A. Pranata
dan institusi social keagamaan
Pranata social ialah
terjemahan dari istilah asing social institusion. “walaupun para ahli belum ada
kata sepakat mengenai istilah Indonesia yang tepat untuk kata social
institusion ini, namun ada yang merumuskannya dengan “lembaga-lembaga
kemasyarakatan”. Istilah ini dipandang tepat karena menunjuk sesuatu bentuk dan
sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak perihal adanya
norma-norma adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi
cirri dari pada lembaga=lembaga tersebut.
Koentjoroningrat
(1964:113), lebih memilih istilah pranata social, karena menurutnya social
institusion menunjuk pada adanya unsure-unsur yang mengatur perilaku para
anggota masyarakat. Ini sedikit berbeda dengan soenjono soekanto dalam
sosiologi suatu pengantar (1981:89) yang lebih memilih istilah lembaga-lembaga
kemasyarakatan sebagaimana alas an diatas. Dalam tulisan ini kedua istilah
dipergunakan, karena baik istilah pranata social maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan menunjuk kepada pembicaraan masyarakat dalam berbagai fenomena
social, aktifitas-aktifitas, dan tradisi-tradisinya. [1]
Koentejoroningrat dalam
bukunya “penghantar antropologi” mengatakan bahwa, pranata social adalah suatu
system tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktifitas-aktifitas untuk
memenuhi komplek-kemplek kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (1964:113).
Sedangkan dede rosiada (1994:163) lebih melihat pranata-pranata social itu
muncul dan berkembang sebagai refleksi dari sebuah kebudayaan. Oleh sebab itu
menurutnya, pembahasan tentang pranata social berkaitan dengan pembahasan
tentang kebudayaan manusia sendiri “keseluruhan cara hidup manusia”.
Dengan demikian secara
umum dede rosada merumuskan bahwa, pranata social adalah tradisi dalam
kehidupan manusia yang terbentuk sebagai kombinasi antara reaksi kemanusiaan
atas tantangan dan dinamika lingkungannya, dengan etos yang menjadi nilai dasar
dalam kehidupan. Bagi umat islam, nilai etos itu terbentuk dari ajaran-ajaran
dasar yang dikembangkan al-Quran dan Al-sunnah. Adapun pengertian lembaga
kemasyarakatan adalah himpunan dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu
kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Wujud yang konkrit daripada lembaga
kemasyarakatan tersebut adalah association (soerjono soekanto, 1981:89).
menurut harunasution (1985 : 107), islam dalam
sejarah, seperti telah dilihat mengambil bentuk Negara. Sebagai Negara, islam
sudah barang tentu harus mempunyai lembaga-lembaga kemasyarakatan , seperti
pemerintahan, hukum, pengadilan, polisi, pertahanan dan keamanan. Uraian ini di
kemukakan juga dede rosyada bahwa, dilihat dari sudut kesejarahan,
peranata-peranata social yang sempat berkembang dalam masyarakat muslim dan
cukup menonjol dalam kontek kehidupan mereka, mencakup antara lain bidang
politik pemerintahan, paeradilan, pertahanan keamanan, keuangan dan kesehatan
(1994 : 164).
Secara histori,
mengenai masyarakat islam awal, baik menyangkut peranata social maupun
lembaga-lembaga kemasyaraktan telah diuraikan oleh harun nasution dalam bukunya
“islam di tinjao dari berbagai aspeknya” jilid satu halaman (107-120). Dalam
tulisan buku tersebut, nasution membahas bagaimanakah awal perjalanan
masyarakat islam dari berbagai aspeknya, dari segi terbentuknya, akulturasi
budaya, masalah kekuasaan dan para penguasa, serta para pembantu pemerintahan.
Kepala Negara dipimpin seorang khalifah dan di bantu wjir penasehat dan tangan
kanannya. Di bawah wajir terdapat beberapa diwan (departemen) umpamanya diwan
al khoroj (dep. Pajak tanah), bait al mal, (dep. keuangan), diwan aljaisi (dep.
pertahanan) dan lain sebagainya. Tiap diwan itu jiuga dipimpin oleh seorang
kepala.
