PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM FAKTOR DAN LATAR BELAKANG


PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM FAKTOR
DAN LATAR BELAKANG
(0leh : Makhmud Syafe‟i)
ABSTRAK
Pendidikan bagi umat manusia merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas
hidup dalam segala bidang sehingga dalam sepanjang sejarah hidup manusia di muka bumi
ini hampir tak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat
pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Karena itu pendidikan memperoleh perhatian
yang besar dari setiap bangsa atau negara dalam mengatur dan mengarahkan kehidupan
masyarakat. Pembaharuan Pendidikan adalah perubahan pemikiran dan prespektif
intelektual yang dapat membentuk pola pemikiran yang beragam, yaitu pemikiran secara
murni ingin kembali pada ajaran Islam yang menolak segala yang datang dari Barat.
Kata kunci: Pendidikan, meningkatkan kualitas hidup, pendidikan Islam tertinggal,
persinggungan dengan Barat, pembaharuan.
A. PENDAHULUAN
Adalah Islam sebagai agama yang telah menuntun umatnya ke arah pencerahan
afektif, kognitif dan psikomotorik. Sejak kelahirannya, Islam telah menempuh jalur
pendidikan, maupun dalam bentuknya yang non-formal. Maka berkembanglah pusat-pusat
pengajaran Islam di rumah, kuttab dan masjid. Kondisi ini berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Keberadaan lembaga-lembaga pengajaran non formal ini senantiasa
mengalami kemajuan baik kualitas maupun kuantitasnya sampai pada periode formatif,
dimana ajaran Islam mengalami proses kristalisasi yang akhirnya sampai pada puncak
peradaban dan kejayaannya setelah para ilmuwan Islam berhasil mengadakan islamisasi
berbagai tradisi keilmuan. Ilmu dan pengetahuan Islam memiliki ciri yang khas walaupun
nuansa Yunani turut mempengaruhinya. Lahirnya tokoh-tokoh ilmuwan Islam yang
menekuni berbagai bidang keilmuan merupakan indikator bahwa proses pendidikan pada saat
itu tidak mengabaikan intelektual, hal ini sejalan dengan theologi Mu‟tazilah yang
berkembang saat itu sebagai sebuah aliran theologi yang berpola rasional.
Kejayaan Islam dalam ilmu pengetahuan berjalan perlahan sejak rasio tidak lagi
ditempatkan pada posisi yang semestinya bahkan yang cahayanya kian redup. Sejak Baghdad
dihancurkan tentra Mongol tahun 1258, maka diawalilah zaman pengetahuan sampai pada
tahun 1800 M. Kemunduran tersebut pada umumnya disebabkan oleh faktor-faktor
perpecahan internal karena Islam dan kesan perang Salib yang berkepanjangan sehingga
pencerahan pada masa ini lebih mengambil bentuk afektif (spritual) yang mengakibatkan
berkembangnya ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat di seluruh negeri Islam. Sementara itu
hasil-hasil ijtihad yang mengkristal semakin ketat dipegang kaku dan tidak dinamis sehingga
manakala umat Islam dihadapkan pada kekauatan baru (peradaban Barat/Eropa), kelemahan
dan kemunduran peradaban yang dimiliki umat Islam menjadi tampak kontras.
Kontak hubungan antara Islam dan Barat terjadi akhir abad XVIII atau awal abad
XIX ditandai dengan pendudukan Napoleon terhadap Mesir pada tanggal 2 Juni 1798.
Namun kesadaran untuk melakukan kontak hubungan tersebut telah dirasakan sejak abad
sebelum kedatangan Napoleon di Mesir yang dibuktikan dengan kekalahan perang Turki
Usmani terhadap negara-negara Eropa akibat minimnya teknologi militer Turki Usmani.
Kenyataan di atas telah membangkitkan kesadaran umat Islam bahwa mereka kini
bukan lagi bangsa superior di atas bangsa-bangsa dunia melainkan telah muncul kekuatan
baru yang mampu menandingi bahkan melebihi mereka. Persinggungan ini membawa
dampak terhadap pemahaman keislaman dengan masuknya term-term baru seperti
nasionalisme, demokratisasi, persamaan hak, patriotisme dan lain-lain. Dengan demikian para
pemikir Islam berusaha mencari solusinya serta merumuskan sebuah formulasi Islam baru
yang mampu menjawab tantangan zaman. Pembaharuan pemahaman terhadap Islam
kemudian menjadi tema sentral pemikiran Islam abad XIX dan XX. Para pemikir Islam
berupaya mengadakan kajian terhadap konsep dan pemahaman umat Islam terhadap
agamanya dari sudut pandang berbagai aspek seperti politik, sosial, intelektual, hukum dan
pendidikan.
