Fenomena Politik Islam di Indonesia

Relasi antara islam dan politik di Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Relasi ini ditandai dengan asal mulanya islam masuk di nusantara, sekitar abad 7 M. Dalam perjalanan awal ini, islam berinteraksi dengan sosio kultural yang ada seperti hinduisme dan animisme.
Dibalik semua itu islam mampu menancapkan pengaruhnya dalam sejarah indonesia. Sehingga beberapa abad kemudian islam malah menjadi penggerak untuk perkembangan politik di indonesia. Buktinya, perlawanan menghadapi kolonial belanda untuk memperoleh kemerdekaan terlepas dari belenggu penjajah, dimotori oleh pergerakan-pergerakan islam baik yang bersifat lokal tradisional maupun nasional modernis.
Fenomena politik islam kemudian berlanjut kepada proses pembentukan identitas negara, walaupun pada akhirnya islam harus berkompromi dalam proses pembangunan identitas bangsa tersebut. Namun, kompromi ini dikemudian hari menjadi boomerang bagi islam politik, seperti yang terjadi pada masa rezim orde baru bahkan indentitas islam politik semakin tidak jelas di masa orde reformasi.
Hubungan antara islam dan politik di indonesia memilik sejarah yg amat panjang. Namun, perkembangan tersebut tidak diikuti oleh upaya teoritis, dimana upaya teoritis baru berkembang selama empat dekade belakangan ini. Berbeda halnya dengan dengan kawasan timur tengah yang memiliki khazanah teoritis yang kaya.
Upaya teoritis untuk memahami islam politik di indonesia didasarkan kepada kisah mengenai kekalahan-kekalahan politik islam secara formal. Upaya teoritis itu berkembang menjadi kurang normatif dibandingkan dengan upaya-upaya serupa dijantung wilayah islam, baik pada periode klasik maupun moderen. Untuk alasan-alasan yang sebagian besarnya belum terungkap dengan jelas, teori mengenai islam politik di indonesia secara subtantif dibangun diatas landasan empirik dimana perjumpaan antara islam dan politik di kepulauan ini berlangsung.
Untuk memahami fenomena islam politik islam di Indonesia diatas, maka harus ada upaya teoritis untuk menjelaskan islam politik di Indonesia. Menurut Bahtiar Effendy ada 5 pendekatan teoritis untuk menafsirkan fenomena islam politik di Indonesia, yakni domestikasi islam, skismatik aliran, trikotomi , islam culturaldan dekonfessionalisasi,
Teori domestikasi islam yang dikembangkan oleh Hery J Benda, teori ini menggambarkan perebutan kekuasan antara islam dan unsur-unsur non islam (unsur-unsur non islam ini diidentifikasi oleh Benda sebagai unsur ke-jawa-an), dimana unsur terakhir selalu mengalami kemenangan.
Kemudian muncul teori skismatik aliran yang dipelopori oleh tim peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 1950-an di Mojokuto, Jawa Timur. Teori ini muncul untuk menjawab mengapa perebutan kekuasaan itu terjadi pada awalnya. Mulanya perebutan ini terjadi pada tatanan agama, dimana aliran-aliran yang diidentifikasi oleh Gertz berupaya untuk mempenetrasi aliran lain. Tetapi kemudian perebutan kekuasaan ini bergerak menuju permasalahan politik.
Teori berikutnya adalah pendekatan trikotomi yang dikembangkan oleh Allan Samson. Teori ini dirumuskan berlandaskan pada pertanyaan bagaimana para aktivis politik islam memberikan respon terhadap tantangan yang diberikan kepada mereka oleh kelompok elit penguasa. Para aktivis politik islam ini menemukan tiga pendekatan politik islam yakni fundamentalis, reformis dan akomodisionis didalam masyarakat politik islam.
