Hari ini
kita menyaksikan deformasi pada sistem kebangsaan akibat reformasi membuat
orientasi nilai - nilai kehidupan menjadi pragmatis dan
materialistis dengan tolak ukur serba kuantitatif, secara telanjang bulat
telah menjajah cara berpikir anak - anak bangsa. Kondisi ini tentu saja sangat
membahayakan karena pada gilirannya nanti akan melahirkan sebuah sikap
hidup manusia yang kerdil, tertutup dan relasi antar manusia pun menjadi sangat
manipulatif
Relasi “ Aku – Engkau “
yang menandai sejarah kemanusiaan pun mengalami penciutan signifikansi,
terjatuh menjadi relasi ( meminjam istilah Martin Burber ) “ Aku Itu“.
Manusia dalam masyarakat seperti ini akan cenderung memperlakukan orang lain
sebagai objek yang bisa dimanipulasi dan dijadikan alat. Kita tiba
dalam sebuah kondisi peradaban dimana manusia tergerus proses dehumanisasi yang
begitu rapih dan sempurna sehingga membuat kita tak pernah menyadarinya.
Dengan ini saya hendak menegaskan, “ Telah terjadi tabrakan hebat
antara manusia sebagai mahluk sosial dengan manusia sebagai persona dinegeri
ini akibat terjadinya pergeseran nilai – nilai orientasi kehidupan “.
Manusia hadir dimuka bumi tidak dalam keadaan sompong tapi bersama
– sama orang lain. Kehadiran orang lain ini akan lenyap bersamaan dengan
terjadinya pemberhalaan pada kebebasan otonom yang sekarang terlihat dalam
kehidupan masyarakat. Kebebasan otonom ini cenderung membuat manusia tidak
terbuka pada orang lain. Manusia mentransendir diri tanpa keinginan
memahami orang lain. Ini tentu saja harus dilawan. Manusia harus dibebaskan
dari ketidak terbukaannya pada orang lain.Manusia harus mengakui
keberadaan orang lain sebagai “ engkau “, sebagai penghormatan pada
subjektivitas sesama
Untuk mengatasi
persoalan ini kembali kepada jatidiri bangsa menjadi sebuah
keniscahyaan. Dialog dan komunikasi sesama
anak – anak bangsa harus segera dilakukan. Dialog dalam mencari jawab
atas persoalan – persoalan yang dihadapi bersifat terbuka dan terus berkembang,
sampai menemukan hikmad ( ilmu ) kebijaksanaan yang kalis terhadap keragu -
raguan. Oleh karena itu dialog memerlukan sikap bersahabat, tidak apriori dan
dogmatis. Dalam dialog setiap pihak tidak boleh memanipulasi pihak lain,
yang berarti pula pengakuan pada subjektivitas “engkau”
Dialog
mengandalkan komunikasi agar tidak terjadi manipulasi. Pihak – pihak yang
terlibat haruslah mengakrabkan diri untuk bisa melihat kelemahan dan kekuatan
setiap pendapat. Dengan pengakraban ini tidak berarti pihak – pihak yang
terlibat itu lebur identitasnya. Sebagai subjek yang terlibat komunikasi setiap
pihak bertahan pada identitasnya masing – masing. Komunikasi dalam dialog
merupakan proses saling hubungan yang dikukuhkan oleh ciri – ciri
intersubjektif agar terhindar dari manipulasi antara pihak - pihak yang
terlibat. Dialog dan komunikasi seperti ini sejatinya merupakan ciri khas kita
sebagai sebuah bangsa. Kita sering menyebutnya dengan istilah musyawarah
Sebagai
bentuk penghormatan pada subjektifitas manusia berikut identitasnya dalam
musyawarah bisa saja menghasilkan sebuah perbedaan . Tujuan musyawarah bukanlah
menghasilkan kata setuju atau tidak setuju melainkan kemufakatan.
Kemufakatan merupakan sebuah “ Gesamtperson “,
penghayatan terhadap subjektifitas orang lain. Oleh karena itu kemufakatan
lebih menyerupai ungkapan sikap solidaritas manusia pada orang lain, pada “
engkau “. Singkatnya, Kemufakatan adalah panggilan sosial
untukmelakukan kebaktian pada sesama……….
Posting Komentar