Pembaharuan pendidikan Islam essensinya adalah pembaharuan pemikiran pada
prespektif intelektual muslim. Pembaharuan pemikiran dalam Islam sangat berkaitan dengan
pendidikan merupakan sarana paling penting bukan saja sebagai wahana konservasi dalam
arti tempat pemeliharaan, pelestarian, penanaman dan pewarisan nilai-nilai dan tradisi suatu
masyarakat, tetapi juga sebagai sarana kreasi yang dapat menciptakan, mengembangkan dan
mentransformasikan masyarakat ke arah pemebentukan budaya baru.
Itulah sebabnya mengapa pembaharuan, Islam banyak menggunakan wahana
pendidikan sebagai proyek percobaan pembaharuannya seperti yang dilakukan Muhammad
Abduh dan lain-lain.
Penulisan ini akan menjelaskan sekilas tentang pemabaharuan pendidikan yang
terjadi dalam dunia pendidikan Islam dan latar belakang diadakannya pembaharuan tersebut.
1. Konsepsi Pembaharuan Islam
Untuk melihat makna pembaharuan, setidaknya dapat kita lihat dari dua kondisi yang
melatar belakanginya. Pertama, gerakan yang terjadi pada abad XIV M sebagai respon
terhadap keadaan umat Islam sehingga terjadi aktivitas pembaharuan Islam seperti yang
dilakukan Ibn Taimiyah, Muhammad Ibn Abdul Wahab, Syaikh Ahmad Syirkindi dan Syaikh
Waliyullah, gerakan pembaharuan mereka memiliki kesamaan-kesamaan dasar, yaitu:
a. Gerakan ini datang dari umat Islam sendiri yang merupakan respon terhadap
kondisi keberagamaan kaum muslim bukan akibat persentuhan dengan Barat.
b. Kritik pembaharuan pada umumnya merupakan respon terhadap praktek sufisme
yang dinilainya telah banyak keluar dari ajaran Islam.
c. Pembaharuan menekankan perlunya rekonstruksi sosial moral dan sosio etis
masyarakat agar sesuai atau setidaknya mendekati Islam yang ideal.
d. Menyerukan untuk membuka kembali pintu ijtihad sesuai dengan dasar al-Qur‟an
dan al-Hadits (Rais: 1987).
Pembaharuan dalam konteks ini dapat dilakukan sebagai islah, pemurnian atau
reformasi, karena merupakan respon kondisi keberagamaan umta Islam sendiri.
Ketika terjadi kontak hubunngan anatara Islam dengan Barat, terdapat setidaknya
dua bentuk respon umat Islam.
a) Gerakan yang mencoba melakukan pembaharuan melalui pengadopsian ilmu
pengetahuan dan teknologi serta nilai-nilai Barat ke dalam dunia Islam,
sebagai jalan untuk membangkitkan kembali Islam ke pentas dunia. Gerakan
ini lebih tepat disebut sebagai gerakan modernisasi Islam.
b) Gerakan yang melihat kemunduran Islam lebih disebabkan karena
ketidaksetiaan umat Islam terhadap dasar ajaran Islam yang sesungguhnya.
Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa untuk memajukan Islam adalah
dengan cara kembali kepada ajaran murni Islam. Kelompok ini disebiut
kelompok tradisional (Ahmad: 1987).
Respon Islam terhadap arus intelektual Islam Barat memang berbeda dengan
ketika Islam berhadapan dengan arus intelektualisme hellenis yang dapat
diselesaikan dengan baik. Namanu pada kasus Barat terdapat hambatan
psikolos dalam menerima ide-idenya. Dimana Barat adalah identik dengan
Kristen yang menjadi musuh Islam dalam perang Salib.
Nurcholis majid memberikan pengertian modernisasi dalam Islam sebagai
rasionalisasi yang berarti proses perombakan pola berpikir dari tata lama yang
tidak akliyah kepada pola fikir dan tata kerja baru yang akliyah.(Madjid: 1987.
Pengertian modernisasi sebagai rasionalisasi di sini tidak bermaksud mengatakan
bahwa sebelum rasionalisasi Barat masuk, umat Islam sebagai tidak rasional. Akan tetapi
harus diakui bahwa di dunia Islam sedang terjadi kemandulan intelektual ketika gelombang
modernisasi Barat mengalir ke dalam masyarakat muslim, dan juga diakui bahwa modernisasi
Barat itu dilandasai ilmu pengetahuan rasioanal dan ilmiyah.
