A.
Kedudukan Hadits
Seluruh umat Islam, tanpa kecuali, telah sepakat bahwa hadits
merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan yang sangat
penting setelah Al-Quran. Kewajiban mengikuti hadits bagi umat Islam sama
wajibnya dengan mengikuti Al-Quran. Hal ini karena hadits merupakan mubayyin
terhadap Al-Quran. Dengan demikian, antara hadits dan Al-Quran memilki kaitan
yang sangat erat, yang satu sama yang lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau
berjalan sendiri-sendiri. Berdasarkan hal tersebut, kedudukan hadits dalam
Islam tidak dapat diragukan karena tedapat penegasan yang banyak, baik di dalam
Al-Quran maupun dalam hadits Nabi Muhammad SAW., seperti diuraikan di bawah
ini.
1. Dalil Al-Quran
Dalam Al-Quran banyak terdapat ayat
yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah yang digandengankan dengan
ketaatan mengikuti Rasul-Nya, seperti firman Allah berikut ini : “Katakanlah,’Taatilah
Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir’.”
Disamping
itu, banyak juga ayat yang mewajibkan ketaatan kepada Rasul secara khusus dan
terpisah karena pada dasarnya ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada
Allah SWT., yaitu :
a. Q.S. An-Nisa [4] ayat 65 dan 80,
b. Q.S. Ali Imron [3] ayat 31
c. Q.S. An-Nur [24] ayat 56, 62, dan 63,
d. Q.S. Al-A’raf [7] ayat 158.
Pada Q.S. An-Nisa [40] : 80 misalnya,
disebutkan bahwa salah satu bentuk ketaatan kepada Allah adalah dengan menati
Rasul-Nya, “ Barang siapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menati
Allah. Dan barang siapa brpaling (dari ketaatan itu), kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S. An-Nisa [4]: 80)
2. Dalil Hadits Rasulullah SAW
Di samping banyak ayat Al-Quran yang
menjelaskan kewajiban mengikuti semua yang disampaikan Nabi SAW., banyak juga
hadits Nabi SAW yang menegaskan kewajiban mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa
oleh Nabi SAW. Sdebagai sabda Rasul SAW., sebagai berikut : “Aku tinggalkan dua
pusaka pada kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan
tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan sunnah Rasul-Nya.” Hadits tersebut
menunjukan bahwa Nabi SAW, diberi Al-Kitab dan Sunnah, dan mewajibkan kita
berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil yang ada pada sunnah seperti
mengambil pada Al-Kitab. Masih banyak hadits lainnya yang menegaskan tentang
kewajiban mengikuti perintah dan tuntunan Nabi SAW.
3. Ijma’
Seluruh umat Islam telah sepakat
untuk mengamalkan hadits. Kaum muslimin menerima hadits seperti menerima
Al-Quran Al-Karim karena berdasarkan penegasan dari Allah SWT. Bahwa hadits
merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Allah juga memberikan kesaksian bagi
Rasulullah SAW. Bahwa beliau hanya mengikuti apa yang diwahyukan.
B.
FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QURAN
Sudah kita ketahui bahwa hadits
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Ia menempati posisi
kedua setelah Al-Quran. Dalam hubungan dengan Al-Quran, hadits berfungsi
sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat Al-Quran tersebut.
Apabila disimpulkan tentang fungsi hadits dalam hubungan dengan Al-Quran adalah
sebagai berikut.
1.
Bayan At-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah menerangkan ayat-ayat
yang sangat umum, mujmal, musytarak. Fungsi hadits dalam hal ini adalah
memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang
masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan
takhsisa ayat-ayat yang masih umum. Diantara contoh bayan at-tafsir mujmal
adalah seperti hadits yang menerangkan ke-mujmal-an ayat-ayat tentang perintah
Allah SWT. Untuk mengerjakan shalat,puasa,zakat, dan haji. Ayat-ayat Al-Quran
yang menjelaskan masalah ibadah tersebut masih bersifat global atau secara
garis besarnya saja. Contohnya, kita diperintahkan shalat, namun Al-Quran tidak
menjelaskan bagaimana cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan
waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban tersebut dijelaskan oleh Nabi
SAW.
Di antara contoh-contoh bayan at-tafsirmusytarak fihi adalah
menjelaskan tenang ayat quru’, untuk menjelaskan ayat lafaz quru’ ini datanglah
hadits Nabi SAW, berikut ini : “Talaq budak dua kali dan ‘iddahnya dua haid.”