Dalam perkembangan
berikutnya, seperti terlihat pada jaman ini khususnya di Indonesia telah
berkembang universitas-universitas islam telah ada BMI dan BMT ada asuransi
takapul, BPR syariat dan adanya ormas-ormas I isalm seperti : SI, muhamadiah,
NU, Persis, dan lembaga-lembaga lainnya MUI, ICMI dan lain sebagainya. Semua
pranata dan institusi ini menjalankan perannya dilengkapi dengan adanya
aturan-aturan didalamnya. Selain itu ada juga lembaga-lembaga seperti DKM
(BPKM), bajis, dan lainya yang turut memelihara dan mengelola aktifitas hidup
dan kehidupan masyarakat islam. Adanya norma-norma dalam masyarakat itu
dimaksudkan agar hubungan antara manusia didalam suatu masyarakat dapat
terlaksana seperti yang diingikan.
Norma-norma
dimasyarakat mempunyai kekuatan berbeda-beda. Untuk dapat memberikan kekuatan
mengikat daripada norma-norma tersebut, dikenal adanya empat pengertian, yaitu
:
1. Cara
(usage);
2. Kebiasaan
(folkways);
3. Tata
kelakuan (mores), dan
4. Adat
(custom).
Masing-masing
pengertian tersebut diatas, mempunyai dasa yang sama, yaitu bahwa masing-masing
merupakan norma-norma lemasyarakatan yang menceritakan petunjuk bagi tingkah
laku seseorang yang hidup didalam masyarakat (lihat pula soerjarno soekanto,
1981:90).
Cara
(usage) mempunyai kekuatan mengikat lebih lemah bila dibandingkan dengan
kebiasaan (folkways). Sedangkan kebiasaan mempunyai kekuatan mengikat lebih
lemah dibandingkan dengan tata kelakuan (mores), dan seterusnya dalam rangka
pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan norma-norma tersebut mengalami
beberapa proses, yaitu : proses institutiona lization, dan norma-norma yang
internalizat. Norma-norma diatas setelah mengalami suatu proses akhirnya akan
menjadi bagian tertentu dari social institution.[2]
Proses
institusionalisasi ialah suatu proses yang dilewati suatu norma kemasyarakatan
yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan. Yang
dimaksudkan ialah, sehingga norma-norma kemasyarakatan ini oleh masyarakat
dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-harinya.
Proses tersebut dapat berlanjut menjadi internalisasi yaitu bila sudah mencapai
taraf perkembangan dimana para anggota masyarakat dengan secara sadar “mendarah
daging” ingin berkelakuan sejalan dengan prikelakuan yang memang sebenarnya
memenuhi kebutuhan masyarakat karena norma itu telah dianggap sebagai
bagian-bagian dalam dirinya sendiri.[3]
B.
Pendekatan-pendekatan
dalam metode mempelajari pengamalan islam
Para
ahli sudah sejak lama merumuskan metodologi metodologi dalam mempelajari
pengamalan tentang islam ini berupa perumusan langkah-langkah dan
pendekatan-pendekatan dalam rangka mengaktualisasikan nilai-nilai islam dalam
tatanan hidup masyarakatnya. Terutama metode tersebut yang dipandang efektif
dan efisien. Efektif arinya dengan cara yang tepat dan cepat, serta efisien
artinya berguna bagi pelakunya.
Secara
umum, mengenai metode ini terdapat tiga pendekatan yang digunakan, sebagaimana
Mac Iver Charles H.page, hal.16-17 sebagaiman juga dikemukakan soerjono
soerkanto (1981:92), yaitu:
A. Analisis
historis, yang bertujuan meneliti sejarah timbul dan perkembangan suatu lembaga
kemasyarakatan tertentu.
B. Analisis
komperatif, yang bertujuan yang menelaah suatu lembaga kemasyarakatan yang
terdapat dalam suatu masyarakat tertentu.
C. Analisis
secara fungsional, yaitu analisis lingkungan hubungan antara lembaga-lembaga
kemasyarakatan tertentu.
Ketiga
pendekatan diatas memiliki sifat saling melengkapi. Dalam penggunaannya didalam
meneliti lembaga-lembaga kemasyarakatan, salah satunya dapat menjadikan pokok,
dan lainnya sebagai alat tambahan (sekunder) untuk melengkapi kesempurnaan
cara-cara penelitian.
Posting Komentar