Mengakhiri perbincangan kita tentang makna pembaharuan, penulis kemukakan
pendapat Harun Nasution (1989). Pembaharuan adalah pemikiran, aliran, gerakan dan usaha-
usaha untuk mengubah paham-paham dan adat istiadat, institusi lama, dan lain-lain untuk
disesuaikan dengan perkembangan zaman dan paham-paham baru yang terjaadi sebagai
akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan apa yang penulis maksudkan sebagai pembaharuan pendidikan dalam
tulisan ini adalah pembaharuan pendidikan dalam pengertian modernisasi atau suatu gerakan
pembaharuan dalam pendidikan Islam yang terjadi akibat pertemuan Islam dengan Barat.
Azyumardi Azra dalam Kata Pengantar buku “Pendidikan Tinggi Dalam Islam” oleh
Charles Michael Stanton mengatakan sejauh menyangkut pendidikan, pembaharuan yang
dilakukan di Turki dan di Mesir, sebagaian besar tidak langsung diarahkan kepada lembaga-
lembaga Pendidikan Islam itu sendiri. Yang disebut dalam literatur sebagai Pembaharuan
Pendidikan pada esensinya adalah pembaharuan pemikiran dan prespektif intelektual,
khususnya melalui penerjemahan literatur Eropa yang dipandang esensial ke dalam bahasa
Arab, atau melalui pengiriman sejumlah duta dan mahasiswa yang ditugaskan mengenai
pendidikan Eropa yang merupakan salah satu “rahasia keunggulan mereka”.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa konsep pembaharuan pendidikan itu adalah
suatu proses perubahan cara pandang intelektualisme dalam mengambil manfaat keilmuan
baru untuk mengambil fungsi pendidikan sebagai wadah pembangunan umat.
2. Faktor dan Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam
Kalau kita kaji perjalanan sejarah umat Islam paling tidak dapat kita ketengahkan dua
faktor dan latar belakang diadakannya Pembaharuan Pendidikan Islam pada abad modern.
a. Kondisi internal dunia Pendidikan Islam pada zaman pertengahan Islam, termasuk
kondisi Muslim pada umumnya.
b. Terjadinya kontak antara Islam dengan Barat.
Faktor Pertama: Dapat dikaji dari sejarah intelektual dan pendidikan Islam masa
awal sampai zaman pertengahan Islam. Keberadaan institusi Pendidikan Islam sejalan dengan
kemunculan Islam itu sendiri. Institusi ini berkembang mulai dari bentuk yang informal
seperti rumah (Daar al-arqam), kuttab dan Masjid sampai kepada bentuk yang formal yakni
Madrasah.
Hal ini merupakan konsekwensi logis dari diskursus keilmuan yang berkembang yang
mengadakan pembedaan-pembedaan pengetahuan tertentu, misalnya antara ilmu teoritis dan
praktis, ilmu yang universal (kully). Dan pembedaan yang paling penting antara ilmu agama
(Al-Ilmu al-Syar‟iyah) atau ilmu –ilmu tradisional (Al „Ulum Al Aqliyah) dengan ilmu-ilmu
rasional atau sekuler (Al-„Ulum Al-„Aqliyah atau ghair Syar‟iyah). (Rahman: 1985).
Dalam Islam sesungguhnya tidak diketahui pembedaan-pembedaan antara “Ilmu
Agama” dan “Ilmu Profan” seperti tersebut di atas. Semua pengetahuan dalam Islam pada
akhirnya bermuara pada Allah SWT. Namun pada prakteknya, kelompok pokok pengetahuan
agama lebih mendominasi dibanding dengan kelompok Al-„Ulum Ghair Syar‟iyah.
Perkembangan tradisi pemikiran terutama prespektif umat Islam terhadap permulaan
ilmu pengetahuan tersebut, membawa dampak bagi dunia pendidikan Islam pada umumnya.
Sehingga institusi-institusi pendidikan Islam pada akhirnya hanya berfungsi sebagai wadah
konservasi yang tentu saja kehilangan kreasi pengembangannya.