Selanjutnya adalah pendekatan islam kultural, dimana teori ini dikembangkan oleh Donald K Emmerson. Teori ini mengarahkan kembali energi politik umat islam kedalam kegiatan-kegiatan non politis. Jadi, teori ini lebih menekankan kepada menumbuhkan kembali tradisi kultural islam, untuk menghindari kekecewaan politik. Sehingga dengan islam kultural ini akan memunculkan sebuah islam yang lebih simpatik dan lebih subtantif.
Dekonfessionalisasi Sebuah Pisau Analisa Untuk Memahami Fenomena Islam Politik Di Indonesia.
Itulah keempat tinjauan teoritis yang menguraikan penafsiran islam politik di indonesia. Namun, masih ada satu tinjauan teoritis yang belum dijelaskan yakni pendekatan dekonfessionalisasi. Pendekatan ini menawarkan penjelasan yang konstruktif mengenai hubungan politik yang antagonistik antara islam dan negara. Proses konstruksif ini bisa ditemukan dalam proses pembentukan identitas bangsa indonesia.
Pendekatan dekonfessionalisasi ini dekembangkan oleh CAO Van Nieuwenhuijze pada pertengahan 1960. Ia berusaha menjelaskan hubungan politik antara islam dan negara nasional moderen indonesia dalam kerangka teori dekonfessionalisasi. Teori dekonfessionalisasi ini dipinjam dari kecendrungan akomodasionis kelompok-kelompok sosio kultural dan politik Belanda. Dimana dalam konteks sosial keagamaan di belanda, ada ciri khas yang menonjol dalam kehidupan sosial keagamaan, dimana terdapat “tingkat kesulitan tertentu yang tak dapat dihindari dalam hubungan antar berbagai kelompok denominasi”.
Asal usul konsep dekonfessionalisasi Ini menurut Nieuwenhuijze, pada mulanya digunakan di Belanda untuk menunjukan bahwa, agar dapat menyelenggarakan suatu pertemuan tertentu, wakil-wakil dari berbagai kelompok peribadatan akan menyepakati sebuah landasan bersama (yang dirumuskan bersama), yakni tentang persetujuan bahwa implikasi-implikasi tertentu dari sejumlah doktrin peribadatan mereka akan dihindari sebagai topik pembicaraan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, bisakah dalam suatu pertemuan bisa didekonfessionalisasikan dan bagaimana pula suatu topik diskusi, yang dalam prespektif agama dipersengketakan, bisa dihindarkan?. Tradisi akomodasi belanda memberikan landasan bagi argumen bahwa tujuan seperti itu hanya dapat dicapai jika para pesertanya, yang berasal dari berbagai latar belakang agama, sepakat untuk berinteraksi atas dasar sebuah kerangka bersama yakni dengan dengan menggunakan istilah-istilah dan kosakata yang dapat dipahami dan deterima semua kelompok.
Berdasarkan dari kesepakatan ini, interaksi dari latar belakang keagamaan akan menghasilkan suatu kesepakatan demi kepentingan bersama. Pertemuan yang di “dekonfessionalisasi” ini mampu menjembatani jurang yang tajam dalam eksklusivitas keagamaan di Belanda.
Menurut Nieuwenhuijze, keyakinan tidak akan berubah, ketika berubahnya terminologi yang dipakai. Artinya, seorang katolik roma yang menyampaikan pembicaraan yang telah di “dekonfessionalisasi”, tetaplah seorang pengikut katolik roma.
Dari latar belakang kultural ini Nieuwenhuijze mencoba untuk meneliti relasi antara islam dan negara disaat situasi sosial keagamaan di indonesia memungkinkan untuk menggunakan pendekatan dekonfessionalisasi. Untuk itu, teori dekonfessionalisasi ini harus diterapkan secara lintas kultural dan kebangsaan di Indonesia.
