Pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1924) dalam sebuah makalah yang terbit tahun 1878 yang berjudul “How to make Our Ideas Clear.” Teori ini kemudian dikembangkan oleh para filsuf Amerika. Bagi seorang pragmatis, kebenaran suatau pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungisional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan umat manusia. Kaum pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungisional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran dilihat dari perspektif waktu.
    1. Kebenaran Ilmiah
Kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden, koheren.
        • Kebenaran Pragmatis: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat praktis dan bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, Yadi mau bekerja di sebuah perusahaan minyak karena diberi gaji tinggi. Yadi bersifat pragmatis, artinya mau bekerja di perusahaan tersebut karena ada manfaatnya bagi dirinya, yaitu mendapatkan gaji tinggi.
        • Kebenaran Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan teknik elektro, teknik mesin, dan teknik sipil Undip ada di Tembalang. Jadi Fakultas Teknik Undip ada di Tembalang.
        • Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contohnya, seluruh mahasiswa Undip harus mengikuti kegiatan Ospek. Luri adalah mahasiswa Undip, jadi harus mengikuti kegiatan Ospek.
    1. Kebenaran non-Ilmiah
Berbeda dengan kebenaran ilmiah yang diperoleh berdasarkan penalaran logika ilmiah, ada juga kebenaran karena faktor-faktor non-ilmiah. Beberapa diantaranya adalah:
      • Kebenaran Karena Kebetulan: Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan karena kadang kita sering tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua kebetulan bisa juga menjadi perantara kebenaran ilmiah, misalnya penemuan kristal Urease oleh Dr. J.S. Summers.
      • Kebenaran karena Akal Sehat (Common Sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercayai dapat memecahkan masalah secara praktis. Kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat ini. Penelitian psikologi kemudian membuktikan hal itu tidak benar. 
      • Kebenaran Agama dan Wahyu: Kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan Rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tapi sebagian hal lain tidak.
      • Kebenaran Intuitif: Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang. Contohnya adalah kasus patung Kouros dan museum Getty diatas.
      • Kebenaran Karena Trial dan Error: Kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan paramater-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Memerlukan waktu lama dan biaya tinggi.
      • Kebenaran Spekulasi: Kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan dengan penuh resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-error.
      • Kebenaran Karena Kewibawaan: Kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang. Seorang tersebut bisa ilmuwan, pakar atau ahli yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar tapi juga bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.
    1. Kebenaran Filsafat
Kebenaran yang diperoleh dengan cara merenungkan atau memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, baik sesuatu itu ada atau mungkin ada. Kebenaran filsafat ini memiliki proses penemuan dan pengujian kebenaran yang unik dan dibagi dalam beberapa kelompok (madzab). Bagi yang tidak terbiasa (termasuk saya) mungkin terminologi yang digunakan cukup membingungkan. Juga banyak yang oportunis alias menganut madzab dualisme kelompok, misal mengakui kebenaran realisme dan naturalisme sekaligus.
      • Realisme: Mempercayai sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri dan sesuatu yang pada hakekatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
      • Naturalisme: Sesuatu yang bersifat alami memiliki makna, yaitu bukti berlakunya hukum alam dan terjadi menurut kodratnya sendiri.
      • Positivisme: Menolak segala sesuatu yang di luar fakta, dan menerima sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Tolok ukurnya adalah nyata, bermanfaat, pasti, tepat dan memiliki keseimbangan logika.
      • Materialisme Dialektik: Orientasi berpikir adalah materi, karena materi merupakan satu-satunya hal yang nyata, yang terdalam dan berada diatas kekuatannya sendiri. Filosofi resmi dari ajaran komunisme.
      • Idealisme: Idealisme menjelaskan semua obyek dalam alam dan pengalaman sebagai pernyataan pikiran.
      • Pragmatisme: Hidup manusia adalah perjuangan hidup terus menerus, yang sarat dengan konsekuensi praktis. Orientasi berpikir adalah sifat praktis, karena praktis berhubungan erat dengan makna dan kebenaran.
    1. Mencari Kebenaran
Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing.
  1. Definisi Penalaran
Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa, dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuannya itu. Dia mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia selalu hidup dalam pilihan.
Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembangkan pengetahuan ini sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dan memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidupnya, namun lebih dari pada itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; memberi makna bagi kehidupan; manusia ‘memanusiakan” diri dalam dalam hidupnya. Intinya adalah manusia di dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat manusia mengembangkan pengetahuannya dan pengetahuan ini mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas.
Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama;
      • Bahasa; manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut.
      • Kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar.
  1. Hakekat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun berbeda-beda dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu
  • Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika, dan tiap penalaran mempunyai logika tersendiri atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu.
  • Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari suatu pola berpikir tertentu.
  1. Logika
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir ituharus dilakukan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefenisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara sahih.” Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran maka hanya difokuskan kepada dua jenis penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan bersifat umum. Sedangkan logika deduktif, menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