Sebelum kehancuran Theologi Mu‟tazilah pada masa khalifah Abbasiyah al-Makmun (198-
218/813-833) Mempelajari ilmu-ilmu umum yang bertitik tolak dari nalar dan kajian-kajian empiris
bukan sesuatu yang tidak ada dalam kurikulum Madrasah tetapi dengan “pemakruhan” untuk tidak
menyebut “pengharaman”. Penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu‟tazilah. Ilmu-ilmu umum yang
sangat dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum Madrasah mereka yang cenderung dan masih berminat
kepada ilmu-ilmu umum itu, terpaksa mempelajari secara sendiri-sendiri atau bahkan di bawah tanah,
karena mereka dipandang sebagai ilmu-ilmu “subversif” yang dapat dan akan menggugat
mengganggu stabilitas doktrin sunni. Pada waktu yang sama, sain mengalami transmisi ke dunia Barat
(Eropa) yang kemudian melahirkan revolusi industri dan membawa mereka kepada kemajuan.
Dengan demikian dapat digambarkanbahwa akar keterbelakangan dunia Islam dalam bidang
sains dan teknologi dapat dilacak dari hilangnya sains dari tradisi intelektual dan pendidikan Islam.
Kondisi semacam itu tidak lepas dari kondisi sosial keagamaan masyarakat muslim secara
keseluruhan pada abad pertengahan, hilangnya pemikiran rasional dan digantikan dengan pemikiran
statis, taklid, bid‟ah dan khurafat menjadi ciri dunia Islam saat itu.
Pemikiran jumud itu selalu merambat dalam berbagai bidang bahasa, syri‟ah, aqidah dan
sistem masyarakat. Kejumudan dalam hal-hal di atas tampaknya terkait antara satu dengan lainnya
dan dalam kejumudan dalam satu bidang , terutama bidang aqidah mempengaruhi bidang-bidang
lainnya. Dalam hal ini Muhammad Abduh berasumsi bahwa akidah Jabariyah yang menjadi salah satu
penyebab timbulnya kejumudan itu (Tarikh II: tt). Ajarannya yang cenderung pada sikap pasif
kepercayaan terhadap kasih sayang Tuhan mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan.
Konsekwensinya, moral umat Islam semakin jauh menyimpang dari tuntunan Islam.
Faktor kedua: Latar belakang pembaharuan Pendidikan Islam, seperti telah disebutkan
merupakan titik kulminasi dari gejolak intelektual yang selama ini terpendam. Pada zaman
pertengahan, sesungguhnya telah muncul beberapa pemikir Muslim yang dengan jeli melihat krisis
keilmuan dunia Islam, tetapi mereka tenggelam di bawah arus utama yang tetap menghendaki
kemapanan, dianataranya ialah Ibn Taimiyah. Ia mengadakan reformasi pada abad XIV M. Kritik-
kritik tajam yang dilontarkannya bukan hanya diarahkan pada sufisme dan para filosofis yang
mendewakan nasionalisme, melainkan juga ke arah thologi Asy‟ari.
Periode modern (1800 M) merupakan zaman kebangkitan Islam, ekspedisi Napoleon di Mesir
terakhir di tahun 1801, membuka mata dunia Islam terutama Turki dan Mesir akan kemunduran dan
kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan Barat. Raja dan pemuka-pemuka Islam
mulai berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan yang telah pincang
sejak abad pertengahan (Nasution: 1985).
Kemudian respon terhadap keadaan ini bermunculan, ada yang menjawab secara „apologetic‟
dengan mengatakan bahwa itu bukan kesalahan Islam, tetapi kesalahan penganutnya yang tidak setia
terhadap Islam. Sementara sebagian lain dengan jujur mengakui bahwa Barat memang telah berhasil
mengembangkan ilmu pengetahuan yang diadopsi dari umat Islam hingga perlu dipelajari langkah-
langkah yang dijalankan Barat hingga mencapai kemajuan (Espasito, (ed): 1987).
Kelompok yang terakhir yang dikenal sebagai kelompok modernis Islam, kemudian
melakukan gerakan pembaharuan dengan cara mentransmisikan dan mentransformasikan ilmu
pengetahuan dan teknologi Barat ke dalam Islam. Para pembaharu ini pada umumnya sepakat bahwa
pendidikan menjadi salah satu jalan, bahkan mungkin satu-satunya jalan yang sangat esensial bagi
program pembaharuan. Untuk itulah banyak ditemui apakah dia seorang cendekiawan atau penguasa,
terjun langsung dalam dunia pendidikan praktis (Mursi: 1977).
Pada umumnya dapat dianalisa bahwa pembaharuan Islam setelah munculnya usaha-usaha
dari tokoh-tokoh pembaharuan Islam.
1. Pembaharuan Pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pendidikan modern di Eropa.
2. Pembaharuan Pendidikan Islam yang berorientasi kepada kemurnian kembali ajaran Islam.
3. Pembaharuan Pendidikan Islam yang berorientasi pada kekayaan dan sumber budaya masing-
masing dan bersifat nasionalisme.