(H.R. Ibnu Majah). Hingga arti perkataan quru’ dalam ayat Al-Quran Q.S.
Al-Baqarah ayat 228 berarti suci dari haid.
Contoh hadits Rasulullah SAW. Yang men-taqyid ayat-ayat
Al-Quran yang bersifat muthlak, yaitu “Telah dihalalkan bagi kamu dua (macam)
bangkai dan du (macam) darah. Adapun dua bangkai adal;ah bangkai ikan dan , sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.”
Hadits ini men-taqyid ayat Al-Quran yang mengharamkan semua bangkai dan darah,
sebagaimana firman Allah SWT, dalam Al-Quran Al-Maidah [5]: 3.
Contoh hadits yang berfungsi untuk men-takhshis keumuman
ayat-ayat Al-Quran adalah Hadits Nabi SAW, berikut ini. “Pembunuh tidak berhaq
menerima harta warisan.” Hadits tersebut men-takhshis keumuman firman Allah SWT
Q.S. An-Nisa [4]: 11 yang artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagi anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan.
2.
Bayan At-Taqrir
Bayan at-taqrir atau sering juga disebut dengan bayan
at-ta’kid dan bayan al-itsbat adalah hadits yang befungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pernyataan Al-Quran.
Contoh bayan at-taqrir adalah hadits Nabi SAW, yang
memperkuat firman Allah Q.S. Al-Baqarah [2] : 185 yang artinya : “ karena itu,
barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa.”
Ayat di atas di taqrir oleh hadits Nabi SAW yang artinya : “Apabila kalian
melihat (ry’yat) bulan, berpuasalah, begitu pula apabila melihat (ru’yat) bulan
itu, berbukalah.”
Menurut sebagian ulama, bayan taqrir atau bayan ta’kid ini
disebut juga bayan al-muwafiq li nash al-kitab al-karim. Hal ini karena
hadits-hadits ini sesuai dengan dan untuk memperkokoh nash Al-Quran.
3.
Bayan An-Naskh
Secara bahasa, an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan),
al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-tagyir (mengubah).
Para ulama, baik mutaqaddimin maupun muta’akhirin berbeda
pendapat dalam mendefinisikan bayan an-naskh. Perbedaan ini terjadi karena
perbedaan di antara mereka dalam mendefinisikan kata naskh dari segi
kebahasaan. Menurut ulama yang setuju adanya fungsi bayan an-naskh, dapat
dipahami bahwa hadits sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus
ketentuan-ketentuan atau isi Al-Quran yang datang kemudian.
Diantara para ulama yang membolehkan adanya naskh hadits
terhadap Al-Quran, juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai
untuk men-naskh Al-Quran. Dalam hal ini mereka terbagi kedalam tiga kelompok :
·
Pertama,
yang membolehkan me-naskh Al-Quran dengan segala hadis, meskipun hadits ahad.
Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqiddimin dan Ibn Hazm
serta sebagian besar pengikut zhahiriah.
·
Kedua,
yang membolehkan me-naskh dengan syarat hadits tersebut harus mutawatir.
Pendapat ini diantanya dipegang oleh Mu’tazilah.
·
Ketiga,
ulama yang membolehkan men-nask dengan hadits masyhur, tanpa harus dengan
mutawatir. Pendapat ini di antaranya dipegang oleh ulama hanafiyah.[1]
C. PANDANGAN PROBLEMATIK TENTANG HADITS
Pandangn-pandangan ini ada yang
dating dari intern umat Islam, dan ada juga yang dating dari lingkunan ekstern
umat Islam yang kadang kala juga pandangannya diikuti oleh lingkungan intern.
Pada abad II
Hijriyah muncul paham yang menyimpang dari garis kiththah yang telah dilalui
oleh sahabat dan tabiin, yakni ada yang tidak mau menerima hadits sebagai hujjah
dalam menetapkan hukum, atau bila tidak dibantu oleh al-Quran, dan adapula yang
tidak menerima hadits ahad. Dalam pad itu, terdapat perbedaan paham dalam hal
keadilan sahabat, hukum nenulis hadits, keneradaan pemalsuan hadits dan
lain-lain.
Adapun ikhtilaf
tentang penerima hadits dan atau hadits ahad sebagai dasar tasyri’ dapat
diuraikan sebagai berikut :
1.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa hadits ahad merupakan hujjah yang dapat dijadikan
landasan amal walaupun bersifat zhan.
2.
Ahmad,
al-mahasibi, al-karabisi, Abu Sulaiman dan malik berpendapat bahwa hadits ahad
bisa qath’I dan wajib diamalkan.