  1. Induksi
Induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik dari suatau kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individu. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bersifat khas dan dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Kesimpulan yang bersifat umum ini penting artinya karena mempunyai dua keuntungan.
  1. Bersifat ekonomis.
  2. Dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya.
  1. Deduksi
Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir yang sebalikny dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pertanyaan dan satu kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Jadi ketepatan penarikan kesimpulan tergantung pada tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penarikan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang akan ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif.
  1. Mendapatkan Pengetahuan yang Benar
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu, baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar tersebut. Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak namun lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca indra.
Disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan secara rasional dan empiris, kedua-duanya merupakan induk produk dari sebauh rangkaian penalaran.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba mendapat jawaban atas permasalah tersebut. Tanpa melaui proses berliku-liku dia sudah mendapatkan jawabannya.. intuisi juga bisa bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan jawabannya tidak pada saat sesorang itu secara sadar sedang menggelutinya. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak dapat diandalkan. Pengetahuan inuitif dapat digunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya suatu penalaran.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah yang bersifat transedental kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai suatu pengantara dan kepercayaan terhadap suatu wahyu sebagai cara penyampaian merupakan titik dasar dari penyusunan pengetahuan ini.. kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatau pernyataan harus dipercaya dulu baru bisa diterima. Dan pernyataan ini bisa saja dikaji lewat metode lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung didalamnya konsisten atau tidak.di pihak lain secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut.
Dalam memulai mencari kebenaran, pada tahap ini kita akan menghadapi pertanyaan ”what” dan ”when” (apa dan kapan). Kemudian jalan pembuktiannya kita lakukan. Dalam pembuktian ini kita memasuki tahap ”why” dan ”how” (mengapa dan bagaimana). Karena pencarian kebenaran sampai pada tahap ini maka dalam mencari kebenaran kita harus menggunakan alur rasio kita (thinking), dengan melibatkan seluruh panca indera kita (feeling), disertai dengan mengerahkan kemampuan untuk merasakan sesuatu (sensing) sampai batas menemukan suatu kebenaran dan pembenaran yang hakiki (believing). Dan pada akhirnya akhir ataupun ujung dari proses pencarian/menemukan suatu kebenaran ini sangat bersifat relatif bergantung masing-masing individu sesuai dengan kapasitas ilmu pengetahuan yang dimilikinya, karena setiap orang memiliki persepsi yang sangat berbeda tentang kebenaran.
  1. KETERKAITAN ANTARA FILSAFAT, ILMU DAN KEBENARAN
Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa filsafat berkembang demikian luas sejak jaman Yunani kuno sampai dengan jaman modern ini. Pada intinya setiap orang yang berfilsafat berupaya untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Untuk menemukan kebenaran ternyata sangat relatif sekali, yaitu tergantung kapasitas ilmu yang dimiliki oleh orang tersebut.
Adapaun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat adalah bahwa keduanya menggunakan berfikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisisr dan sistematis.
Meskipun filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas, namun dia merupakan bidang pengetahuan campuran yang perkembangannya tergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu, oleh karena itu pemahaman bidang filsafat dan pemahaman ilmu menjadi sangat penting, terutama hubungannya yang bersifat timbal balik, meski dalam perkembangannya filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat dari objek kajian dan telaahannya
Dalam memperoleh kebenaran yang bermakna dan makna yang benar setiap individu harus menggunakan cara memperoleh kebenaran dengan menggunakan empat alur pemikiran filsafati yaitu : Alur rasional (thingking), Empirik (sensing), intuisi (feeling), dan Autoritarian atau kepercayaan (believing). Oleh karena itu kebenaran yang diperoleh manusia adalah relatif, tergantung cara memperoleh kebenaran yang dipakai, sedang kebenaran yang berasal dari tuhan bersifat hakiki.
BAB III
KESIMPULAN
Berfilsafat bisa dilakukan oleh setiap orang. Seseorang yang berfilsafat pada hakikatnya sedang mempelajari dirinya sendiri. Karena seseorang yang berfilsafat pada penghujung petualangannya dengan suatu tindakan berpikir yang menggunakan akal budi untuk mencari dan menemukan menemukan kebenaran hakiki. Tetapi kebenaran ini sangat bersifat relatif bergantung kapasitas ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Semakin kaya seseorang dengan ilmu dan pengalaman maka semakin luas pula ruang lingkup filsafat yang akan dia jangkau.
Dengan berfilsafat seharusnya seseorang akan lebih mengerti hakikat kehadirannya dalam kehidupan didunia ini, yang pada akhirnya akan menyadarkan bahwa dirinya adalah makhluk kecil yang tiada berdaya dengan segala keterbatasan ditengah semesta keluasan dan kemahakuasaan Tuhan yang Maha Esa. Seorang teman pernah mengatakan ”seseorang tak akan bisa menguasai semuanya, tetapi ”sesuatu” pasti dimiliki setiap orang.

DAFTAR PUSTAKA
http://purmadi.wordpress.com/2007/09/15/filsafat-dan-pembagiannya/
http://uharsputra.files.wordpress.com/2007/04/fllsafat-ilmu.doc

Jujun S. Suriasumantri (2007). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan

Misnal Munir (2004). Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Saidihardjo (2006). Diktat Kuliah Filsafat Ilmu. UNY


3 komentar:

  1. mengunjungi blog yang bagus dan penuh dengan informasi yang menarik adalah merupakan kebahagiaan tersendiri.... teruslah berbagi informasi

Posting Komentar