Golongan pertama berpendapat bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang
dialami Barat itu adalah hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang
pernah mereka capai. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan Barat pernah berkembang di dunia Islam.
Atas dasar itu, untuk mengembalikan kekuatan dan kemajuan umat Islam harus menguasai sumbernya
yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi dan jalan untuk memperoleh itu semua adalah melalui proses
pendidikan dengan meniru pola pendidikan yang dikembangkan di dunia Barat, yaitu dengan
mendirikan sekolah-sekolah cara Barat baik sistem maupun isi pendidikannya. Di samping melakukan
pengiriman pelajar ke dunia Barat terutama ke prancis untuk menguasai sains dan teknologi modern.
Uasaha yang dilakukan Muhammad Ali Pasya (1805) di Mesir dan Sultan Mahmud II di Turki,
bahkan beliau juga mendatangkan guru-guru dari Barat (terutama Mesir) untuk mengajar di sekolah-
sekolah militer dan teknik di Mesir. Pada masa yang sama diusahakan pula penerjemahan buku-buku
Barat ke Bahasa Arab (Zuhairimi: 1995).
Golongan kedua adalah gerakan pembaharuan Pendidikan Islam yang berorientasi pada
sumber ajaran Islam yang murni. Menurut analisa mereka, bahwa sebab-sebab kemunduran umat
Islam adalah karena mereka sendiri tidak melaksanakan ajaran Islam sebagaimana mestinya. Pola ini
berpandangan bawa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber kemajuan dan peradaban dan
ilmu pengetahuan modern, hal itu telah terbukti dalam masa keemasan Islam. Tokoh-tokoh
pembaharuan golongan ini adalah Muhammad Abdul Wahab, kemudian dikokohkan oleh Jamaluddin
Al-Afghani dan dilanjutkan oleh Muhammad Abduh, meraka membawa satu paradigma pembaharuan
yang membrantas taklid buta dan berusaha membuka pintu ijtihad. Dengan kondisi yang dibawa oleh
perubahan zaman, penyesuaian dapat diambil dengan interpretasi baru terhadap ajaran Islam. Gerakan
itu selanjutnya direalisasikan oleh gerakan Ikhwanul Muslimin dengan mengembalikan umat Islam
pada faham Salafiyah disamping dapat menerima pembaharuan yang datang dari Barat yang memberi
manfaat kepada umat Islam.
Golongan ketiga membawa pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada nasionalisme
bersama dengan berkembangnya pada kehidupan modern meniru bangsa Barat yang sudah mencapai
kemajuan karena adanya semangat nasionalisme mereka. Kesadaran nasional dan cinta tanah air inilah
yang menjadikan negara Barat maju dalam berbagai bidang terutama dukungan terhadap kekuatan-
kekuatan politik mereka. Kesadaran nasionalisme pada umumnya mendorong bangsa-bangsa Timur
dan negara-negara terjajah untuk mengembangkan jiwa dan semangat nasioanlismenya.
Gerakan ini selanjutnya membentuk usaha-usaha merebut kemerdekaan dan mengadakan
pemerintahan sendiri. Salah seorang tokoh dalam golongan ini adalah Mustafa kamal yang
membentuk gerakan melawan infrialisme Inggris di Mesir dengan tujuan membentuk kesadaran
nasional dan kesadaran beragama. Ia berpendapat bahwa Pendidikan Tinggi khususnya pendidikan di
universitas merupakan sarana membentuk kesadaran nasional, sedangkan pers untuk membangkitkan
kesadaran keberagamaan dan hubungan dunia Mesir dengan dunia lainnya (Al-Bahy: 1986).
Dapat dipahami bahwa di dalam bidang pendidikan, mereka berhasil menciptakan Sistem
Pendidikan Nasional sendiri. Di samping Mustafa Kamal tokoh lainnya adalah Toha Husen yang
kemudian diteruskan oleh Jamal Abdul Naser.
B. DAMPAK PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP
PENDIDIKAN DI INDONESIA
Modernisasi paling awal (Azra: 1999) dari sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui,
tidak bersumber dari kalangan kaum Muslimin sendiri. Sistem pendidikan modern pertama
kali, yang pada gilirannya mempengaruhi sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial Belanda.