Pasca kolonial, pemerintahan republik yang baru dibentuk oleh koalisi muslim dan beberapa partai nasionalis antara lain masyumi, Nahdatul Ulama, PNI dan PKI meskipun selama bertahun-tahun perperangan pihak muslim merupakan kekuatan-kekuatan organisasi politik yang terbesar, sekarang ini kekuatan mereka berada di bawah kekuasan partai nasionalis indonesia. Pemerintahan yang dibentuk pada periode ini oleh aktor-aktor yang memiliki latar belakang sosial keagamaan yang berbeda seperti muslim, nasionalis, kristen, sekuler, sosialis, modernis dan ortodoks.
Realitas membuktikan bahwasanya bagi mereka yang memiliki latar belakang sosial keagamaan yang sama, tetap saja terjadi perbedaan dalam pandangan keagamaan. Oleh karena itu, menurut Nieuwenhuijze, orang-orang seperti ini menghadapi tantangan untuk bagaimana merelaisasikan negara indonesia yang mardeka dalam pengertian modern.
Tidak hanya itu, bagi mereka yang berlatar belakang sosial kegamaan pun diharuskan untuk menjawab tantangan bagaimana membentuk negara indonesia yang moderen. Dalam rangka mencapai tujuan untuk membangun negara moderen inilah para aktor mengenyampingkan sifat-sifat ekslusivitas kegamaan mereka untuk mencapai tujuan bersama.
Islam, menurut Nieuwenhuijze, adalah faktor yang dominan dalam revolusi nasional. Dan bahkan, ia melihat bahwa situasi dimana islam harus memainkan peran dalam proses pembangunan bangsa menyerupai jenis dekonfessionalisasi yang berkembang di belanda. Kalangan islam, dalam interaksi mereka dengan aktor-aktor lain, rela melepaskan orientasi mereka “yang formal dan kaku” ini. Katanya lebih lanjut, “agar daya panggil mereka mencakup jangkauan yang lebih luas, dan pada saat yang sama tetap ada jaminan bahwa umat Islam mengakui peran yang telah mereka mainkan” dalam kasus ini, dekonfessionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep “atas dasar pertimbangan kemanusian bersama”.
Teori dekonficionalisasi yang dikembangkan oleh Lau ini, ia menggambarkan fenomena Islam politik yang terjadi disaat itu. Pertama ia mencontohkan dengan penerimaan pancasila sebagai idiologi yang digunakan Indonesia untuk menjalin kehidupan bernegara. Kasus kedua lebih pembentukakn department agama sebagai jaminan keagamaan bagi umat Islam.
Dalam pandangannya penerimaan pancasila bukan Islam, sebagai dasar Negara tidak serta merta berarti kekalahan politis umat Islam, seraya menyajikan analisis tesktual panjang mengenai isi pancasila, ia percaya bahwa “apa yang relevan disini adalah masing-masing sila dari pancasila itu punya kaitan dengan pemikiran Islam. Kaitan tersebut meski tidak bersifat formal dapat ditemukan dalam prinsip keesaan Tuhan, demokrasi, keadilan social dan kemanusian, karena itu dalam pandangannya, pancasila mengandung perspektif religus sebuah unsure penting yang berfungsi sebagai landasan social politis bersama bagi umat Islam untuk mengekspresikan kaitan dengan keinginan mereka terhadap kelompok lain.
Untuk memuaskan kepentingan pihak muslim, konstitusi yang berlandaskan pancasila menyediakan pembentukan kementrian urusan agama. Kementrian ini dibentuk untuk melindungi kebebasan beragama dan untuk menjaga keserasian hubungan antara komunitas agama yang berbeda namun tujuan yang utama adalah menangani urusan agama muslim, seperti urusan perkawinan dan perceraian urusan wakaf, kemesjidan dan urusan haji.Gagasan pembentukan departemen agama adalah untuk memberikan jaminan kelembagaan, terutama bagi umat Islam di Indonesia, bahwa Negara akan sunguh-sungguh memperhatikan masalah-masalah agama.
