Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.
(QS.Al-Fatihah-[1]:6)
Kata ihdinaa (tunjukkanlah kami) dalam ayat di atas merupakan bentuk kata perintah (fi’lu al-amr) dari kata hadâ-yahdii. Hadâ-yahdii sendiri artinya adalah memberi petunjuk kepada hal-hal yang benar. Kata hidayah merupakan bentuk fi’lu al masdar dari kata ini. Dalam Tafsir Munir karya Dr. Wahbah Az Zuhaily, hidayah ada lima macam. Satu hidayah ke hidayah yang lain bersifat hierarkis, di mana hidayah yang ada di bawahnya akan menyempurnakan hidayah yang ada di atasnya. Jadi semakin ke bawah maka semakin tinggi nilainya. Adapun kelima hidayah tersebut adalah sebagai berikut :
Kata ihdinaa (tunjukkanlah kami) dalam ayat di atas merupakan bentuk kata perintah (fi’lu al-amr) dari kata hadâ-yahdii. Hadâ-yahdii sendiri artinya adalah memberi petunjuk kepada hal-hal yang benar. Kata hidayah merupakan bentuk fi’lu al masdar dari kata ini. Dalam Tafsir Munir karya Dr. Wahbah Az Zuhaily, hidayah ada lima macam. Satu hidayah ke hidayah yang lain bersifat hierarkis, di mana hidayah yang ada di bawahnya akan menyempurnakan hidayah yang ada di atasnya. Jadi semakin ke bawah maka semakin tinggi nilainya. Adapun kelima hidayah tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, hidayah ilhami.
Hidayah ini adalah fitrah yang Allah
SWT berikan kepada semua makhluk ciptan-Nya. Contohnya, Allah SWT memberikan
hidayah ilhami kepada lebah yang suka hinggap di bunga untuk mengambil
saripatinya, dapat membangun sarang yang menurut para ahli adalah desain yang
paling sempurna berdasarkan fungsinya. Seorang bayi yang lapar diberi hidayah
ilhami oleh Allah SWT untuk menangis dan merengek-rengek pada ibunya agar
diberi ASI. Siapakah yang mengajari lebah dan bayi tadi untuk melakukan hal
tersebut? Tentunya kita yang beriman kepada Allah SWT akan menjawab: itulah
kekuasaan Allah SWT yang telah memberikan hidayah ilhami kepada makhluk-Nya.
Semua makhluk yang diciptakan Allah SWT akan menerima hidayah ini. Dalam bahasa
kita, hidayah ilhami ini adalah insting, yang merupakan tingkat inteligensi
paling rendah.
Kedua, hidayah hawasi.
Hidayah hawasi adalah hidayah yang
membuat makhluk Allah SWT mampu merespon suatu peristiwa dengan respon yang
sesuai. Contohnya adalah,
ketika manusia mendapatkan kebahagiaan maka ia akan senang dan jika mendapatkan
musibah maka ia akan sedih. Dalam istilah kita, hidayah hawasi ini adalah kemampuan inderawi.
Hidayah hawasi sangat dipengaruhi oleh
lingkungan. Maka respon yang ditimbulkan dari sebuah peristiwa sangat
tergantung dengan lingkungan kita. Jika lingkungan itu normal maka respon kita
akan normal. Misalnya, orang yang mendapatkan musibah akan sedih karena
lingkungannya mengajarkan untuk merespon peristiwa tersebut dengan bersedih. Di
lain tempat dan waktu mungkin saja respon ini berubah karena lingkungannya
merespon dengan hal yang berbeda. Maka untuk mendapatkan hidayah hawasi ini
kita harus membuat atau mengondisikan agar lingkungan kita normal alamiah.
Ketiga, hidayah aqli (akal).
Hidayah akal adalah hidayah yang
diberikan khusus pada manusia yang membuatnya bisa berfikir untuk menemukan
ilmu dan sekaligus merespon peristiwa dalam kehidupannya dengan respon yang
bermanfaat bagi dirinya. Hidayah akal akan bisa kita miliki manakala kita
selalu mengambil pelajaran dari segala sesuatu, segala peristiwa, dan seluruh
pengalaman hidup kita ataupun orang lain. Allah SWT berfirman:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang
kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran
yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun
yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa)
Allah; Maka Allah mendatangkan bagi mereka (hukuman) dari arah yang tidak
mereka sangka-sangka. Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka
memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan
orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai
orang-orang yang mempunyai wawasan”. (QS. Al-Hasyr [59]: 2).