Hal Ini bermula dalam perluasan kesempatan bagi pribumi dalam paron kedua abad ke
19 untuk mendapatkan pendidikan. Program ini dilakukan pemerintah Belanda dengan
mendirikan volkschoolen, sekolah rakyat atau sekolah desa (nagari) dengan masa belajar 3
tahun di beberapa tempat di Indonesia sejak tahun 1870-an. Pada tahun 1871, terdapat 263
sekolah dasar semacam itu dengan siswa 16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat
menjadi 515 sekolah dengan murid sekitar 52.685 orang.
Gerakan reformis muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke 20
berpendapat diperlukan reformasi sistem pendidikan Islam untuk mampu menjawab
tantangan kolinialisme dan akspansi Kristen. Dalam konteks inilah kita menyaksikan
munculnya dua bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam; pertama, sekolah-sekolah
umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam; kedua, madrasah-madrasah
modern, yang secara terbatas mengadovsi substansi dan metodologi pendidikan modrn
Belanda. Dalam bentuk pertama kita bisa menyebut misalnya Sekolah Adabiyah yang
didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada 1909, dan sekolah-sekolah umum model Belanda
(tetapi metode Qur‟an) yang didirikan organisasi semacam Muhammadiyah misalnya.
Sedang pada bentuk kedua kita menemukan “Sekolah Diniyah” Zainudin Labay al-Yunusi,
atau Sumatera Thawalib, atau madrasah yang didirikan al-Jami‟atul al-Khairiyyah, dan
kemudian juga madrasah yang didirikan organisasi al-Irsyad.
Sebelumnya telah ada sistem pendidikan pesantren tradisonal, yang hanya mengajarkan
ilmu keislaman, khususnya di Indonesia yang diuatamakan adalah pengajaran fiqih Syafiiyah,
dengan kitab kuningnya dan ilmu tata bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), ulam-ulama
pesantren inilah yang kemudian menolak kehadiran sistem pendidikan modern, tetapi pada
saat yang sama pesantren juga mengadovsi sistem pendidikan modrn seperti halnya pesantren
modern Gontor berdiri tahun 1926.
Adapun latar belakang berdirinya organisasi modernis seperti halnya Muhammadiyah
tidak terlepas dari pengaruh pembaharuan di Timur Tengah.
Melihat tradisi pembaharuan di Timur Tengah yang dipelopori oleh Muhammad Abduh
dan kawan-kawan, ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar, dan berdampak positif
terhadap pembaharuan pendidikan di Indonesia, dianataranya pembaharuan sistem dan
kurikulum pendidikan yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Dalam hal ini antara
pembahruan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani itu, nampaknya
ada semangat yang sama dengan pembaharuan pendidikan Muhammadiyah. Muhammadiyah
sebuah organisasi pembaharuan (modernis) yang didirikan pada tahun 1912 oleh KHA
Dahlan, telah mendirikan banyak sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan
Tinggi, dengan mengadopsi sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh Belanda, dan
menggunakan kurikulum terpadu, dengan menggabungkan pendidikan umum dengan
pendidikan agama, sedangkan sistem pendidikannya, dari sistem pesantren menjadi
madrasah, sebagaimana diketahui madrasah yang didirikan oleh pendiri Muhammadiyah
sampai sekarang masih ada, ialah madrasah Mu‟alimin-Mu‟alimat Muhammadiyah di
Yogyakarta, Kulliyatul Mubakighin di Pandang Panjang, Sumatera Barat, madrasah Zuamma
di Yogyakarta, dan kemudian menysul di tempat-tempat lain.
Di madrasah itu, diberi pelajaran agama Islam dengan berbagai cabangnya, dan
pengetahuan umum. Murid-muridnya mereka tinggal di Asrama, sebagaimana tradisi
pesantren, KHA Dahlan (Puar: 1989) sendiri tidak pernah sekolah umum, ia asalah keluaran
pesantren, dan pernah mesantren dalam astu pesantren bersamaan dengan pendiri Nahdhatul
Ulama KH Wahid Hasyim, diasuh oleh KH Saleh Darat di Banten, jadi KHA Dahlan tidak
anti pesantren. Madrasah yang didirikan oleh KHA Dahlan itu sebagai lembaga pendiddikan
untuk mencetak kader-kader Muhammadiyah yang akan menjadi da‟i dan guru, yang akan
mengembangkan dakwah Islam ke seluruh Indonesia, dan bahkan ke luar negeri, dengan
pengajaran Islam dan melakukan pembaharuan, yakni memurnikan kembali ajaran-ajaran
Islam yang tercampur dengan tahayul, bid‟ah dan Khurafat.