Dari kasus pembentukan agama ini CAO menggabarkan teori dekonfessionalisasinya. Menurutnya, dalam konteks Negara nasional Indonesia modern, sudah dapat dipastikan bahwa jaminan kelembagaan itu tidak boleh eksklusif hanya bagi orang Islam. Itu berarti bahwa konsekuensi politis pembentuk departemen agama tidak akan menjurus kepada penerapan cita-cita islam dalam pengertian sempit atau skriptualistik, tetapi pembentukan itu berhasil memberikan rasa aman bagi umat islam bahwa mereka sungguh-sungguh diperhatikan.
Pendekatan teoritis Nieuwenhuijze terhadap islam politik di Indonesia modern barangkali adalah keharusannya untuk menampilkan diri dalam bentuk yang obyektif, dan karenanya tidak “skriptualistik”. Dalam konteks ini, teori dekonfessionalisasi harus dilihat sebagai “penafsiran kreatif atas prinsip-prinsip islam secara sedemikian rupa, dalam rangka memapankan kembali relevansinya dengan kehidupan di indonesia …diatas segalanya, umat islam kini hidup dan ingin terus berkiparah di abad ke-20 dan yang lebih penting di zaman indonesia kontemporer.
Islam politik kontemporer di indonesia tengah berusaha untuk mengidentifikasi eksistensinya dalam politik nasional sehingga tak dapat dihindari bahwasanya terjadi transformasi format islam politik di Indonesia. Untuk itu islam politik berupaya untuk merubah formatnya dari legalistik/formalistik menuju subtantik. Dengan perubahan seperti ini islam politik akan diterima dalam perpolitikan nasional.
Bahtiar mengemukakan bahwa salah satu cara paling tepat untuk menghadirkan islam politik dewasa ini bukanlah melalui apa yang disebut Nieuwenhuijze sebagai jalan dekonfessionalisasi, melainkan dengan penampilanya yang lebih objektif dan subtantif. Itulah jenis islam politik yang dapat mentransendenkan diri dari kepentingan-kepentingan formalistik, legalistik dan ekslusif dan lebih berusaha mencapai kepentingan-kepentingan yang subtantif, integratif dan inklusif. Sejauh politik memberi ruang bagi aritkulasi nilai-nilai individual dan kelompok, islam politik baru ini lebih memfokuskan perhatian kepada subtansi nilai-nilainya sendiri.
Penutup
Diantara kelima teori yang diuraikan diatas diantaranya dekonfessionalisasi, kecuali islam kultural, lebih cendrung mengasumsikan bahwasanya hubungan antara islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Hanya teori islam kultural yang berpandangan sebaliknya.
Sementara itu, dibalik perdebatan dalam membentuk landasan negara yakni pancasila, terdapat satu sudut pandang untuk memahami proses ini yaitu teori dekonfessionalisasi. Indonesia yang berazazkan pancasila merupakan sebuah azaz yang sudah di“dekonfessionalisasi”
Dekonfessionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep “atas dasar pertimbangan kemanusian bersama”. Pendekatan dekonfessionalisasi ini menawarkan penjelasan yang konstruktif mengenai hubungan politik yang antagonistik antara islam dan negara. Proses konstruksif ini bisa ditemukan dalam proses pembentukan identitas bangsa indonesia.
Tentunya perlu terus menerus mencari pisau analisa yang lebih tajam dan mengena guna memahami fenomena politik Islam di Indonesia terutama berkenaan dengan fakta-fakta historis yang telah membawa bangsa indonesia pada beberapa tingkat pertumbuhan berpolitik, terkhusus sejak masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, masa Revolusi, Orde Lama, Orde Baru sampai sekarang Orde Reformasi.
sumber :
- Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara” 
- CAO Van Nieuwenhuijze “The Indonesian state and ‘deconfessionalized’ muslim concepts.
- Ira M Lapidus, “Sejarah Sosial Umat Islam”
- Benda “The Cersent and The Rising Sun”

0 komentar:

Posting Komentar