Yang dimaksud dengan ahli Kitab dalam
ayat ini ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir pada masa Nabi Muhammad SAW di
Madinah. Merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah
karena mereka mengingkari Piagam Madinah.
Ayat ini memerintahkan kita untuk
senantiasa mengambil hikmah dan ‘ibroh dari segala kejadian dalam kehidupan
ini, dengan harapan kita tidak terjebak pada permasalahan yang sama. Hidayah
akal ini akan bekerja dengan ilmu yang diperoleh, dari proses pembelajaran
kehidupan yang telah dilakukan, yang kemudian digunakan untuk memilih respon
yang terbaik bagi diri di masa mendatang. Semakin banyak kita mengambil
pelajaran maka semakin tinggi kualitas hidayah akal kita.
Namun Hidayah akal ini mempunyai
keterbatasan dalam menyeragamkan respon terhadap sebuah kejadian untuk seluruh
manusia. Ada pepatah “lain ladang, lain pula belalangnya. Lain kepala, lain
pula isinya.” Mungkin respon tertentu baik menurut kita, akan tetapi belum
tentu baik menurut orang lain. Maka diperlukan sebuah standar untuk
menyeragamkan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang hak dan mana yang
batil. Jawaban untuk hal ini ada pada tingkatan hidayah selanjutnya.
Keempat, hidayah dien
(agama).
Hidayah agama adalah sebuah panduan
ilahiyah yang membuat manusia mampu membedakan antara yang hak dan yang batil,
antara yang baik dan yang buruk. Hidayah agama ini merupakan standard operating
procedure (SOP) untuk menjalani kehidupan. Tentunya yang membuatnya adalah yang
Maha segala-galanya, yang menciptakan manusia itu sendiri, yaitu Allah SWT.
Karena yang Allah SWT tentukan, pastilah itu yang terbaik. Allah SWT berfirman
:
”…. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
”…. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
Maka apa saja yang ditentukan oleh
agama, pastilah itu yang terbaik untuk kita. Hidayah agama ini bisa kita
peroleh manakala kita selalu belajar dan memperdalan agama Islam ini.
Seperti Allah SWT tegaskan dalam
Alqur’an:
”Tidak wajar bagi seseorang manusia
yang Allah berikan kepadanya al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata
kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah
Allah.” Akan tetapi (Dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
(QS. Ali Imran [3]: 79).
Semua orang mampu mempelajari agama ini
(Al Qur’an dan As Sunnah), akan tetapi tidak semua orang berkemauan untuk
mengamalkan agama ini. Kemauan untuk mengamalkan agama akan berbanding lurus
dengan sejauh mana kita bisa manggapai hidayah taufiq.
Kelima, hidayah taufiq.
Hidayah taufiq adalah adalah hidayah
yang membuat manusia hanya akan menjadikan agama sebagai panduan hidup dalam
menjalani kehidupannya. Hidayah taufiq ibarat benih yang Allah SWT semaikan di
hati yang tidak hanya bersih dari segala hama penyakit, tetapi juga subur
dengan tetesan robbani.
Bersih dan suburnya hati akan terlihat
dari pohon-pohon kebaikan dan amal yang tumbuh di atasnya. Hanya kesungguhan yang akan membuat kita pantas
menerima hidayah taufiq dari Allah SWT. Firman Allah SWT :
”Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut [29]:69).
Maka tidak ada jalan lain agar kita
mendapatkan Hidayah Taufiq Allah SWT, kecuali dengan jalan bersungguh-sungguh dan berjihad untuk menjalankan dan mengamalkan agama yang indah ini.
Penutup
Hidayah Allah SWT memerlukan perjuangan
untuk mendapatkannya. Semakin besar perjuangan dan kesungguhan kita, maka insya
Allah kita akan semakin mudah mendapatkannya, karena semuanya tergantung kepada
usaha kita. Hidayah Allah SWT ibarat sinar matahari yang menyinari seluruh alam
ini, dan kita adalah penerima sinar tersebut. Jika kita membuka diri dengan
hati yang bersih maka kita akan mudah untuk mendapatkan sinar hidayah Allah SWT.
Tapi jika kita menutupi hati dan diri kita dengan kotoran dan hama penyakit
hati maka kita akan sulit untuk mendapatkan sinar hidayah-Nya.
Wallahu a’lam.
Posting Komentar