Ciri khas tersebut dipengaruhi oleh kultur jawa (Yogyakarta) yang saat itu menjadi basis
penyebaran agama non-Islam yang cukup rapi dan terorganisir dengan baik. Yang menrik
bukanlah pada persoalan akulturasi dengan budaya dan agama setempat, melainkan
keberanian generasi awal Muhammadiyah untuk melangkah pada wilayah prasis sosial (fait
in action). Nalar mana yang mampu mengawinkan ajaran normatif al-Qur‟an dengan sistem
organisasi modern tanpa dibantu oleh literatur-literatur klasik. Langkah inilah yang dipahami
Muhammadiyah sebagai bentuk konkrit ijtihad.
Muhammadiyah : Antara Purifikasi Dan Dinamisasi
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan menguraikan beberapa konsepsi yang kemudian
akan mengetahui proses pembentukan nalar dalam gerakan tajdid Muhammadiyah. Konsepsi
itu adalah purifikasi dan dinamisasi. Kedua agenda ini kemudian menjadi dasar bagi
Muhammadiyah untuk melakukan pembaharuannya.
1. Purifikasi
Purifikasi (tandzif al-aqidah al-Islamiyah) merupakan karakter Muhammadiyah
generasi awal, bahkan hingga saat ini. Program ini lebih terpokus pada bidang
akidah (metafisika). Gerakan anti tahayul bid‟ah dan khurafat merupajan respons
konkrit Muhammadiyah terhadap fenomena sosial budaya setempat yang
dianggap menyimpang dari aqidah serta ajaran Islam yang autentik.
2. Dinamisasi
Jika pada wilayah purifikasi tidak mungkin dikembangkan, maka pada wilayah
dinamisasi masih sangat terbuka kemungkinan untuk mengembangkannya.
Mengingat teks suci (al-Qur‟an dan as-Sunnah) terbatas, sedangkan kejadian-
kejadian atau peristiwa-peristiwa di muka bumi ini tidak pernah terbatas (al-nusus
mutanahiyah wa al-waqi ghairu mutanahiyah), maka setidaknya ada dua kata
kunci yang perlu dikembangkan dan dicermati lebih lanjut yakni “program
rekonstruksi”.
Hampir seluruh ilmu-ilmu ke-Islaman (kalam, fiqih, tafsir, hadits, tasawuf)
dibangun atas landasan berpikir dan logika yang hidup di zamannya. Pemikiran
kalam sebagai contoh, dibangun atas dasar asumsi-asumsi dasar logika dan cara
berpikir yang bersifat hitam putih ini, tidak sepenuhnya menggambarkan realitas
kehidupan. Konfigurasi dan atata pikirnya terlaluskematis, sehingga tidak bisa
mempertimbangkan adanya bentuk konfigurasi yang over lapping (posisi jumh)
atau konfigurasi yang melibatkan sebagian dari dua sisi sekaligus. Kategorisasi
anatar muslim dan kafir yang diletakkan secara berhadap-hadapan-dengan
meniadakan kemungkinan dalam diri seorang muslim ada juga kemungkinan sifat-
sifat kekafiran dan begitu juga sebaliknya-kurang diperhatikan dalam sistem
logika tradisional. Padahal, teks-teks al-Qur‟an yang menunjukan adanya
kemungkinan posisi middle tersebut, yang perlu dicermati secara serius.
Ciri lain (Hakim: 2004) yang cukup menonjol dalam bangunan keilmuan
Islam klasik adalah tidak dijumpainya ilmu-ilmu sosial dan pendekatan historis.
Padahal, dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah sangat memperhatikan kedua wilayah
tersebut. Hal ini bisa dimaklumi karena kedua hal tersebut (lmu-ilmu sosial dan
kesejarahan) datang kemudian. Ibnu Kholdun pernah mengingatkan pentingnya
pendekatan historis dan sosiologis dalam memahami Islam sebagai sebuah ilmu
agama.
Melihat hal itu, maka perlu diadakannya rekonstruksi ilmu-ilmu keislaman.
Logika dan tata pikir abad pertengahan perlu dosterilkan dengan pola dan tata
pikir yang berlaku sekarang, dengan alasan lebih relevan dengan situasi zaman.
Menurut hemat penulis, maka dapat disimpulkan bahwa purifikasi dan dianmisasi
yang dilakukan Muhammadiyah berakar dari spirit perjuangan Muhammadiyah
dalam melakukan dakwah amar ma‟ruf nahyi munkar dimanifestasikan dalam
bentuk penanaman dasar aqidah yang kuat dan “murni”, serta interpretasi
terhadap ajaran Islam sebagai jawaban atas problematikan sosial.