3.
Kaum
rafidhah, al-Qasimi, Ibn Daud dan sebagian kaum Mu’tazilah mengngkari hadits
ahad sebagai hujjah.
Alasan penolakan hadits ahad sebagai hujjag adalah sebagai
berikut :
Ø Hadits ahad itu bersifat zhan bisa
mengandung kesalahan, maka tidak dapat digunaln sebagai hujjah.
Ø Karena telah sepakat bahwa hadits
ahad tidak dapat dijadikan landasan bidang ushul, aqidah, dan furu’.
Ø Sikap Nabi SAW yang tidak segera
merespon terhadap informasi Dzu al-yaddin bahwa nabi m,enyudah Shalat Isya dua
rakaat.
Ø Sahabat menolak pemberitaan seseorang
tentang warisan nenek dan cucu dan disiksanya mayat karena tyangisan
keluarganya.
Jawaban
dan penjelasan dari ulama yang menerima hadits ahad sebagai hujjah sebagai
berikut :
Ø Hadits ahad walaupun bersifat zhan,
telah dispakati sebagai hujjah, unrtuk masalah furu’ dan ijma bersifat qath’I.
Ø
Qiyas
soal usul dan furu’ kurang tepat.
Ø
Nabi
SAW menangguhkan penyempurnaan shalat isya karena ragu.
Ø
Kasus
tersebut bukan berarti Abu Bakar dan Aisyah menolak berita perorangan, namun
untuk ikhtiyah dan mencari landasan yang lebih kokoh.
Karena diperintahkan mengikuti Rasul,
maka segala penjelasan Rasulullah Saw wajib kita ikuti. Kenyataan sejarah
menyatakan menunjukan, bahwa para sahabat dan para Tabi’in menerima Hadits Ahad
dan mengamalkannya dan banyak hukum disandarkan kepada Hadits-hadits Ahad. Dari
lingkungan eksternal umat Islam, terdapat problema pandangan negative berupa
kritikan. Adapun kritikan-kritikan mereka tentang Hadits sebagai berikut:
1. Beberapa Orientalis berpendapat bahwa
sebagian besar Hadits adalah buatan orang Islam, bukan sabda Nabi SAW.
2. Mereka berpebdapat pula, bahwa hadits
tidak dapat dijadikan dasar Tasyri’, hanya al-Qur’anlah dasar pembinaan hukum
Islam.
3. Mereka menuduh, bahwa untuk
kepentingan golongan dan partai, umat Islam memalsu Hadits.
4. Mereka mengatakan, bahwa yang oleh
Islam dikatakan adil ternyata benar, sebab terbukti bahwa ada sementara sahabat
tidak adil.
5. Meragukan kebenaran Hadits yang
terdapat pada kitab-kitab Hadits.
6. Mereka menilai bahwa sistematika
tadwin hadits tidak baik dan tidak memenuhi persyaratan ilmiah serta tidak
memudahkan untuk penggunanya.
7. Mereka mengatakan bahwa diwan Hadits
secara keseluruhan tidak memuaskan.
Adapun jawaban terhadap kritik diatas
adalah sebagai berikut:
1. Sejak permulaan Islam, hadits adalah
dasar syari’at Islam yang menjadi pedoman pengamalan agama bagi umat Islam.
2. Hadits mutawwatir memfaidahkan yakin,
terhadap hadits Shahih dan Hasan, jumhur ulama menetapkan hujjah.
3. Dari adanya pertentangan poloitik,
betul telah menimbulkan pemalsuan Hadits, yang membuatnya mereka yang lemah
imannya yang lebuh mementingkan golongan sendiri dengan merugikan agama.
4. Bahwa sasaran kritik orientalis
tentang perawi hadits kepada Abu Hurairah dan al-Zuhri adalah dapat dimaklumi,
sebab justru dua tokoh itulah pemuka Hadits.
5. Umat islam masa Nabi SAW selalu
berusaha mendapatkan Hadits dari Nabi SAW yang jauh tempat tinggalnya selalu
bergiliran mendatangi Nabi SAW agar mendapat pelajaran.
6. Kami berpendapat bahwa sistematika
penulisan hadits pada diwan-diwan hadits pada tahap terakhir, sudah memadai dan
baik memenuhi syarat ilmiah.
7. Adalah tidak benar jika Mazhab Hanafi
tidak menggunakan Hadits sebagai dasar Tasyri’, sebab bertentangan dengan
kenyataan.[2]
Posting Komentar