A.
Konsep Sentralisasi Pendidikan
Sentralisasi
adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu
instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah
digariskan menurut Undang-Undang. Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah
memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di
suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan
pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana
sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang
yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi
lebih lama.
Indonesia
sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga
mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara
berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam,
serba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat
relevansinya bagi kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya,
posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar yang memiliki
peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai dengan talenta yang
dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai
fenomena yang memperhatikan seperti :
- Totaliterisme penyelenggaraan
pendidikan
- Keseragaman manajemen, sejak
dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan
sekolah dan pembelajaran.
- Keseragaman pola pembudayaan
masyarakat
- Melemahnya kebudayaan daerah
- Kualitas manusia yang robotic,
tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan
demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan
pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan
berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam
kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memiliki keterampilan
interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk
di wujudkan.
B.
Konsep Desentralisasi
Desentralisasi
di Indonesia sudah ada cukup lama, dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak
diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah
otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pusat
dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No. 45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi
melalui PP No. 8 tahun 1995. Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah, desentralisasi dikonsepsikan sebagai penyerahan wewenang yang disertai
tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom.
Beberapa
alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :
- Mendorong terjadinya
partisipasi dari bawah secara lebih luas.
- Mengakomodasi terwujudnya
prinsip demokrasi.
- Mengurangi biaya akibat alur
birokrasi yang panjang sehingga dapat meningkatkan efisiensi.
- Memberi peluang untuk
memanfaatkan potensi daerah secara optimal.
- Mengakomodasi kepentingan
politik.
- Mendorong peningkatan kualitas
produk yang lebih kompetitif.
Desentralisasi
Community Based Education mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam
pemerintah antara lain :
- Perubahan berkaitan dengan
urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan.
- Perubahan berkenaan dengan
desentralisasi pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini pelempahan wewenang
dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang
menempatkan kabupaten/kota sebagai sentra desentralisasi.
Desentralisasi
adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada
orang-orang pada level bawah ( daerah ). Pada sistem pendidikan yang terbaru
tidak lagi menerapkan sistem pendidikan sentralisasi, melainkan sistem otonomi
daerah atau otda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk
mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat.
Dari
beberapa pengalaman di negara lain, kegagalan desentralisasi di akibatkan oleh
beberapa hal :
- Masa transisi dari sistem
sentralisasi ke desentralisasi memungkinkan terjadinya perubahan secara
gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
- Kurang jelasnya pembatasan
rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
- Kemampuan keuangan daerah yang
terbatas.
- Sumber daya manusia yang belum
memadai.
- Kapasitas manajemen daerah yang
belum memadai.
- Restrukturisasi kelembagaan
daerah yang belum matang.
- Pemerintah pusat secara
psikologis kurang siap untuk kehilangan otoritasnya.
Selain
dampak negatif tentu saja desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan
keberhasilannya antara lain,
- Mampu memenuhi tujuan politis,
yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
- Mampu membangun partisipasi
masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan
benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.
- Mampu menyelenggarakan
pendidikan dengan memfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif,
yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.
C.
Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah
manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari school-based management.
Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan
relevansi pendidikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS
merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan, yang memberikan otonomi luas
pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan
sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta
lebih tanggap dengan kebutuhan setempat.
Kewenangan
yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki
tingkat efektivitas tinggi serta memberikan beberapa keuntungan sebagai
berikut.
- Kebijakan dan kewenangan
sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua dan
guru.
- Bertujuan bagaimana
memanfaatkan sumber daya lokal
- Efektif dalam melakukan
pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat
pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
- Adanya perhatian bersama untuk
mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang
sekolah, dan perubahan perencanaan.
Tujuan MBS
MBS yang
ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respon
pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi
antara lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi
masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat
diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas
pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala
sekolah, berlakunya sistem insentif dan disinsentif. Peningkatan pemerataan
antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang
memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
Manfaat MBS
MBS
memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai
seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung
jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategis MBS sesuai dengan
kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan kesejahteraan guru sehingga
dapat lebih berkonsentrasi pada tugas. Selain itu, MBS mendorong
profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.
Prinsip MBS
Menurut
Usman (2009:624), prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan
MBS antara lain:
- Komitmen, kepala sekolah dan
warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan
semua warga sekolah untuk ber-MBS
- Kesiapan, semua warga sekolah
harus siap fisik dan mental untuk ber-MBS.
- Keterlibatan, pendidikan yang
efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak.
- Kelembagaan, sekolah sebagai
lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
- Keputusan, segala keputusan
sekolah dibuat oleh pihak yang mengerti tentang pendidikan
- Kesadaran, guru-guru harus
memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program
pendidikan dan kurikulum
- Kemandirian, sekolah harus
diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan
pengalokasian dana.
- Ketahanan, perubahan akan
bertahan lebih lama apabila melibatkan stake holder sekolah.
Menurut
Usman (2009:629), indikator bahwa MBS sudah berhasil di sekolah ditunjukkan
oleh beberapa hal:
- Adanya kemandirian sekolah yang
kuat
- Adanya kemitraan sekolah yang
efektif
- Adanya partisipasi yang kuat
dari masyarakat
- Adanya keterbukaan yang
bertanggung jawab dan meluas dari pihak sekolah dan masyarakat
- Adanya akuntabilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan oleh sekolah.
Daftar
Rujukan
Usman,
Husaini. 2009. Manajemen: Teori Praktik, dan Riset Pendidikan Edisi 3. Jakarta:
Bumi Aksara.
Mulyasa, E.
2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Posting Komentar