Lembaga-lembaga Pendidikan Muhammadiyah telah berhasil melahirkan
tokoh-tokoh nasional yang mempunyai andil besar terhadap negara Kesatuan
Republik Indonesia, diantaranya KHA Dahlan, Nyai Dahlan, Jenderal Sudirman
(pendiri TNI), Ki Bagus Hadikusumo, KH Fachruddin, Sutan Masur, Amin Rais,
Syafii Maarif, Dian Syamsudin dan lain-lain.
C. KESIMPULAN
Demikian uraian singkat tentang latar belakang terjadinya pembaharuan pendidikan di
dunia Islam yang muncul dari pemikir-pemikir Islam sendiri yang dengan krisis menyikapi
kondisi soasial kemasyarakatan dan sikap keberagamaan umat Islam saat itu.
Persinggungan antara dunia Islam dan Barat kembali menyadarkan para pemikir Islam
betapa umat Islam jauh tertinggal dari bangsa-bangsa Eropa. Keadaan tersebut segera
mendapatkan respon yang beragam dari para cendekiawan muslim dengan tujuan yang sama
yaitu kembalinya umat Islam dalam pentas percaturan dunia seperti pada masa kejayaan
Islam masa lampau, hal itu disepakati dapat dicapai melalui pembaharuan Pendidikan.
Pembaharuan Pendidikan pada dasarnya adalah pembaharuan pemikiran dan
prespektif intelektual yang dapat membentuk pola pemikiran yang beragam, yaitu pemikiran
yang secara murni ingin kembali pada ajaran Islam yang benar dan menolak segala apa yang
datang dari Barat. Meraka adalah golongan tradisionalis, golongan yang mengadopsi secara
besar-besaran termasuk dalam pendidikan yang pada akhirnya melahirkan dualisme sistem
pendidikan dalam Islam seperti yang terjadi di Mesir dan Turki dan kelompok yang
pemikirannya berangkat dari perasaan nasional;ismenya. Dalam pergumulannya masing-
masing memiliki peranan untuk menghasilkan perubahan hingga mencapai kemajuan umat.
Pengaruh pembaharuan di Timur Tengah cukup besar terhadap pembaharuan
pendidikan di Indonesia, pembaharuan pendidikan di Indonesia dari sistem pesantren yang
hanya mengajarkan ilmu keislaman, kemudian diadakan pembaharuan antara lain oleh KHA
Dahlan (1912) dengan mendirkkan organisasi Muhammadiyah, yang kemudian mendirikan
madrasah-madrasah yang di dalamnya diajarkan ilmu keislaman sekaligus ilmu pengetahuan
umum.
Dari lembaga Pendidikan Muhammadiyah telah berhasil melahirkan tokoh dan
pahlawan Nasional, yang berjasa pada nagara dan bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Al-Bahy. (1986). Al-Fikr al-Islam al-Hadits. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Azra, A. (1999). Pendidikan Islam:” Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta:
PT Logos Wacana Ilmu.
--------- (1994). Pendidikan Tinggi Dalam Islam. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Esposito- Jhon, L. (ed,).( 1987). Dinamika Kebangkitan Islam Watak Proses dan Tantangan.
Jakarta: Rajawali.
Majid, N. (1987). Islam Kemerdekaan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
..........., (1994). Khazanah Intelektual Muslim, Jakarta. Bulan Bintang.
Mursi-Mahmud, M. (1977). Al-Tarbiyah al-islamiyah Fushuluha wa Tathowwaruha fi Bilad
al‟Arobiyah. Mesir: Alam al-Kutab.
Nasution, H. (1985). Islam di tinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
---------------- (1989). Pembaharuan Dalam Islam. Jakrta: UI press.
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Pendidikan Indonesia. (Tahun 2007).
Puar-Abdullah, Y. (1989). Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka
Antara PT.
Rahman. F. (1985). Islam dan Modernisme : Tentang Transformasi Intelektual. Dari Islam
and modernity: transformation of an Intelectual. Bandung: Pustaka.
Rais, A. (1987). Cakrawala islam Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan.
Stanton. (1994). Pendidikan Tinggi Dalam Islam. Terj. Affandi. Jakarta: PT Logos Wacana
ilmu.
Yunus-Mahmud, H. (1995). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber
Widya.
Zuhairini. (1994). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Penulis:
Dr.H.Makhmud Syafe’i, M.Ag.,M.Pd.I. Dosen Pendidikan Agama islam UPI Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar